SURABAYA (surabayaupdate) – Sidang lanjutan dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan yang menjadikan Setyo Hartono sebagai terdakwa akhirnya memasuki tahap pembelaan atau pledoi.
Dalam nota pembelaan setebal 98 halaman yang dibacakan di persidangan, Rabu (20/12), tim penasehat hukum terdakwa Setyo Hartono menilai, dalam penyusunan surat dakwaan dan dalam melakukan penerapan hukum di perkara ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) sudah melakukan penerapan hukum yang salah dan keliru.
Untuk itu, tim penasehat hukum terdakwa Setyo Hartono, dalam nota pembelaannya ini meminta, baik kepada JPU dan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini, supaya tidak terjebak dalam pengkhianatan terhadap profesionalisme hukum.
Lebih lanjut dijelaskan dalam nota pembelaan yang dibacakan di ruang sidang Garuda 2, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu (20/12) pada persidangan yang terbuka untuk umum, walaupun dalam proses pemeriksaan perkara ini banyak terjadi perbedaan, bahkan terjadi silang pendapat, antara pihak yang terlibat dalam proses peradilan pidana ini, perbedaan itu hendaknya diartikan dalam kerangka proses mencari kebenaran sejati, serta demi menegakkan hukum dan tetap menjaga the free and impartial tribunal atau peradilan yang merdeka dan tidak memihak.
Dalam nota pembelaan yang disusun dan ditanda tangani Pieter Talaway, SH, CN, MBA, Saiful Fachrudin,SH, Winston R Patty, SH, Ronald Talaway, SH dan Budi Herlambang, SH, tim penasehat hukum terdakwa Setyo Hartono kemudian mengutip pernyataan Dr. Artidjo Alkostar, SH, Hakim Agung dan juga Ketua Kamar Pidana Mahkamah Agung (MA) di sebuah artikel surat kabar dengan judul hukum untuk kemanusiaan.
Pada artikel itu, Artidjo Alkostar mengingatkan, produk penyelesaian masalah hukum yang verdiktif, agar tidak menimbulkan matinya akal sehat atau the death of common sense di dalam masyarakat. Putusannya harus masuk akal, merujuk pada norma, asas, dan nilai yang otentik.
Menanggapi hasil analisa hukum JPU atas fakta yang disampaikan dalam tuntutannya, dimana JPU menyimpulkan bahwa benar pada pertemuan tersebut terdakwa Setyo Hartono dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri, dengan tipu muslihat, menawarkan lahan tersebut, dengan menyatakan lahan tersebut masih bisa digunakan untuk jangka waktu 27 tahun.
“Atas analisa ini, kami menyatakan bahwa fakta yang sebenarnya terjadi adalah, Harto Kusumo bersama dengan anaknya yang bernama Sutikno Kusumo, yang mendatangi terdakwa Setyo Hartono, dari Jakarta ke Surabaya, tanpa dipanggil dan diundang,” ujar Pieter Talaway, salah satu penasehat hukum terdakwa Setyo Hartono saat membacakan nota pembelaan, Rabu (20/12).
Penuntut Umum, lanjut Pieter Talaway, memakai terminologi tipu muslihat, karena terdakwa mengatakan ada perjanjian kerjasama pemanfaatan tanah, jangka waktu 27 tahun, tidak ada masalah. Terhadap analisa yuridis penuntut umum ini, tim penasehat hukum terdakwa Setyo Hartono menilai, penuntut umum secara manipulatif, telah menghilangkan beberapa fakta diantaranya perjanjian kerjasama pemanfaatan lahan Pesapen yaitu Akte Nomor 29 tahun 1994 beserta addendumnya. Sampai saat ini, akte perjanjian belum dibatalkan oleh kedua belah pihak maupun oleh pengadilan. Artinya, masih sah mengikat kedua belah pihak.
“Kemudian adanya jaminan TNI AL bahwa tidak ada masalah pada perjanjian tersebut. Jaminan itu secara konkrit diberikan ke PT. Senopati Samudera Perkasa (SSP) maupun terdakwa. Hal itu dibuktikan dengan adanya pemberian sertifikat pemanfaatan lahan dengan jangka waktu dan atas nama PT. SSP, “ ungkap Pieter Talaway, masih dalam nota pembelaannya.
Masih menurut Pieter Tawalay saat membacakan nota pembelaannya, PT. Megah Utama Indah, PT. Sumitama Intinusa, Suwandi Ongkodjoyo, Kurniawan Soedewo, Rickey, Lipriady Prasetio, PT. Pelayaran Tempuran Emas, Tbk dan PT. Bintang Laut Perkasa yang menjadi mitra PT. SSP yang bekerja di atas lahan Pesapen, tidak ada yang diganggu karena adanya perjanjian pokok pemanfaatan lahan antara TNI AL dengan PT. SSP maupun terdakwa.
Hal lain yang mendapat tanggapan tim penasehat hukum terdakwa Setyo Hartono adalah uraian JPU tentang pembuatan akta nomor 10 dan nomor 11 tanggal 4 April 2013 dihadapan notaris Edhi Susanto, SH, adalah sesuai permintaan terdakwa.
“Analisa fakta ini sangat tidak rasional. Perjanjian notariil tidak mungkin dibuat hanya atas permintaan terdakwa, karena perjanjian ditanda tangani dua belah pihak, dibacakan, disepakati bersama. Sebelum perjanjian itu dibuat dan ditanda tangani, ada legal audit yang dilakukan tim legal PT. Temas, sebuah perusahaan go public, serta ada rapat direksi untuk memutuskan mau ata tidak pengoperan pemanfaatan lahan TNI AL tersebut, bukan permintaan terdakwa Setyo Hartono,” ungkap Pieter Talaway.
Hal lain yang juga mendapat tanggapan tim penasehat hukum terdakwa Setyo Hartono adalah tentang penandatanganan akta nomor 10 tanggal 4 April 2013 dan akta nomor 11 tanggal 4 April 2013, dimana penuntut umum menyatakan sampai saat ini PT. Temas tidak dapat menggunakan lahan yang dioper alihkan dari PT. SSP ke PT. Temas, karena ada pelarangan dari TNI AL, ternyata berdasarkan keputusan Menteri Keuangan No. 96/PMK.06/2007 tanggal 4 September 2007 tentang tata cara pelaksanaan, penggunaan, pemanfaatan, penghapusan dan pemindah-tanganan barang milik negara dan Surat Kasasi No.13/SLOG/03.11 sejak tahun 2009 lahan Pesapen akan digunakan TNI AL untuk mendukung tupoksi TNI AL, sehingga lahan yang diperjanjikan antara Puskopal Armatim dengan PT. SSP akan dialihkan atau direlokasi ke Desa Kepuh Lagen, Kecamatan Wringinanom, Kabupaten Gresik, namun ditolak terdakwa. Bahkan terdakwa berdasarkan akta nomor 10 tanggal 4 April 2013 dan akta nomor 11 tanggal 4 April 2013, mengoper-alihkan lahan seluas 20.065 m² ke PT. Temas.
Menurut tim penasehat hukum terdakwa Setyo Hartono, penuntut umum sudah melakukan pemutar balikan fakta atau distortion. Berdasarkan bukti surat saksi-saksi yang sudah diperiksa di persidangan, PT. Temas masih bisa menggunakan lahan itu sejak 4 April 2013 sampai Juli 2017.
“Sangat tidak masuk akal apabila sejak tanggal 4 April 2013 saat penandatanganan akte pada saat itu, PT. Temas tidak bisa menggunakan lahan. PT. Temas tidak mungkin mau melunasi seluruh bilyet giro yang dibayarkan secara bertahap, diangsur selama tujuh bulan terhitung sejak 4 April 2013. Atas analisa hukum ini, penutut umum tidak memuat legal reasoning,” papar Pieter.
Kesesatan berfikir dan penerapan analisa yuridis yang salah JPU, menurut tim penasehat hukum terdakwa Setyo Hartono, bukan hanya itu saja. Tentang adanya rencana tupoksi TNI AL pada tahun 2015 setelah perjanjian pengoperan pemanfaatan disepakati tahun 2013 antara PT. Temas dengan PT. SSP, ini juga merupakan kerancuan berfikir penuntut umum. Mengapa? Karena tidak ada hubungan tahun 2009 dengan rencana TNI AL tentang tupoksi tahun 2015 dan relokasi baru dibicarakan tahun 2015 untuk tanah pengganti di Desa Kepuh Lagen, Gresik.
“Tidak ada hubungan antara adanya Permenkeu no. 96/PMK.66/2007 tanggal 4 September 2007 dengan tupoksi tahun 2015. Ini membuktikan adanya kerancuan berfikir JPU, seolah-olah Permenkeu No. 96/PMK.66/2007 tanggal 4 September 2007 ini berupa larangan perjanjian kerjasama antara TNI AL dengan PT. SSP, padahal hanya pedoman untuk pembuatan kerjasama pemanfaatan kedepan dengan berbagai opsi. Baca dengan teliti pasal 5 ayat (4) Permenkeu. Dalam Permenkeu no. 96/PMK.66/2007 tanggal 4 September 2007 itu justru dinyatakan bahwa pemanfaatan Badan Milik Negara dilakukan dengan cara sewa, pinjam pakai, kerjasama pemanfaatan, bangun guna serah dan bangun serah guna (sama dengan BOT),” tandas Pieter.
Masih tentang masalah Permenkeu itu, tim penasehat hukum terdakwa Setyo Hartono menilai, Permenkeu no. 96/PMK.66/2007 tanggal 4 September 2007 ini tidak melarang BOT yang tertuang dalam perjanjian nomor 29 tahun 1994 antara TNI AL dengan PT. SSP, sehingga walaupun ada Permenkeu tersebut, perjanjian antara PT. SSP dengan TNI AL, tidak menjadi batal, dan tidak ada hubungannya dengan tupoksi karena tahun 2010 para mitra PT. SSP lainnya masih membangun depo kontainer, pabrik serta gudang. Tidak ada masalah dengan lahan yang dikerjasamakan.
Penuntut Umum mencoba menafsirkan pengertian pasal 9 perjanjian antara PT. Temas dengan PT. SSP, dimana di pasal itu dinyatakan kedua belah pihak dilarang atau sama sekali tidak berhak untuk mengalihkan hak pemanfaatan dalam arti hak pengelolaan lahan Pesapen Surabaya kepada pihak lain. Kedua belah pihak juga dilarang atau sama sekali tidak berhak untuk memanfaatkan komplek komersial atau industri Pesapen dengan tujuan yang menyimpang dari ketentuan yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
Menurut penasehat hukum terdakwa Setyo Hartono, kesimpulan penuntut umum tidak didasarkan pada penafsiran sistematika perundang-undangngan dan historical. Penuntut Umum lupa bunyi pasal 1.3 perjanjian nomor 29 tanggal 6 Oktober 1994 yang isinya, pihak kedua dapat memanfaatkan tanah dan investasi tersebut pada pasal 1.1 dengan tujuan untuk diri sendiri maupun pihak ketiga atau pihak lain kecuali BUMN, selama masa perjanjian ini.
Begitu pula ditegaskan dalam akte perjanjian tambahan atau amandemen tanggal 15 September 1998. Bahwa PT. SSP dapat mengalihkan hak pemanfaatan ke pihak ketiga. Perjanjian pengoperan pemanfaatan lahan ke pihak ketiga diperbolehkan karena tidak mungkin pemanfaatan lahan untuk kepentingan pihak ketiga atau pihak lain tidak dibuat dalam sebuah perjanjian pengoperan pemanfaatan.
Dalam nota pembelaan ini, tim penasehat hukum terdakwa Setyo Hartono juga menilai, bahwa penuntut umum mengabaikan fakta-fakta hukum yang rasional, dengan mendasarkan pemahaman kasus ini hanya berdasarkan interpretasi subyektif atas fakta yang terungkap secara parsial. Penuntut Umum tidak melihat fakta-fakta secara holistik dan komprehensif, sehingga analisa fakta yang dibuat penuntut umum tidak dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. (pay)