SURABAYA (surabayaupdate) – Walaupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) Suci Angraeni menyatakan terdakwa Edi Jasin bersalah dan menuntut terdakwa Edi Jasin 4 bulan penjara dan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang diketuai Musa Arief Aini, SH menjatuhkan hukuman penjara selama 2 bulan 10 hari, namun vonis yang diterima terdakwa Edi Jasin tersebut dianggap terlalu ringan.
Selain dianggap tidak memenuhi rasa keadilan, majelis hakim dan JPU tidak cermat dalam menangani dan memeriksa perkara ini sehingga terdakwa Edi Jasin bisa bernafas lega karena terhindar dari hukuman berat karena sudah melakukan penganiayaan terhadap adik kandungnya.
Pernyataan ini diungkapkan Frankie Herdinnanto, SH, penasehat hukum keluarga Yusuf Mulyadi dan Lilik Wibisono, usai mengikuti persidangan pembacaan putusan, Selasa (24/3). Selain mengungkapkan adanya ketidak cermatan hakim yang memeriksa perkara ini, Frankie berpendapat bahwa majelis hakim mengabaikan satu hal dan itu mempunyai dampak luar biasa bagi kedua orang tua terdakwa Edi Jasin.
“Sudah kita saksikan bersama, bagaimana Lilik Wibisono dan Yusuf Mulyadi yang begitu terpukul dengan sikap dan tingkah laku terdakwa Edi Jasin sebagai anak yang sudah mendurhakai kedua orang tuanya. Namun hal itu tidak menjadi pertimbangan majelis hakim untuk memperberat hukuman terdakwa Edi Jasin, “ ulas Frankie.
Faktor psikologis itulah, lanjut Frankie, yang sebenarnya dikedepankan majelis hakim untuk dimasukkan dalam pertimbangannya di amar putusan, bukan melihat bahwa luka yang diderita Rudi Mulyanto disebabkan keduanya terlibat perkelahian dan saling dorong.
Sebagai penasehat hukum keluarga, Frankie juga kecewa dengan kearifan majelis hakim yang menyidangkan perkara ini. Walaupun pada persidangan sebelumnya, dr. Novilia Rahman yang dihadirkan di persidangan sempat menyebut adanya visum ganda yang dibuat terdakwa Edi Jasin, majelis hakim malah mengabaikan fakta tersebut.
“Dalam fakta persidangan ditemukan adanya pembuatan 2 visum atas terlapor Edi Jasin yaitu visum tanggal 16 Oktober 2013 yang dibuat dr. Novilia Rahman dan visum tanggal 17 Oktober 2013 yang dibuat dr. Abdul Razak, dimana kedua visum tersebut diketahui Kompol dr. Sigit Lesmonojati selaku atasan kedua dokter tersebut, “ ungkap Frankie.
Masih menurut Frankie, ini kan aneh. Satu peristiwa diwaktu yang sama atas obyek periksa yang sama dibuat 2 dokter yang berbeda dan selisih waktu yang berbeda. Jelas di sini ada dugaan rekayasa visum. Namun mengapa majelis hakim tidak menanggapinya?
Diakhir pembicaraan, Frankie juga menyayangkan sikap majelis hakim yang tidak mempunyai rasa empati terhadap kedua orang tua terdakwa Edi Jasin yang selalu hadir di ruang sidang. Meski sudah berkali-kali kedua orang tua terdakwa Edi Jasin mengatakan ke majelis hakim bahwa mereka mendapat ancaman dan teror dari terdakwa Edi Jasin, majelis hakim tidak menanyakan hal itu ke terdakwa dan dapat dijadikan pertimbangan hal yang memberatkan sehingga terdakwa Edi Jasin tidak divonis 2 bulan 10 hari. (pay)