surabayaupdate.com
HEADLINE HUKUM & KRIMINAL INDEKS

Tim Kuasa Hukum Luruskan Fakta Hukum Terkait Gugatan Praperadilan Yang Dimohonkan Pendiri Sekolah SPI

Jeffry Simatupang salah satu kuasa hukum JE digugatan praperadilan. (FOTO : parlin/surabayaupdate.vom)

SURABAYA (surabayaupdate) – Banyaknya pemahaman dimasyarakat yang salah tentang bunyi putusan hakim tunggal pemeriksa gugatan praperadilan yang dimohonkan JE, mendapat tanggapan tim kuasa hukumnya.

Tim kuasa hukum salah pendiri sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI) tersebut adalah Dr. P.D Sitompul, Jeffry Simatupang, SH., M.H, Ditho Sitompoel, Philipus Sitepu, Epi fani Rahmad Gunadi, Nico Sihombing.

Jeffry Simatupang, salah satu tim kuasa hukum JE menjelaskan, dalam gugatan praperadilan yang dimohonkan salah satu pendiri sekolah SPI tersebut, hakim Martin Ginting yang menjadi hakim tunggal pemeriksa gugatan praperadilan dalam putusannya menyatakan bahwa gugatan praperadilan ini tidak dapat diterima.

“Putusannya gugatan praperadilan yang dimohonkan JE tersebut bukan ditolak hakim, namun tidak dapat diterima atau dikenal dengan istilah Niet Ontvankelijke Verklaard atau yang seringkali disebut sebagai Putusan NO,” ujar Jeffry.

Yang membedakan putusan ditolak, lanjut Jeffry, dengan tidak dapat diterima adalah, jika dalam putusannya hakim pemeriksa menyatakan bahwa gugatan ditolak, maka materinya atau pokok perkaranya sudah diperiksa, dan dalil-dalil pemohon tidak kuat sehingga ditolak.

“Sedangkan kemarin, hakim pemeriksa dalam putusannya menyatakan bahwa gugatan pemohon praperadilan tidak dapat diterima, karena kurang pihak,”jelas Jeffry.

Jika tentang putusan praperadilan karena kurang pihak, lanjut Jeffry, masih belum menyentuh pokok materi gugatan sehingga nantinya pemohon dapat mengajukan praperadilan lagi.

Meski dalam praperadilan pertama hakim pemeriksa praperadilan tidak dapat menerima karena dianggap kurang pihak, namun Jeffry optimis dalam gugatan praperadilan kedua yang akan dimohonkan kembali, bakal dikabulkan hakim.

Pertimbangannya adalah, semua ahli yang dihadirkan dipersidangan, baik ahli dari pemohon maupun ahli pidana dari termohon, semuanya satu suara.

“Menurut para ahli pidana, dua alat bukti yang sah, harus memiliki relevansi dengan perbuatan dan harus memiliki relevansi dengan siapa yang telah melakukan tindak pidana,” papar Jeffry.

Jeffry kemudian menyebutkan, alat bukti yang dipakai penyidik kepolisian adalah hasil visum tahun 2021. Kalau perbuatan terdakwa didalilkan terjadi tahun 2008-2011, menurut ahli visum, hasil visum 2021 tidak bisa menunjukkan hasil perbuatan ditahun 2008-2011. Dan batas keakuratan sebuah visum adalah 5-7 hari.

Berkaitan dengan visum, Jeffry kembali menjelaskan, bahwa dugaan pencabulan tidak perlu visum, beda dengan persetubuhan. Dalam pencabulan bisa menggunakan visum apabila ada kekerasan.

Dalam perkara dugaan pencabulan dan persetubuhan yang menjadikan JE sebagaj tersangka ini, Jeffry menerangkan, yang dijadikan bukti penyidik adalah keterangan saksi dan hasil visum.

Untuk mengungkap fakta yang memperkuat alibi bahwa JE tidak bersalah, sebagaimana sudah dijelaskan dipersidangan, Jeffry mengatakan, setelah pelapor mengajukan cuti kepada yayasan, saksi mengatakan kepada teman-temannya, mau tour de hotel bersama dengan pacarnya yang bernama Robert.

“Sebenarnya, hasil visum yang dimiliki polisi, adalah berkaitan dengan (adanya) persetubuhan yang dilakukan pelapor dengan pacarnya pada waktu itu,” tandasnya.

Tour de hotel ini menurut Jeffy dilakukan di Madiun. Mengapa di Madiun? Karena pelapor berasal dari Madiun. Jadi kesimpulannya, visum yang dijadikan alat bukti penyidik kepolisian tersebut mencerminkan perbuatan terakhir.

Kepada publik, Jeffry juga menjelaskan, bahwa Kak Seto selaku pemerhati anak, sudah pernah datang ke sekolah SPI. Berdasarkan pemeriksaan Kak Seto, tidak ditemukan adanya pencabulan, persetubuhan dan kondisi wajah anak-anak di SPI yang terlihat depresi.

Jika melihat materi gugatan praperadilan yang dimohonkan JE melalui kuasa hukumnya tersebut, secara tegas Jeffry mengatakan harusnya gugatan praperadilan JE ini menang.

Meski tidak sependapat dengan putusan hakim Martin Ginting yang menyatakan bahwa gugatan praperadilan JE ini tidak dapat diterima karena kurang pihak, dimana Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim tidak diikutkan sebagai pihak atau turut termohon, tim kuasa hukum JE sangat menghormati putusan hakim tersebut.

Yang menjadi alasan tim penasehat hukum JE tidak sependapat dengan putusan hakim Martin Ginting yang tidak seharusnya menyatakan gugatan praperadilan ini kurang pihak adalah, yang menetapkan JE sebagai tersangka adalah kepolisian, dalam hal ini penyidik Polda Jatim.

“Mengacu pasal 77 KUHAP, siapa pihak yang telah menetapkan JE sebagai tersangka, dialah yang kita mohonkan praperadilan,” ulas Jeffry.

Jeffry juga menjelaskan, dalam praperadilan, hukum acara yang digunakan adalah sebagian menggunakan hukum acara perdata.

“Hukum Acara Pidana tidak mengenal dalam putusannya, tidak dapat diterima. Putusan tidak dapat diterima itu hanya terdapat di putusan hukum tata negara dan perdata,” ungkap Jeffry

Dan dalam gugatan praperadilan itu, sambung Jeffry, sebagian menggunakan hukum acara perdata, sebagian menggunakan pidana untuk formilnya, makanya dipersidangan praperadilan ketika sidang tidak menggunakan toga.

Ditingkat penyidikan, Jeffry menyayangkan sikap penyidik Polda Jatim yang mengesampingkan hak-hak JE sebagai tersangka maupun terperiksa.

Hak-hak JE yang dikesampingkan penyidik adalah dalam hal menghadirkan saksi yang meringankan atau saksi A de Charge. Untuk saksi yang meringankan ini, dihadirkan atas inisiatif kuasa hukum JE.

“Dalam proses penyidikan, baik saksi yang meringankan maupun saksi yang memberatkan, harus punya hak yang sama untuk dipanggil,” ujar Jeffry.

Yang terjadi selama ini adalah, penyidik hanya menghadirkam atau memanggil saksi yang memberatkan saja, untuk membuktikan perbuatan terdakwa, sedangkan kebutuhan akan saksi yang meringankan atau A de Charge, dipersilahkan didatangkan sendiri dipersidangan.

Saksi meringankan yang dihadirkan JE, lanjut Jeffry, berdasarkan testimonium de auditu, mempunyai kekuatan hukum pembuktian, walaupun para saksi yang masuk testimonium de auditu, berdasarkan pernyataan pelapor menyatakan peristiwanya 22 Desember 2021, ada orang yang menyatakan bahwa ditanggal itu JE tidak datang ke sekolah Selamat Pagi Indonesia (SPI). Tidak adanya JE di sekolah SPI itulah yang disebut testimonium de auditu. (pay)

 

Related posts

Polisi Belum (Berani) Menahan Tersangka Kasus Tabrak Wali Murid Merlion International School

redaksi

Penasehat Hukum Warga Tanjungsari Tuduh Majelis Hakim Class Action Kedua Sudah Terima Suap

redaksi

Seorang Kakek Yang Terkena Stroke Menyaksikan Rumahnya Dieksekusi Pengadilan

redaksi