surabayaupdate.com
HEADLINE HUKUM & KRIMINAL INDEKS

Hukuman Untuk Ketua DPC Peradi Kabupaten Sidoarjo Dinilai Masih Terlampau Ringan, Belum Memenuhi Rasa Keadilan

Alwan Noertjahjo dan Ir. Eduard Rudy, SH., M.H (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

SURABAYA (surabayaupdate) – Hukuman skorsing sembilan bulan yang diberikan majelis hakim pemeriksa pelanggaran etik profesi advokat Dewan Kehormatan (DK) Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) DKI Jakarta, masih meninggalkan luka mendalam bagi Alwan Noertjahjo.

Warga Desa Sumbersuko, Kecamatan Sumbersuko, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur ini belum bisa menerima majelis hakim pemeriksa pelanggaran etik profesi advokat DK DPD Peradi DKI Jakarta yang menjatuhkan hukuman percobaan sembilan bulan kepada Bambang Soetjipto, S.H., M.Hum., selaku Teradu I, DR. Leny Poernomo, ST., S.H., M.H., M.Kn., selaku Teradu II, Daeniz Twolahifebri, S.H., selaku Teradu VI.

Begitu pula dengan putusan yang dibuat dalam Rapat Musyawarah Majelis tanggal 23 Juli 2021, dipimpin Dr. Jack R. Sidabutar, S.H., M.M., M.Si selaku Ketua Majelis serta Dr. Binoto Nadapdap, S.H., M.H., Johnny Wirgho, S.H., SpN., M.H., Dr. Fal. Arovah Windiani, S.H., M.H., dan Dr. Fitra Deni, S.H., M.Si., masing-masing sebagai anggota majelis dan Rosyada Fahrun Nisya, S.H., sebagai Panitera Pengganti yang menyatakan bahwa Risal Rahim, S.H selaku Teradu III, Donny Bagus Saputro, S.H selaku Teradu IV dan Imam Loedfi, S.H., selaku Teradu V diberhentikan sementara selama enam bulan.

Menanggapi hukuman diberhentikan sementara selama sembilan bulan bagi Teradu I, Teradu II dan Teradu VI serta hukuman diberhentikan sementara selama enam bulan bagi Teradu III, Teradu IV danTeradu V itu, Alwan menyatakan bahwa putusan tersebut belum memenuhi rasa keadilan.

“Saya tetap menghormati putusan yang diambil majelis hakim pemeriksa pelanggaran kode etik profesi advokat DK Peradi DKI Jakarta tanggal 23 Juli 2021 kemudian dibacakan tanggal 30 Juli 2021 tersebut,” kata Alwan, Senin (16/8/2021).

Namun, lanjut Alwan, hukuman yang dijatuhkan kepada masing-masing teradu itu haruslah maksimal, karena tidak sebanding dengan apa yang sudah dilakukan keenam teradu terhadap dirinya.

“Teradu I hingga Teradu VI terlampau angkuh, sombong dan menganggap diri mereka paling hebat, sehingga keenam teradu ini tidak mau mengakui kesalahannya,” papar Alwan.

Keenam teradu, sambung Alwan, menganggap bahwa tindakan yang sudah mereka lakukan kepada pengadu selama menangani perkara pengadu sudah benar, sehingga keenam teradu itu tidak mau minta maaf hingga saat ini.

“Para teradu itu jelas-jelas telah melakukan pelanggaran berat. Para teradu itu sudah berbohong namun tidak mau mengakuinya. Jadi, hukuman yang pantas bagi keenam teradu itu termasuk Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Peradi Kabupaten Sidoarjo, Bambang Soetjipto adalah dipecat keanggotaannya dari Peradi,” ungkap Alwan Noertjahjo.

Alwan juga mengatakan, adanya rangkaian kebohongan yang dilakukan para teradu itu bahkan diungkap Daeniz Twolahifebri, S.H., selaku Teradu VI.

Masih menurut Alwan, kepada dirinya, Daeniz Twolahifebri itu mengaku terpaksa berbohong. Dari pernyataan Daeniz Twolahifebri itu akhirnya timbul pertanyaan Alwan, apakah profesi advokat ketika menjalankan tugasnya, diperbolehkan untuk berbohong?

Alwan Noertjahjo yang mengadukan Bambang Soetjipto dan rekan-rekannya ke majelis kehormatan DPD Peradi Jawa Timur. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

Hal lain yang menjadi keluhan Alwan Noertjahjo sebagi pengadu adalah ulah para teradu yang dengan sengaja memutar balikkan fakta, bekerja tidak profesional saat menjalankan profesinya sebagai advokat dan paling penting adalah tindakan rangkaian kebohongan yang sudah dilakukan teradu I sampai teradu VI itu sudah menyakitkan hati dirinya selaku masyarakat kecil yang mencari keadilan melalui lembaga peradilan.

Sementara itu, Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Kongres Advokat Indonesia (KAI) Kota Surabaya, Ir. Eduard Rudy, SH., M.H., dan juga selaku kuasa hukum Alwan Noertjahjo ini menilai bahwa hukuman pemecatan sebagai anggota Peradi, memang pantas diterima Bambang Soetjipto dan kelima teradu yang lain.

Direktur Bejana Law Firm ini kemudian menjelaskan banyak hal yang bisa dijadikan pertimbangan majelis hakim pemeriksa pelanggaran etik profesi advokat DPD Peradi pada DKD DKI Jakarta untuk memecat Bambang Soetjipto dan lima teradu lainnya.

“Bambang Soetjipto dengan angkuhnya mengatakan bahwa dirinya sudah berprofesi sebagai advokat selama 40 tahun. Seharusnya, dengan masa bakti yang segitu lama, Bambang Soetjipto tidak membuat tindakan merugikan profesi advokat yang telah ia rintis selama puluhan tahun,” ungkap Eduard Rudy.

Kemudian, lanjut Eduard Rudy, selaku advokat senior dan juga mempunyai jabatan, Bambang Soetjipto dan juga lima teradu lainnya, tidak sepatutnya melakukan tindakan penghinaan terhadap peradilan.

“Bambang Soetjipto dan para teradu lainnya telah menghina badan peradilan atau contempt of court yang saat itu sedang mengadili dirinya atas dugaan pelanggaran etik profesi advokat yang telah ia lakukan bersama-sama dengan lima teradu lainnya,” jelas Eduard Rudy.

Meninggalkan ruang persidangan, sambung Eduard Rudy, padahal waktu itu persidangan masih belum berakhir dan majelis hakim DK yang memeriksa pelanggaran etik profesi advokat kala itu sedang mencari kebenaran materiil sabagaimana yang diadukan Alwan Noertjahjo selaku pengadu.

Dengan melihat fakta-fakta tersebut, pengacara senior yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Dewan Pimpinam Pusat (DPP) KAI ini secara tegas mengatakan bahwa Bambang Soetjipto dan lima teradu lainnya, memang layak untuk dipecat, melihat atitude yang diperlihatkan keenam teradu tersebut sangat buruk dan tidak menjaga kewibawaan profesi advokat pada umumnya dan jabatannya sebagai Ketua DPC Peradi Kabupaten Sidoarjo pada khususnya.

Eduard Rudy juga menambahkan, hingga saat ini tim kuasa hukum pengadu dan Alwan Noertjahjo masih menunggu memori banding dari keenam teradu, sebab pasca putusan yang dibacakan majelis hakim DK pemeriksa etik profesi advokat DPD Peradi DKI Jakarta, Bambang Soetjipto dan lima teradu lainnya langsung melakukan upaya hukum banding.

Walaupun ada kesan bahwa Bambang Soetjipto dan para teradu lainnya diampuni majelis hakim pemeriksa etik profesi advokat DK DPC Peradi DKI Jakarta, namun pengadu dan penasehat hukumnya masih menaruh harapan kepada majelis hakim pemeriksa pelanggaran etik ditingkat banding, adanya sebuah keadilan bagi pengadu.

Ketua DPC KAI Kota Surabaya, Ir. Eduard Rudy, SH., M.H (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

Terkait upaya hukum lainnya yang masih bisa ditempuh, misalnya mengajukan gugatan ke pengadilan, Eduard Rudy mengatakan, semua itu akan dibicarakan dengan kliennya sebagai pengadu.

“Upaya hukum lain sebagai upaya hukum lanjutan, akan kami tempuh setelah kami menerima putusan yang berkekuatan hukum tetap atau ikracht,” terang Eduard Rudy

Seperti yang pernah diberitakan sebelumnya, berdasarkan putusan DK Daerah DKI Jakarta, perkara nomor : 40/PERADI/DKD/DKI-JAKARTA/ PUTUSAN/VII/2021 tanggal 23 Juli 2021 disebutkan, bahwa Majelis Kehormatan pada DKD Peradi DKI Jakarta memutuskan, menerima pengaduan dari pengadu, menyatakan pengaduan dari pengadu terbukti sebagian.

Majelis DK pada DKD Peradi DKI Jakarta juga menyatakan bahwa Bambang Soetjipto, S.H., M.Hum., selaku Teradu I, DR. Leny Poernomo, ST., S.H., M.H., M.Kn., selaku Teradu II, Risal Rahim, S.H., selaku Teradu III, Donny Bagus Saputro, S.H., selaku Teradu IV, Imam Loedfi, S.H., selaku Teradu V dan Deaniz Twolahifebri, S.H., selaku Teradu VI terbukti bersalah melanggar pasal 26 ayat 2 Undang-Undang No. 18 tahun 2003 tentang Advokat, pasal 4 huruf (a) dan pasal 4 huruf (b) Kode Etik Advokat Indonesia.

Akibat dari perbuatan dan pelanggaran etik yang dilakukan Bambang Soetjipto dan lima teradu lainnya itu, majelis DK pada DKD Peradi DKI Jakarta menjatuhkan hukuman yang berbeda.

Untuk Bambang Soetjipto, S.H., M.Hum., selaku Teradu I, DR. Leny Poernomo, ST., S.H., M.H., M.Kn., selaku Teradu II, Daeniz Twolahifebri, S.H., selaku Teradu VI dihukum diberhentikan sementara selama sembilan bulan, sedangkan Risal Rahim, S.H selaku Teradu III, Donny Bagus Saputro, S.H selaku Teradu IV dan Imam Loedfi, S.H., selaku Teradu V diberhentikan sementara selama enam bulan.

Selain itu, dalam amar putusan majelis DK pada DKD Peradi DKI Jakarta yang dibacakan Dr. Jack R. Sidabutar, S.H., M.M., M.Si selaku Ketua Majelis itu juga dinyatakan bahwa keenam teradu juga dijatuhi hukuman membayar biaya perkara sebesar Rp. 5 juta.

Dalam putusan perkara nomor : 40/PERADI/DKD/DKI-JAKARTA/ PUTUSAN/VII/2021 tanggal 23 Juli 2021 itu ada beberapa pertimbangan yang diambil majelis DK pada DKD Peradi DKI Jakarta sebelum menjatuhkan hukuman kepada keenam teradu.

Majelis DK pada DKD Peradi DKI Jakarta dalam pertimbangan hukumnya menyebutkan, karena para teradu tidak lagi menyimpan atau memegang uang yang merupakan hak dari pengadu, maka dalil dari pengadu bahwa para teradu membebani pengadu dengan biaya-biaya yang tidak perlu, dan uang tersebut tidak dinikmati para teradu, hal ini menunjukkan bahwa pengadu tidak menanggung biaya-biaya yang tidak perlu. Yang terjadi adalah upaya dari para teradu yang tidak segera mengembalikan uang operasional secara sekaligus, pada awalnya menimbulkan kerugian terhadap pengadu.

Namun dengan dikembalikan uang operasional secara tunai dan melalui konsinyasi, hal tersebut menjadikan pengadu tidak menanggung biaya yang tidak perlu.

Selama dalam persidangan ini, sikap dan perilaku para teradu tidak mematuhi proses persidangan yang bersifat tertutup untuk umum.

Penasehat hukum Alwan Noertjahjo, Ir. Eduard Rudy, SH., M.H., saat memberikan keterangan. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

Para teradu mengirim surat ke pihak-pihak lain yang tidak berhak untuk mengetahui apa yang terjadi dalam persidangan. Karena pemeriksaan adalah bersifat tertutup, maka tindakan dari para teradu yang mengirimkan surat kepada pihak yang tidak boleh mengetahui, apalagi mengintervensi penanganan perkara Kode Etik Advokat Indonesia, adalah salah satu bentuk pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia tersendiri.

Dalam pertimbangan hukum yang tercantum dalam putusan ini juga dinyatakan, sikap dari para teradu yang meninggalkan persidangan tanggal 07 Mei 2021, merupakan salah satu bentuk perilaku yang tidak etis.

Selama sekian lama anggota Majelis Kehormatan pada DKD Peradi DKI Jakarta yang menanganai perkara pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia ini, belum pernah ada pengadu maupun teradu yang berani meninggalkan ruang persidangan dengan alasan suara dari Majelis Kehormatan pada DKD Peradi DKI Jakarta tidak sesuai frekuensi telinga dari para teradu, padahal persidangan dilaksanakan secara daring.

Dalam putusan yang dibuat dan ditanda tangani Dr. Jack R. Sidabutar, S.H., M.M., M.Si selaku Ketua Majelis serta Dr. Binoto Nadapdap, S.H., M.H., Johnny Wirgho, S.H., SpN., M.H., Dr. Fal. Arovah Windiani, S.H., M.H., dan Dr. Fitra Deni, S.H., M.Si masing-masing sebagai anggota juga dijelaskan, bahwa tindakan dari para teradu yang mengirimkan surat kepada berbagai pihak, menilai suara dari Majelis Kehormatan pada DKD Peradi DKI Jakarta sesuai dengan ukurannya telinganya sendiri serta meninggalkan ruang sidang selama persidangan, merupakan bentuk pelanggaran yang sangat berat, yang pada tempatnya dijatuhi hukuman yang terberat, yaitu diberhentikan secara tetap dari kenggotaan advokat, terlebih lagi Teradu I mengatakan dirinya sudah berpraktik selama 40 tahun. Dengan adanya tindakan yang dilakukan teradu I dan teradu lain, yang meninggalkan sidang Kode Etik Advokat Indonesia tanggal 07 Mei 2021, merupakan tindakan yang sangat tidak terpuji.

Menimbang bahwa, oleh karena yang dipertimbangkan oleh Majelis Kehormatan pada Dewan Kehormatan Daerah Peradi DKI Jakarta bukan hanya perilaku dari Para Teradu yang meninggalkan ruang persidangan serta dalam persidangan sering kali mengeluarkan kata-kata bohong atas keterangan yang diberikan pengadu maupun keterangan yang diberikan saksi Pengadu, agar perkara pelanggaran Kode Etik Advokat Indonesia lebih utuh mengenai duduk soal perkaranya, Majelis Kehormatan pada DKD Peradi DKI Jakarta juga mempertimbangkan sisi lain dari upaya yang sudah dilakukan para teradu dalam menangani perkara dari pengadu.

Sementara itu, dalam laporannya kepada DK Peradi Jawa Timur, Alwan Noertjahjo sebagi pengadu merasa kecewa atas janji memenangkan perkara melawan Bank CIMB Niaga cabang Surabaya, namun tidak terbukti. Atas tindakan Bambang Soetjipto ini, Alwan pun merasa ditipu.

Alwan mengatakan alasan memilih Bambang mendampingi dirinya melawan Bank CIMB Niaga Surabaya adalah background dan jabatan Bambang sebagai Ketua DPC Peradi Sidoarjo.

Terkait janji memenangkan perkara yang pernah diucapkan advokat Bambang Soetjipto ketika itu, Alwan mengatakan, bahwa advokat Bambang Soetjipto meminta sejumlah uang kepadanya.

Masih menurut pengakuan Alwan, uang ratusan juta yang diminta Bambang Soetjipto itu, katanya untuk memilih hakim dan untuk putusan sela.

“Biaya untuk memilih majelis hakim, Bambang Soetjipto meminta Rp. 60 juta, dan untuk membiayai putusan sela, ia meminta Rp. 200 juta,” ujar Alwan.

Dari jumlah Rp. 260 juta ini, lanjut Alwan, belum termasuk fee lawyer dan biaya operasional. Ketika seluruh uang yang ia minta sudah dipenuhi, kemenangan yang dijanjikan tidak ada. Saya malah kalah dipersidangan dan banyak aset yang tersita. Nilai aset yang disita itu berjumlah Rp. 5 miliar.

Yang membuat Alwan jengkel, begitu perkaranya kalah dan dinyatakan ditolak Pengadilan Negeri (PN) Lumajang, advokat Bambang Soetjipto maupun teamnya, malah tidak pernah menghubunginya sama sekali. (pay)

 

Related posts

Komisi A Merasa Terpukul Dengan Munculnya Bill Karaoke Senilai Hampir Tujuh Juta Rupiah

redaksi

BNNP Kalteng Amankan Anak Kepala Sekolah SDN Kotawaringin Saat Gelar Razia Narkoba Di Bandara H. Asan

redaksi

Indosat Salurkan Bantuan Untuk Masyarakat Lumajang Terdampak Banjir Lahan Dingin Semeru

redaksi