SURABAYA (surabayaupdate) – Prihatin melihat kondisi bangunan cagar budaya yang ada di Surabaya, sarjana jurusan arsitektur se-Surabaya meminta Pemerintah Kota Surabaya untuk memberi perhatian lebih terhadap bangunan cagar budaya yang masih tersisa di Surabaya.
Keprihatinan para arsitek dan calon arsitek se-Surabaya atas bangunan cagar budaya yang masih tersisa di Kota Surabaya ini terungkap dalam seminar dan workshop arsitektur bertemakan : Peremajaan Bangunan Lama Di Koridor Jalan Tunjungan Sebagai Bagian Kota Lama Surabaya.
Workshop sekaligus seminar yang digelar di ruang Jelantik gedung Arsitek ITS Surabaya, Kamis (9/4) ini selain diikuti para mahasiswa jurusan Arsitek ITS Surabaya, juga diikuti mahasiswa arsitektur dari Universitas Petra dan universitas swasta lainnya di Surabaya.
Ketua Panitia Workshop dan seminar, Delfry Agatha Ardianto mengatakan, bangunan lama yang masuk dalam cagar budaya di Surabaya saat ini yang tersisa tinggal sedikit. Untuk itu, pemerintah kota Surabaya hendaknya lebih memperhatikan bangunan cagar yang tersisa ini dan dapat mempertahankannya tanpa harus mengubah bentuk asli bangunan tersebut sehingga keindahan bangunan itu dapat terjaga.
“Dalam workshop untuk memperingati Dies Natalis ke-50 Jurusan Arsitektur ITS ini, kita ingin adanya lintas informasi dan lintas pengetahuan dengan harapan mahasiswa baik S1 maupun mahasiswa S2 Jurusan Arsitektur ini mempunyai ide-ide atau usulan desain terhadap bangunan lama di Surabaya, “ ujar Delfry.
Pada kesempatan ini, para arsitek se-Surabaya yang mengikuti workshop ini memberi perhatian terhadap bangunan-bangunan lama yang ada di sepanjang koridor Jalan Tunjungan Surabaya.
Setidaknya ada dua bangunan lama yang masuk dalam bangunan cagar budaya dan menjadi perhatian para arsitek ini. Dua bangunan lama yang menjadi bangunan cagar budaya itu seperti bangunan Siola dan Hotel Majapahit.
Mengapa Jalan Tunjungan Surabaya? Sekretaris Jurusan Arsitek ITS Surabaya ini mengatakan jaman dulu, Jalan Tunjungan dikenal sebagai pusat perdagangan Kota Surabaya yang ramai dikunjungi masyarakat.
“Sekarang ini, Jalan Tunjungan sudah tidak menarik lagi bagi warga Surabaya karena pengaruh perkembangan kota. Selain itu, banyaknya kendaraan ditambah banyaknya bangunan yang berdiri di sepanjang Jalan Tunjungan, makin memperburuk keindahan jalan Tunjungan, “ jelas Delfry.
Orang yang melintas di Jalan Tunjungan, lanjut Delfry, tidak bisa menikmati etalase toko karena perubahan dari pejalan kaki ke kendaraan bermotor. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Singapura. Disana, banyak sekali retail-retail yang memajang produk jualan mereka di etalase sehingga dapat dinikmati dengan cara berjalan kaki.
“Sudah waktunya dipikirkan bersama tentang kualitas ruang publik di sepanjang Jalan Tunjungan Surabaya. Kami berharap, Jalan Tunjungan dikembalikan seperti dahulu, sebagai pusat perdagangan di Kota Surabaya. Selain itu. Bangunan-bangunan lama yang masih tetap berdiri di sepanjang Jalan Tunjungan harus dihidupkan kembali untuk mengingat bangunan tersebut dulunya mempunyai nilai sejarah tinggi, “ paparnya.
Masih menurut Delfry, dengan dikembalikannya bangunan-bangunan lama yang masih tersisa di Jalan Tunjungan, diharapkan Jalan Tunjungan hidup kembali dan dapat menggerakkan roda perekonomian di Surabaya. Dan yang terpenting adalah, sisi keindahan dari bangunan itu harus ditonjolkan.
Dengan digelarnya workshop dan seminar ini diharapkan ide-ide dari para arsitek ini nantinya menjadi pertimbangan Pemerintah Kota Surabaya untuk membangun dan menghidupkan kembali Jalan Tunjungan yang saat ini terlupakan. (pay)