
SURABAYA (surabayaupdate) – Seorang dokter spesialis mata di Surabaya dihukum Mahkamah Agung (MA) karena telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Dalam putusan nomor : 1815 K/Pdt/2021 yang dibuat dan ditanda tangani majelis hakim agung MA yang terdiri dari Prof. Dr. Takdir Rahmadi, SH., LL.M. selaku ketua majelis dan Maria Anna Samiyati, SH., Dr. Dwi Sugiarto,SH., masing-masing sebagai hakim anggota, bahwa Dr Moestidjab, SpM-KVR sebagai Tergugat I D
dan PT Surabaya Eye Clinic sebagai Tergugat II, telah melakukan perbuatan melawan hukum.
Lebih lanjut disebutkan dalam putusan para hakim agung MA yang dibacakan Rabu (29/9/2021) tersebut juga disebutkan bahwa permohonan kasasi yang diajukan Tatok Poerwanto sebagai pemohon kasasi melalui kuasa hukumnya, dikabulkan.
Para hakim Agung MA yang memeriksa dan memutus perkara ini, dalam amar putusannya juga menyebutkan, bahwa Putusan Pengadilan Tinggi Surabaya Nomor 277/PDT/2020/PT.SBY tanggal 16 Juni 2020 yang menguatkan Putusan Pengadilan Surabaya Nomor 415/Pdt G/2019/PN Sby tanggal 10 Maret 2020, dibatalkan.
“Mengadili sendiri. Dalam eksepsi, menolak eksepsi Tergugat I Dr. R. Moestidjab, SpM-KVR dan Tergugat II PT Surabaya Eye Clinic seluruhnya,” mengutip isi amar putusan para hakim agung yang memeriksa dan memutus perkara ini.
Bukan hanya itu, dalam putusan setebal 13 halaman itu juga disebutkan, menghukum Tergugat I dan Tergugat II untuk membayar secara tanggung renteng ganti rugi materiil sebesar Rp. 260.689.917,00.
Masih mengenai isi putusan majelis hakim agung yang memeriksa dan memutus perkara ini, Tergugat I dan Tergugat II juga dihukum membayar secara tanggung renteng ganti rugi immateriil sebesar Rp. 1 miliar, menghukum Turut Tergugat untuk tunduk dan taat pada isi putusan ini, menolak gugatan penggugat untuk selain dan selebihnya.
Adapun yang menjadi pertimbangan majelis hakim agung MA adalah, ganti kerugian materil yang diminta penggugat sebesar Rp. 260.689.917,00 dapat dipenuhi karena petitum tersebut telah didukung bukti-bukti.
Selain itu, dalam doktrin perbuatan melawan hukum, jika gugatan memuat petitum ganti rugi immateriil dan jika gugatan dikabulkan, hakim dapat mengabulkan ganti rugi immateriil.
Masih mengutip isi pertimbangan hukum majelis hakim agung MA dalam putusan nomor : 1815 K/Pdt/2021 ini juga disebutkan, dalam menentukan besaran atau jumlah ganti rugi immateriil, Judex Juris tidak terikat pada fakta pengeluaran biaya, tetapi hal itu merupakan kebijakan Judex Juris dengan mendasarkan pada keadaan kerugian fisik penggugat yaitu mata sebelah kiri yang tidak dapat lagi berfungsi secara normal.
Para hakim agung MA yang menjadi majelis hakim pemeriksa diperkara ini juga berpendapat, mata merupakan bagian sangat penting bagi manusia, karena dengan mata, manusia dapat membaca buku-buku, tulisan guna memperoleh atau meningkatkan pengetahuan, menonton sarana informasi untuk hiburan maupun untuk penambahan pengatahuan serta menikmati keindahan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa.
Walaupun dengan satu mata, masih berdasarkan isi putusan majelis MA yang memeriksa dan memutus perkara ini, manusia masih dapat melakukan aktifitas tersebut. Tetapi kehilangan satu mata tetap merupakan musibah.
Akan tetapi, karena pada saat menjalani operasi mata, usia penggugat telah mencapai 77 tahun, yang berarti usia orang pensiun, yang berarti penggugat tidak lagi menjalani aktifitas bekerja atau menuntut ilmu secara formal meskipun dalam pengakuan penggugat ia masih mampu menyetir mobil.

Namun fakta usia penggugat tidak lagi produktif, dipertimbangkan untuk tidak dapat memenuhi keseluruhan jumlah petitum penggugat yaitu ganti rugi immateriil sebesar Rp. 8 miliar.
Jumlah Rp. 8 miliar juga dapat memberatkan keuangan tergugat I dan tergugat II, sehingga mungkin dapat mengakibatkan kepailitan.
Selain itu, tergugat I dan tergugat II yang bergerak dalam pelayanan medis khususnya mata, tetap diharapkan kehadiran dan peranannya bagi masyarakat.
Dalam putusan majelis hakim agung MA ini juga disebutkan, menimbang rasa keadilan karena kerugian yang diderita Tatok Poerwanto sebagai penggugat disebabkan kekurang hati-hatian tergugat | bukan karena kesengajaan, maka petitum ganti rugi immaterial tersebut tidak dapat dipenuhi sepenuhnya Judex Juris menimbang ganti rugi.
Ir. Eduard Rudy Suharto, S.H. M.H, kuasa hukum Tatok Poerwanto menyatakan, putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menyatakan bahwa dr Moestidjab tidak bersalah, hanya berdasarkan keterangan ahli dari Persatuan Dokter Mata Indonesia (PERDAMI) cabang Surabaya yang diperdengarkan pada agenda sidang sebelumnya.
Lebih lanjut Eduard Rudy menyatakan, pada persidangan waktu itu, ahli yang dihadirkan dipersidangan secara tegas mengatakan, tindakan yang dilakukan Moestidjab telah sesuai dan tidak melanggar kode etik.
“ Namun keterangan ahli tersebut berhasil kita patahkan dengan hasil rekam medis yang saya dapatkan dari rumah sakit di Singapura dan Australia sebagai pembanding,” ujar Eduard Rudy, Selasa (17/5/2021).
Rekam medis yang penggugat peroleh dari rumah sakit di Singapura dan di Australia ini, lanjut Eduard Rudy, ternyata tidak dipertimbangkan majelis hakim PN Surabaya yang memeriksa dan memutus perkara ini.
Ketua Kongres Advokat Indonesia (KAI) Kota Surabaya ini melanjutkan, dalam rekam medis pembanding yang diterimanya disebutkan bahwa dr Moestidjab memukul lapisan katarak terlalu keras sehingga tembus kebawah masuk ke kornea mata.
“Luka tersebut kemasukan luka dari katarak, ditutup pendarahan tanpa dibersihkan, dengan alasan tidak memiliki alat, kemudian dirujuklah ke rumah sakit Graha Amerta dengan alasan peralatan lebih lengkap,” ungkap Eduard Rudy.
Eduard Rudy kembali menjelaskan, ini menjadi bumerang bagi mereka, karena dua dalil tersebut berhasil dipatahkan kuasa hukum penggugat di Kasasi.
“Saya katakan, dengan bukti di internet, mereka mengklaim peralatan klinik mata tergugat I dan tergugat II terlengkap se-AsiaTenggara,” kata Eduard Rudy.
Yang menjadi pertanyaan besar kuasa hukum Tatok Poerwanto dan dituangkan dalam memori kasasi, kalau tidak ada pelanggaran dan operasi berjalan baik kenapa ada kebutaan?

“Didalilkan tergugat I dan tergugat II, bahwa Tatok Poerwanto ada sakit bawaan, contoh kencing manis. Itu nonsense. Sebab, sebelum melakukan operasi pasti sudah dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu sampai beberapa hari,” ujar Eduard Rudy
Eduard Rudy kembali menjelaskan, tidak mungkin seorang dokter yang sangat terkenal melakukan operasi tanpa melakukan medical chekup lengkap.
Ketua bidang hukum dan HAM DPP KAI ini juga mengatakan, dari hasil alih bahasa atau translate rekam medis dari Rumah Sakit di Australia disebutkan, prosedur awal Dr. R. Moestidjab memukul itu sudah salah.
Merujuk ke Rumah Sakit di Malaysia, yang mana dalam surat rujukan disebutkan bahwa, Tatok Perwanto datang ke Dr Moestidjab, SpM-KVR dalam kondisi katarak yang sudah pecah.
“Itu bohong. Harusnya Dr. Moestidjab mengakui kesalahannya. Bahwa ia telah melakukan operasi dan mengalami kegagalan, bukan malah memutarbalikkan kata,”papar Eduard Rudy.
Ketua IPHI Surabaya ini kembali mengatakan, dengan apa yang sudah diperbuat Dr. R. Moestidjab tersebut, akhirnya majelis Hakim Agung MA dalam putusannya menilai, ada perbuatan melawan hukum yang telah dilakukan Dr. R. Moestidjab sebagai Tergugat I, dan bukan perbuatan wanprestasi, sehingga dapat dikatakan jika Tatok Poerwanto ini adalah korban dugaan malpraktek.
Sementara kuasa hukum Dr Moestidjab, Sumarso saat dikonfirmasi menyatakan belum bisa komentar, sebab pihaknya belum menerima salinan putusan.
“ Belum bisa komentar karena saya belum menerima salinan putusan,” ujarnya.
Perlu dikerahui, kasus ini bermula pada 28 April 2016. Saat itu Tatok Poerwanto datang ke Surabaya Eye Clinic, Jalan Jemursari 108, untuk mengobati penyakit katarak di mata kirinya. Saat itu, Tatok ditangani dr Moestidjab dan disarankan operasi. Namun, pascaoperasi, bapak tujuh anak ini tidak merasakan ada perubahan. Malah mata kirinya makin sakit dan nyeri.
Kemudian Tatok disarankan operasi kembali. Pada operasi kali kedua ini tidak di klinik, tapi di Graha Amerta, RSUD dr Soetomo, Surabaya dengan alasan peralatan medis di sana (Graha Amerta) lebih lengkap. Tatok pun menjalani operasi kedua pada 10 Mei 2016.
Menurut Eduard Rudy, pada operasi kedua yang awalnya dijanjikan hanya berlangsung 30 menit ini, mendadak molor hingga lima jam. Anehnya lagi, usai operasi, Moestidjab tidak menemui pasien. Tapi menugaskan asistennya menyampaikan hasil operasi.
“Dokter itu berupaya bohong dengan meminta asistennya mengatakan operasi tidak dapat dilanjutkan. Karena ada pendarahan. Selain itu alat tidak memadai, jadi beliau angkat tangan,” ungkap Eduard.
Dugaan malapraktik terbongkar, saat pihak keluarga mendapat salinan rekam medis hasil berobat, kondisi mata Tatok sudah tidak bisa ditangani. Sebab pada operasi pertama, ada lensa mata yang robek serta pecahan kataraknya, ternyata bertaburan di mata pasien. (pay)