surabayaupdate.com
HEADLINE HUKUM & KRIMINAL INDEKS

Ahli Pidana Paparkan Tentang Hukum Pidana Sebagai Upaya Terakhir Di Persidangan Praperadilan Henry J Gunawan

Tiga orang saksi yang dihadirkan di persidangan gugatan praperadilan Henry J Gunawan di PN Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)
Tiga orang saksi yang dihadirkan di persidangan gugatan praperadilan Henry J Gunawan di PN Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

SURABAYA (surabayaupdate) – Sidang lanjutan gugatan praperadilan yang diajukan Henry Jocosity Gunawan alias Cen Liang melalui penasehat hukumnya, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Pada persidangan ini, Senin (11/9), penasehat hukum Henry Jocosity Gunawan alias Cen Liang menghadirkan tiga orang saksi. Dua orang yang dihadirkan di persidangan adalah Suli dan Hendra Kurniawan. Mereke berdua adalah security yang menjaga rumah Henry Jocosity Gunawan, sedangkan satu orang sisanya adalah seorang pakar hukum ilmu pidana dari Universitas Katholik Parahyangan, Bandung. Saksi ahli hukum pidana yang dihadirkan itu bernama Djasman Samosir.

Dihadapan hakim Pudjo Saksono, hakim tunggal yang ditunjuk PN Surabaya untuk memeriksa dan memutus gugatan praperadilan yang dimohonkan Henry J Gunawan alias Cen Liang melalui penasehat hukumnya ini, Djasman Samosir menjelaskan banyak hal.

Awal persidangan, saksi ahli dari Universitas Katholik Parahyangan Bandung ini diminta M. Sidik Latuconsina, SH, salah satu penasehat hukum terdakwa Henry J Gunawan, untuk menjelaskan tentang pengertian dari praperadilan. Namun, sebelum menjelaskan tentang pengetian praperadilan, Djisman Samosir memaparkan tentang fungsi praperadilan.

Menurut Djisman, fungsi praperadilan itu adalah sebagai kontrol bagi seorang penyidik dan penuntut umum. Untuk pengertian praperadilan, Djisman mengatakan berdasarkan pasal 77 KUHAP dijelaskan bahwa praperadilan itu adalah kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus, apakah ada salah tangkap, salah penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan dan masalah rehabilitasi.

Kemudian, ahli juga diminta untuk menjelaskan tentang bagaimana sifat dari hukum pidana itu. Atas pertanyaan ini, ahli berpendapat bahwa hukum pidana itu bersifat Ultimum Remedium artinya upaya terakhir.

“Pada saat Luis XIV memerintah di Perancis, ia memerintah secara absolut. Dia yang menentukan Undang-Undang, dia yang menjalankan Undang-Undang dan ia juga yang memutuskan Undang-Undang. Dan hal itu terlihat oleh para ahli. Mengapa saya bercerita dulu mundur ke belakang, karena hukum yang dianut kita itu awalnya berasal dari Perancis kemudian diadopsi Belanda dan akhirnya dibawa ke Indonesia, “ jelas Djisman.

Penasehat hukum Henry J Gunawan pada persidangan praperadilan yang digelar di PN Surabaya. (FOTO :parlin/surabayaupdate.com)
Penasehat hukum Henry J Gunawan pada persidangan praperadilan yang digelar di PN Surabaya. (FOTO :parlin/surabayaupdate.com)

Djisman kemudian menjelaskan bahwa hukum pidana itu harus tertulis. Mengapa? Karena hukum pidana itu ibarat pedang bermata dua, sangat berbahaya. Kalau hukum pidana itu diterapkan salah, maka taruhannya adalah nyawa.

“Contoh, di Perancis juga ada kasus yang sangat keras. Ada seorang terpidana mati yang dituduh membunuh anak seseorang. Belakangan diketahui bahwa korban itu tidak dibunuh melainkan bunuh diri. Namun, terpidana itu sudah terlanjur dipenggal kepalanya. Kasus seperti ini juga pernah terjadi di Indonesia, yaitu kasus yang menimpa Sengkon dan Karta “ papar Djisman.

Tentang hukum pidana adalah sebuah upaya terakhir, Djisman menjabarkan, jika kasus itu bisa diselesaikan menggunakan peraturan-peraturan lainnya selain hukum pidana maka hukum pidana itu jangan dipergunakan.

Pada kesempatan ini, Djisman juga mengingatkan tentang adanya restorasi justice yang artinya pemulihan hubungan antara orang yang dituduh sebagai pelaku dengan korbannya. Kalau hubungan keduanya bisa dipulihkan, mengapa hal itu tidak dilakukan.

“Sebenarnya, hukum kita itu Ultimum Remedium bukan Primum Remedium, yang mengutamakan hukum pidana karena sebenarnya jika kita berbicara tentang tujuan pemidanaan, akan banyak teori diantaranya ada pembalasan dan ada pembinaan. Cenderungannya, kita harus pembinaan karena dasar negara kita Pancasila yang salah satu pasalnya berbunyi kemanusiaan yang adil dan beradab, “ papar ahli.

Hingga saat ini, lanjut Djisman, ultimum remedium itu masih relevan dipergunakan di Indonesia. Bahkan, di negara-negara lain saat ini sedang dikembangkan treatment bukan punishmen yang berupa hukuman tapi pembinaan.

“Semua orang tahu, bahwa hukuman itu membuat orang menderita. Jadi sebaiknya, kalau bisa tanpa adanya penderitaan kasus-kasus itu jangan dipidana karena pemerintah yang diwakili oleh hakim tujuannya bukan semata-mata memberi hukuman tapi membina, “ tukas ahli.

Dua orang tenaga keamanan yang bertugas di kediaman Henry J Gunawan, turut dihadirkan pada persidangan praperadilan Henry J Gunawan. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)
Dua orang tenaga keamanan yang bertugas di kediaman Henry J Gunawan, turut dihadirkan pada persidangan praperadilan Henry J Gunawan. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

Terkait tentang restorasi justice, ahli berpendapat hal itu bisa dilakukan untuk perkara-perkara dengan kerugiannya materi seperti pencurian, penggelapan. Restorasi justice baru tidak bisa dilakukan jika kerugiannya menyangkut nyawa.

Pada persidangan ini, Djisman juga dimintai pendapatnya apabila terjadi persinggungan antara ranah perdata dan ranah pidana. Bagaimana Djisman sebagai seorang ahli menyikapi hal tersebut. Kemudian, dapatkah proses perdata dilakukan bersamaan dengan pidana?

Sebelum menjawab hal itu, ahli kemudian bertanya, persinggungannya itu dalam hal apa, apakah menyangkut kepemilikan atau menyangkut jaminan. Oleh penasehat hukum terdakwa dijawab menyangkut kepemilikan sesuatu hak.

“Kalau menyangkut kepemilikan sesuatu hak, kita punya peraturan Mahkamah Agung (MA) nomor 1 tahun 1956, dimana di Perma itu disebutkan, kalau ada sengketa kepemilikan dan ada laporan tentang pidana yang terkait itu maka pidananya harus dipending dulu, “ tegas Djisman

Mengapa harus ditunda dulu? Djisman kemudian menjelaskan, untuk mengetahui siapa pemiliknya dan itu harus berkekuatan hukum tetap baru setelah itu pidananya baru bisa dijalankan. Di Indonesia, ahli menjelaskan bahwa Perma nomor 1 tahun 1956 itu wajib dilaksanakan oleh seluruh pengadilan di Indonesia

“Jika kita bicara soal hirarki perundang-undangan, Perma nomor 1 tahun 1956 ini bisa jadi pertimbangan. Namun, jika kita berbicara logika hukum dan makna yang terkandung di dalamnya, maka Perma nomor 1 tahun 1956 tersebut harus dilaksanakan, karena itu solusi yang paling baik, “ tukas Djisman

Dengan adanya Perma 1 tahun 1956 ini, lanjut Djisman, bisa dipakai para penegak hukum sebagai pedoman, supaya lebih berhati-hati dalam menjalankan tugasnya, karena seringkali seorang penegak hukum itu lupa dan kurang hati-hati.

Pada kesempatan ini, saksi ahli juga menjelaskan tentang bagaimana sebuah praperadilan itu bisa benar-benar dinyatakan gugur di pengadilan. Kalau seorang jaksa membacakan dakwaannya di persidangan kemudian oleh penasehat hukum terdakwa dilawan dengan mengajukan eksepsi atau nota keberatan, maka dalam hal ini belum ada pemeriksaan pokok dan praperadilan yang dimohonkan masih bisa terus dijalankan

Namun jika penasehat hukum terdakwa itu tidak melakukan perlawanan melalui eksepsi kemudian persidangan itu dilanjutkan dengan pemeriksaan saksi maka praperadilan yang diajukan itu baru dinyatakan gugur dan tidak bisa dilanjutkan. (pay)

Related posts

Danrem 081/DSJ Hadiri Penutupan TMMD Ke-93 Di Nganjuk

redaksi

Tujuh Kejari Di Jatim Dapat Peringatan Kajati

redaksi

Pakai QRIS, Banyak Promo Yang Ditawarkan BI Jatim Termasuk Tarif Angkutan Massal Sebesar Rp. 78

redaksi