surabayaupdate.com
HEADLINE HUKUM & KRIMINAL INDEKS

Trio Bos Sipoa Menilai JAM Pidum Terlibat Praktek Mafia Hukum Dalam Kasus Sipoa Grup Dan JPU Telah Korupsi Pendapat Ahli Pidana

 

Trio bos Sipoa usai menjalani persidangan di PN Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)
Trio bos Sipoa usai menjalani persidangan di PN Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

SURABAYA (surabayaupdate) – Sidang lanjutan dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan yang menjadikan trio bos Sipoa menjadi terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, kembali digelar. Pada perhelatan kali ini, Senin (11/2) selain tim penasehat hukumnya, trio bos Sipoa yang terdiri dari Ir. Klemens Sukarno Candra, Aries Birawa dan Budi Santoso, diberi kesempatan untuk membacakan nota pembelaan atau pledoi.

Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) selama tiga tahun penjara atas perkara dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan, ternyata menimbulkan kesan tersendiri bagi ketiga bos Sipoa. Selain dirasa jauh dari rasa keadilan, ketiga bos sipoa yang saat ini diadili di PN Surabaya tersebut menilai, tingginya tuntutan yang dibacakan JPU dimuka persidangan pada persidangan sebelumnya itu ada peran serta mafia hukum yang masih menginginkan ketiga big bos Sipoa ini dipenjara.

Adanya dugaan mafia hukum itu terungkap dalam nota pembelaan atau pledoi yang dibacakan terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra. Dihadapan majelis hakim, JPU, dan tim penasehat hukumnya, Ir. Klemens Sukarno Candra yang membacakan nota pembelaan atau pledoi tersebut mengurai satu persatu tentang tuntutan tiga tahun penjara untuk dirinya dan dua terdakwa lainnya.

Bagaimana isi nota pembelaan ketiga bos Sipoa itu? Dalam nota pembelaannya, ketiga bos Sipoa yang menjadi terdakwa ini menyebut bahwa Jaksa Agung Muda (JAM) Pidana Umum (Pidum) Dr. Noor Rochmad, SH diduga sudah menjadi salah satu aktor dalam praktik mafia hukum untuk perkara Sipoa Group.

Dalam nota pembelaan atau pledoi yang dibacakan terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra dimuka persidangan itu dijabarkan, JAM Pidum ternyata mempunyai keputusan sendiri, dengan menaikkan tuntutan untuk terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra, Budi Santoso dan Aris Bhirawa dari satu tahun penjara, sebagaimana diusulkan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Jawa Timur, menjadi tiga tahun.

“Padahal selama persidangan, JPU tidak mampu membuktikan dakwaannya. Semua kerugian korban telah dikembalikan penuh. Kegagalan penuntut umum dalam menguraikan dan menyebutkan di dalam dakwaannya, mengenai perbuatan terdakwa yang mana dalam konteks pembelian unit apartemen, yang merupakan perbuatan melawan hukum, dan perbuatan yang sengaja dilakukan oleh ketiga terdakwa, sehingga terdakwa terdakwa patut dihadapkan di persidangan,” ujar terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra, saat membacakan nota pembelaan, Senin (11/2/2019).

Karena ketidakmampuan JPU untuk menyebutkan perbuatan para terdakwa mana yang dikategorikan sebagai tindak pidana tersebut, sambung terdakwa Klemens ketika membacakan nota pembelaannya, pada akhirnya telah mendorong JPU (telah) bersikap tidak jujur, termasuk memanipulasi dan mengingkari pendapat dua orang ahli pidana yang didatangkan dimuka persidangan dan kesaksiannya telah menjadi fakta persidangan dalam perkara ini.

Dalam pledoi ketiga terdakwa yang diberi judul “Melawan Mafia Hukuk Episode Kedua” dan kemudian dibacakan dimuka persidangan itu juga dijelaskan tentang adanya dugaan keterangan palsu dan serangkaian kebohongan yang sudah dilakukan JPU untuk terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra dan Budi Santoso, saat menuntut kedua terdakwa ini dengan pidana penjara selama empat tahun.

Ir. Klemens Sukarno Candra saat menjadi terdakwa di PN Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)
Ir. Klemens Sukarno Candra saat menjadi terdakwa di PN Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

“Berdasarkan surat tuntutan yang dibacakan JPU pada persidangan yang lain dengan terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra dan terdakwa Budi Santoso, JPU dalam rencana tuntutan (rentut)-nya sudah memasukkan fakta yang salah dalam surat tuntutannya, dengan memberikan keterangan palsu dan serangkaian kebohongan dalam surat tuntutan tersebut,” ungkap Klemens.

Akibatnya pun sangat fatal bagi kedua terdakwa, sambung Klemens, yakni Ir. Klemens Sukarno Candra dan Budi Santoso. JAM Pidum akhirnya memutuskan untuk menuntut kedua terdakwa ini dengan pidana selama empat tahun penjara.

Keterangan palsu dan serangkaian kebohongan yang dimaksud ketiga terdakwa yang tertuang dalam nota pembelaan atau pledoi, yang dibacakan terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra tersebut adalah tentang ketidakhadiran 15 orang saksi fakta atau A Charge dalam persidangan untuk perkara dugaan penipuan dan penggelapan, dengan terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra dan Budi Santoso.

Lima belas saks fakta yang tidak bisa dihadirkan JPU namun dinyatakan bahwa ke-15 orang saksi fakta tersebut datang ke persidangan dan memberi kesaksian itu bernama Yudi Hartanto, Fanny Sayoga, Debbie Puspasari Sutedja, Sugiarto Tanajohardjo, Ganitra Tee, Teguh Kinarto, Widjijono, Siauw Siauw Tiong, Harisman Susanto, Hioe Sutikno Husada, Jeffry Suryono, Brigita Niken Kurniasari, Ir. Rudianto Indargo, Maria  Hariati Soebagio, dan Costaristo Tee.

“Namun secara mengejutkan, JPU dengan seenaknya memberikan keterangan palsu dalam surat tuntutan yang dibacakan dimuka persidangan dengan mengatakan bahwa 15 saksi fakta tersebut hadir dipersidangan, dan memasukannya sebagai fakta persidangan,” kata Ir. Klemens Sukarno Candra saat membacakan nota pembelaan.

Masih menurut nota pembelaan yang dibacakan terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra tersebut, JPU dan kuasa hukum tidak pernah bertemu 15 orang saksi fakta tersebut bersaksi di muka persidangan. Tim kuasa hukum terdakwa juga tidak pernah mendengar BAP 15 saksi fakta tersebut dibacakan JPU.

“Para terdakwa tidak pernah dimintakan  tanggapannya oleh majelis hakim atas kesaksian 15 saksi tersebut di muka persidangan. Namun tiba-tiba pada surat tuntutan halaman 23 sampai dengan halaman 30, tanpa malu JPU memberikan keterangan palsu secara vulgar dan kasat mata dengan menulis: Terhadap Keterangan Saksi, Terdakwa Tidak Keberatan,” beber terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra saat membacakan nota pembelaan.

Masih mengenai nota pembelaan atau pledoi yang dibacakan terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra dimuka persidangan, juga dijelaskan tentang replik JPU yang isinya menolak pledoi para terdakwa, yang mana isi dari nota pembelaan atau pledoi terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra dan Budi Santoso tersebut mengatakan bahwa JPU sudah memberikan keterangan palsu dengan alasan yang tidak rasional.

Aris Birawa dan Ir. Klemens Sukarno Candra saat menjalani persidangan di PN Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)
Aris Birawa dan Ir. Klemens Sukarno Candra saat menjalani persidangan di PN Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

Dalam nota pembelaan terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra, Budi Santoso dan Aris Bhirawa ini juga disebutkan, JPU berdalih bahwa ketidakhadiran 15 saksi fakta dimuka persidangan namun disebut hadir dengan memberikan kesaksian, dan keterangan para terdakwa mengenai tanggapannya terhadap kesaksian 15 saksi fakta tersebut dimuka persidangan, merupakan sekedar peristiwa salah pengetikan yang tidak disengaja.

Begitu juga dengan kalimat palsu yang berbunyi “terhadap keterangan saksi terdakwa tidak keberatan” yang ditulis pada setiap akhir keterangan 15 orang saksi a charge itu menurut JPU adalah salah pengetikan yang tidak disengaja akibat ter-copy paste”.

“Dalih JPU itu terlalu naif, tidak rasional dan tidak logis. Proses persidangan ini adalah pergumulan diwilayah rasionalitas dimana kebenaran, argumen logis dan rasional harus dijadikan parameter. Alibi JPU merupakan manisfestasi apa yang dimaksud satu kebohongan akan melahirkan kebohongan-kebohongan baru,” tukas Ir. Klemens saat membacakan nota pembelaannya.

Masih menurut nota pembelaan ketiga terdakwa yang dibacakan terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra, tidak mungkin peristiwa  salah ketik bisa sampai sebanyak 20 halaman dan dibiarkan salah dalam waktu 35 hari. Dengan adanya fakta-fakta yang disampaikan ketiga terdakwa dimuka persidangan melalui nota pembelaan atau pledoinya itu, ketiga terdakwa ini semakin yakin bahwa tuntutan JPU untuk dua terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra dan Budi Santoso selama empat tahun penjara serta tuntutan JPU untuk ketiga terdakwa yaitu Ir. Klemens Sukarno Candra, Budi Santoso dan Aris Bhirawa selama tiga tahun, merupakan “pesanan” Konsorsium Mafia Surabaya.

Bukan hanya masalah adanya keterangan palsu, serangkaian kata-kata bohong yang dinyatakan JPU dalam surat tuntutannya serta tingginya tuntutan untuk ketiga terdakwa, baik untuk perkara dengan terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candar dan Budi Santoso serta perkara pidana dengan terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra, Budi Santoso dan Aris Birawa, yang menjadi sorotan ketiga terdakwa.

Di nota pembelaan atau pledoi yang dibacakan terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra itu juga disinggung tentang “korupsi pendapat ahli” yang sudah dilakukan JPU. Apa itu korupsi pendapat ahli? Bagaimana JPU bisa dinyatakan sudah melakukan korupsi pendapat ahli? Lebih lanjut dalam nota pembelaan atau pledoi itu dijelaskan, berdasarkan fakta persidangan, ahli pidana yang dihadirkan JPU yaitu Dr. M. Sholehuddin, S.H,M.H, maupun ahli pidana yang dihadirkan terdakwa yaitu Prof. Chairul Huda, SH, MH, sama-sama berpendapat bahwa  perkara yang dihadapi para terdakwa ini masuk ke dalam ranah hukum perdata.

“Mengutip pernyataan Dr. M. Sholehuddin, S.H., M.H pada persidangan sebelumnya dengan agenda mendengarkan kesaksian ahli pidana, apabila belum ada serah terima unit apartemen yang dipasarkan dan juga belum jatuh tempo penyerahan unit apartemen sebagaimana dalam perjanjian, maka hal tersebut tidak bisa kategorikan sebagai tindak pidana penipuan,” papar terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra saat membacakan nota pembelaannya.

Sedangkan pengembalian dana konsumen melalui cek, sambung Klemens, merupakan perbuatan hukum baru yang berbeda dengan perbuatan hukum pemesanan apartemen. Pengembalian dana kepada konsumen melalui cek adalah merupakan suatu kesepakatan baru, dimana kesepakatan itu merupakan perbuatan hukum keperdataan.

“Jadi, jika kesepakatan mengenai pengembalian dana pemesanan kepada konsumen tersebut tidak dilaksanakan, maka hal tersebut masuk ke dalam ranah wanprestasi,” ujar terdakwa Klemens saat membacakan nota pembelaannya.

Budi Santoso saat menjalani persidangan di PN Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)
Budi Santoso saat menjalani persidangan di PN Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

Pengembalian uang nasabah melalui cek, lanjut terdakwa Klemens, dan kemudian dikatakan sebagai cek kosong, merupakan elemen dari perbuatan hukum keperdataan berupa kesepakatan, bukan merupakan unsur dari delik penipuan. Apabila sejak awal orang yang menyerahkan cek mengetahui dengan pasti sejak awal bahwa cek yang diserahkannya itu tidak ada isinya, maka barulah tindakan memberikan cek itu masuk ke dalam salah satu unsur delik penipuan.

“Namun, terpenuhinya “unsur perbuatan kepalsuan” itu tidak membuat terpenuhinya delik penipuan karena harus dipenuhi unsur delik berikutnya yaitu “unsur orang tergerak untuk menyerahkan barang, atau membuat hutang, atau menghapuskan piutang,” tukas terdakwa Klemens saat membacakan nota pembelaan.

Masih menurut nota pembelaan para terdakwa, menurut ahli pidana dari Universitas Bhayangkara itu juga disinggung tentang adanya hubungan kausalitas langsung antara unsur memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat ataupun rangkaian kebohongan dengan unsur lain dalam tindak pidana penipuan yaitu menggerakan orang menyerahkan barang, memberi utang atau menghapus piutang. Menurut Dr. M. Sholehuddin, S.H., M.H dalam hal dana konsumen yang dijanjikan dikembalikan melalui cek sudah dilakukan pengembalian dan diterima oleh konsumen, maka mengenai pengembalian dana konsumen itu adalah jelas masuk dalam ranah hukum keperdataan.

Pernyataan Dr. M. Sholehuddin ini kemudian dibandingkan dengan pendapat Prof Chairul Huda, SH, MH, staf pengajar dari Universitas Muhamadiyah (Unmuh) Jakarta yang juga staf ahli Kapolri dibidang pidana. Dalam kesaksiannya dipersidangan, Prof. Chairul Huda menyatakan, tipu muslihat itu harus ada sebelum transaksi.

“Apabila penyerahan cek adalah sebagai bentuk pengembalian uang atas dasar kesepakatan mengenai pembatalan jual beli, maka tidak terpenuhinya pengembalian uang melalui penyerahan cek berupa cek kosong, bukanlah merupakan tipu muslihat,” ujar terdakwa Klemens saat membacakan nota pembelaannya.

Cek kosong menjadi tipu muslihat, sambung Klemens, apabila cek itu menjadi alat penggerak yang mengakibatkan piutang korban menjadi hapus, dimana penghapusan piutang itu dibuktikan dengan pernyataan korban mengenai telah hapus piutang. Kalau tidak bisa dicairkan itu, namanya gagal bayar dan masuk ke ranah keperdataan.

Mengenai unsur hapusnya piutang dalam delik penipuan, harus dibuktikan dengan pernyataan dari korban, bahwa piutang dari pelaku telah hapus sehingga apabila di dalam perjanjian pembatalan dan kesepakatan pengembalian dana ada klausula mengenai apabila tidak cair hak atas pemesanan tidak hilang, maka tidak dapat dikatakan telah terpenuhi unsur mengakibatkan hapusnya piutang, karena klausula perjanjian tersebut mengakibatkan piutang tidak hapus karena tidak cairnya cek pengembalian dana, sehingga tidak cairnya cek pengembalian dana bukan merupakan delik pidana penipuan.

Dalam nota pembelaan atau pledoi ketiga terdakwa itu juga disebutkan tentang keterangan ahli pidana mengenai penguasaan dalam delik penggelapan. Ahli menyebut, adanya penguasaan pada barang bergerak bukan karena kejahatan. Sedangkan dalam hal peristiwa hukum jual beli, uang yang dibayarkan oleh konsumen kepada penjual dalam sebuah transaksi jual beli, telah beralih hak kepemilikannya kepada penjual sehingga uang tersebut bukan lagi menjadi milik si pembeli lagi, dimana jika atas jual beli tersebut penjual gagal menyerahkan barang, yang terjadi bukanlah delik pidana melainkan perbuatan inkar janji atau wanprestasi. Ditambah lagi dalam beberapa literatur hukum, uang tidak dapat dikategorikan sebagai barang bergerak, sehingga unsur mengenai penggelapan yaitu penguasaan barang bergerak tidak terpenuhi.

Ketiga terdakwa dalam nota pembelaannya juga menjelaskan tentang tindakan penuntut umum yang hanya mengutip sebagian kecil dari kesaksian ahli pidana, baik yang dihadirkan JPU maupun yang dihadirkan penasehat hukum terdakwa, padahal kesaksian kedua ahli pidana yang dihadirkan itu sangat panjang dan lengkap.

Menurut terdakwa dalam nota pembelaannya, bukti bahwa penuntut umum hanya mengutip sebagian kecil dari kesaksian ahli adalah terkait dengan pemberian cek kepada konsumen. Lebih lanjut dinyatakan dalam nota pembelaan ketiga terdakwa ini, walaupun cek yang diberikan ke konsumen itu kosong, maka hal itu tidak bisa dinyatakan sebagai tindak pidana penipuan karena pemberian cek kosong tersebut tidak mengakibatkan menghapuskan piutang.

Dalam perjanjian pembatalan disebutkan, piutang hanya hapus bila cek cair, dan para terdakwa menjadi korban jebakan penipuan investor palsu bernama Agung Wibowo untuk menerbitkan cek refund kepada konsumen. (pay)

Related posts

PENYELUNDUPAN SABU-SABU ASAL MALAYSIA SEBERAT 2,45 KILO DIGAGALKAN

redaksi

Prajurit Korem 082/CPYJ Latihan Beladiri Yong Mo Do

redaksi

Pemuda Pancasila Kota Surabaya Kembali Demo Penjarakan Chin Chin Di Depan PN Surabaya

redaksi