surabayaupdate.com
HEADLINE HUKUM & KRIMINAL INDEKS

LQ Indonesia Lawfirm Ragu Ada Keadilan Untuk Para Korban Indosurya. Banyak Kejanggalan Diperkara Ini. Para Mafia Hukum Ikut Bermain?

Alvin Lim bersama pada advokat yang tergabung dalam LQ Indonesia Lawfirm. (FOTO : dokumen pribadi untuk surabayaupdate.com)

JAKARTA (surabayaupdate) – Meski kasus dugaan penipuan penggelapan yang menjadikan Henry Surya selaku Ketua Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya tersangka telah disidangkan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat, namun keadilan bagi para korban dugaan penipuan dan penggelapan KSP Indosurya ini nampaknya tidak akan pernah terjadi.

Pesimis adanya keadilan bagi para korban KSP Indosurya ini diungkapkan Sepviant Yana Putra, seorang advokat yang tergabung dalam LQ Indonesia Law Firm Surabaya.

Dalam rilisnya, selain menyatakan keraguannya terhadap keadilan bagi para korban KSP Indosurya, Sepviant Yana Putra juga mengungkapkan banyak sekali kejanggalan diperkara dugaan penipuan dan penggelapan Indosurya ini.

Lebih lanjut dalam rilis LQ Indonesia Lawfirm dinyatakan, bahwa mafia hukum ada dan nyata namun sulit dibuktikan.

“Pada persidangan perkara KSP Indosurya yang menjadikan Henry Surya sebagai terdakwa ini, LQ Indonesia Lawfirm menduga, persidangan Indosurya sudah masuk angin, karena adanya beberapa kejanggalan,” mengutip isi rilis LQ Indonesia Lawfirm.

Berkaitan dengan banyaknya kejanggalan diperkara KSP Indosurya ini, Sepviant Yana Putra kemudian mengungkapkan satu persatu kejanggalan-kejanggalan itu.

“Kejanggalan pertama, Kejaksaan Agung (Kejagung) tiba-tiba mengumumkan kerugian akibat koperasi Indosurya dari Rp. 16 triliun menjadi Rp. 106 triliun,” ujar Sepviant dalam rilisnya.

Tidak ada dasarnya sama sekali, lanjut Sepviant, apalagi dalam berkas perkara penyidikan dan P19 kejaksaan, ditulis dan dinyatakan kerugian sebesar Rp. 16 triliun.

Dampak penggelembungan nilai kerugian itu menurut Sepviant adalah, nantinya jika aset sitaan dikembalikan, maka porsi korban lebih kecil karena dibagi Rp. 106 triliun bukan Rp. 16 triliun.

Persidangan yang digelar secara online, dinilai sangat merugikan para korban Indosurya yang menuntut keadilan.

Sepviant kembali berpendapat, persidangan perkara dugaan penipuan dan penggelapan KSP Indosurya secara online sangat tidak tepat dan hasilnya tidak akan maksimal mengingat covid-19 saat ini bukan menjadi ancaman.

Kejanggalan ketiga yang diungkap Sepviant Yana Putra adalah tentang tempat penahanan Henry Surya yang dipindahkan, yang awalnya di Rutan Salemba, saat ini Henry Surya dipindahkan ke Rutan Kejaksaan Agung.

“Untuk apa penahanan dipindahkan dari Rutan Salemba ke Rutan Kejaksaan Agung? Tentunya, ada sebagian masyarakat menduga, agar memudahkan koordinasi dengan Henry Surya. Apakah kejaksaan (sudah) masuk angin ?,” tanya Sepviant.

Melihat adanya pemindahan tempat penahanan Henry Surya yang sudah berstatus terdakwa itu, Sepviant pun mengatakan, bahwa pemindahan tempat penahanan itu sebagai bentuk perlakuan istimewa yang diberikan kejaksaan kepada Henry Surya.

“Perlakuan istimewa ini, tentunya ada karena persetujuan jaksa. Jika jaksa menolak, seharusnya meminta secara resmi dari awal sidang, namun tidak dilakukan kejaksaan,” ungkap Sepviant.

Sepviant kembali melanjutkan, kejanggalan keempat adalah aset sitaan hasil kejahatan yang tidak dikembalikan kepara korban. Hakim yang menolak semua permohonan ganti kerugian aset sitaan.

Lebih lanjut Sepviant menjelaskan, ini sangat janggal jika aset kejahatan ditolak untuk dikembalikan ke para korbannya.

“Pengajuan ganti rugi dari beberapa lawfirm termasuk Febri Diansyah dari visi Lawfirm senilai Rp. 1,8 triliun dan pengajuan dari LPSK, semua ditolak hakim. Ini menunjukkan adanya kesewenang-wenangan yang dipertontonkan hakim dimuka umum,” sindir Sepviant.

Kejanggalan kelima yang ditangkap LQ Indonesia Lawfirm diperkara KSP Indosurya dan proses persidangan terdakwa Henry Surya adalah tentang adanya sandiwara yang dimainkan jaksa.

Sepviant kembali menilai, bahwa dalam persidangan terdakwa Henry Surya, ada dugaan sandiwara yang dimainkan jaksa, seolah-olah jaksa memihak para korban dan hakim menolak hak korban.

“Strategi ini disebut good cops dan bad cops. Strategi good cops and bad cops ini adalah hal yang biasa dimainkan oknum mafia hukum, agar terlihat sidang berjalan sebagaimana mestinya,” paparnya.

Dalam memainkan sandiwara ini, sambung Sepviant, diperlihatkan seolah-olah ada konflik dalam penanganan perkara KSP Indosurya ini padahal hasil akhirnya sudah diketahui. Ini modus biasa dalam persidangan yang sudah dikondisikan,” paparnya.

Untuk itu, LQ Indonesia Lawfirm menyerukan, jangan percaya pada oknum jaksa yang pura-pura baik, karena jika sudah terjadi jual beli kasus, jalan masuk untuk menyuap hakim sering kali melalui oknum jaksa.

LQ Indonesia Lawfirm kembali menyerukan, ingat sebelumnya oknum jaksa dalam kasus Indosurya membuat modus P19 mati, juga oknum jaksa yang pura-pura marah kepada hakim karena tidak diijinkan sidang offline.

“Jika benar-benar memperjuangkan, seharusnya pihak kejaksaan membuat aduan resmi ke Komisi Yudisial (KY) atau Bawas MA tentang tindakan hakim, bukan cuma bacot murahan,” tandasnya.

Kejanggalan keenam dalam rilis LQ Indonesia Lawfirm adalah berkaitan dengan pengusiran korban yang menyampaikan aspirasi. Melihat situasi ini, Sepviant menilai bahwa tindakan ini sangat tidak patut dan sudah melanggar kode etik hakim.

“Hakim tidak bisa membedakan antara menyampaikan aspirasi pihak terkait dengan menganggu jalannya persidangan,” ulas Sepviant.

Sebagai korban, sambung Sepviant, mereka adalah pihak yang berkepentingan, yang patut didengarkan suaranya dan keterangannya dipersidangan, bukan malah diusir dan dibilang mengganggu jalannya sidang.

“Dengan majelis hakim mengusir para korban Indosurya dipersidangan semakin menunjukkan bahwa hal itu adalah tidak wajar, apalagi pengusiran ini bukan karena kerusuhan,” kata Sepviant.

Sepviant kembali melanjutkan, jaksa sebagai pengacara korban, tidak ada sedikitpun membela korban dan menjelaskan ke hakim, meminta agar persidangan ini juga mendengarkan suara korban yang namanya tidak tercantum dalam berkas perkara.

Itulah sebabnya, menurut Sepviant, LQ Indonesia Lawfirm menduga, persidangan KSP Indosurya yang mendudukkan Henry Surya sebagai terdakwa ini sudah masuk angin dan persidangan ini tidak akan memberikan keadilan kepada para korban.

“Apalagi dari awal, kejaksaan sudah menyusun dakwaan Henry Surya dengan pasal pidana pokoknya alternatif, sehingga memberikan peluang oknum hakim (untuk) memilih dakwaan dengan ancaman minimal,” kata Sepviant.

Sepviant kembali melanjutkan, ingat dalam kasus Donny Salamanan. Jaksa menuntut 13 tahun tapi hakim memvonis 4 tahun karena hakim punya kewenangan untuk memilih yang menurut dia terbukti.

Namun, malah jaksa yang membuka pintu kelemahan dan memberikan kesempatan bisa mendapat vonis ringan. Ini strategi tingat dewa.

Ditanyakan solusinya, mewakili LQ Indonesia Lawfirm, Sepviant Yana Surya Putra menjawab, ketika keadilan tidak bisa di berikan pengadilan, maka jalan satu-satunya adalah mobilisasi massa.

Untuk diketahui, Henry Surya selaku Direktur PT. Indosurya Inti Finance (PT. Sarana Majukan Ekonomi Finance Indonesia) dan juga menjabat sebagai Ketua Koperasi Simpan Pinjam (KSP) Indosurya, saat ini diadili di PN Jakarta Barat. Terdakwa Henry Surya dianggap yang merugikan korban hingga Rp. 106 triliun.

Diperkara yang mendudukkan Henry Surya sebagai terdakwa ini,
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Agung mengungkapkan, akan mengutamakan kepentingan korban dengan cara adanya pengembalian dana atau uang korban yang telah digelapkan KSP Indosurya.

Hingga saat ini, jaksa sudah menyita sekitar Rp. 2,7 triliun aset Indosurya. Bahkan yang terbaru, jaksa mengajukan lagi penyitaan tambahan aset Indosurya kepada majelis hakim dan hanya dikabulkan sebagian seperti benda bergerak milik Indosurya.

Soal kesungguhan jaksa itu, sebelumnya juga disampaikan Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Fadil Zumhana.

Dalam keterangannya, Fadil memastikan bahwa jaksa akan melindungi korban Indosurya yang mencapai 23 ribu orang dengan kerugian berdasarkan laporan hasil analisis PPATK yang jumlahnya mencapai Rp. 106 triliun.

Itu sebabnya, jaksa secara sungguh-sungguh menuntut Henry dan berupaya mengembalikan kerugian korban lewat penyitaan aset-aset milik Indosurya.

Namun sebenarnya, bagaimana kasus ini bermula? Kasus ini sejatinya sudah menjadi perhatian publik sejak beberapa tahun ke belakang. Semua bermula sekitar 2020, tepatnya tanggal 24 Februari 2020.

Waktu itu, beberapa nasabah mulai menerima surat dari koperasi Indosurya yang isinya, bahwa uang di deposito atau simpanan, tidak bisa dicairkan.

Uang itu baru bisa diambil enam bulan sampai empat tahun, tergantung nominal Asset Under Management (AUM).

Kemudian, tanggal 7 Maret 2020, para nasabah mengaku menerima pemberitahuan via WA yang menyatakan bahwa nasabah bisa menarik tabungan mereka mulai 9 Maret 2020 dengan batas pengambilan Rp. 1 juta per nasabah.

Tanggal 12 maret 2020, nasabah menerima undangan untuk bertemu dengan pihak ISP. Pada pertemuan tersebut, setiap nasabah diminta memilih opsi pembayaran yang diinginkan.

Opsi tersebut tergantung AUM dari setiap nasabah, dengan tempo pembayaran antara tiga tahun hingga 10 tahun.

Isu soal KSP Indosurya pun mereda, namun hanya sesaat. Kisaran Juni 2021, isu KSP Indosurya kembali menyeruak. DPR-RI bahkan sempat memanggil pihak Kementerian Koperasi terkait isu ini.

Dari sini terungkap, rupanya KSP Indosurya telah gagal bayar hingga masuk dalam proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Putusan pertama jatuh tanggal 17 Juli 2020. Kemudian ada proses banding dan PKPU sudah diputuskan akhir Desember 2020.

Kasus gagal bayar KSP Indosurya berujung pada penahanan tiga tersangka. Ketiganya adalah, Ketua KSP Indosurya Cipta, Henry Surya dan Head Admin Indosurya, June Indri.

Namun, ketiganya bebas dari penahanan pada pertengahan tahun ini. Alasannya, karena masa penahanan 120 hari sudah habis. Meski begitu, Henry dan June masih berstatus tersangka. Kasus yang menjeratnya juga tetap berlanjut.

Menko Polhukam Mahfud MD buka suara terkait dibebaskannya dua tersangka KSP Indosurya dari rutan Bareskrim Polri.

Mahfud MD bahkan sudah melakukan komunikasi dengan Mabes Polri, Kejaksaan Agung, PPATK, dan Menkop UKM, bahwa kasus ini merupakan kejahatan modus baru yang tidak pernah dan tidak akan dihentikan.

“Merespons reaksi publik atas rasa keadilan dalam kasus KSP Indosurya yang dua tersangkanya dilepaskan, maka saya sudah melakukan komunikasi dengan Mabes Polri, Kejaksaan Agung, PPATK, dan Menkop UKM. Kesimpulannya, kasus ini adalah kejahatan modus baru yang tidak pernah dan tidak akan dihentikan,” kata Mahfud waktu itu.

Mahfud menjelaskan, dua tersangka tersebut dibebaskan dari rutan lantaran masa penahannya sudah habis. Mahfud menyebut, Kejaksaan Agung sedang memastikan pembuktian di pengadilan nanti akan berjalan lancar.

Mahfud melanjutkan, dirinya mendukung Bareskrim Polri untuk menangkap kembali dua tersangka yang sudah dikeluarkan dari rutan dengan locus dan delik yang berbeda. Dia mengatakan kasus tersebut harus terus berjalan.

“Kita mendukung Bareskrim menangkap lagi dua tersangka dalam kasus terkait yang locus dan tempus delictinya beda. PPATK sudah lama menjajaki, kasus ini harus jalan,” kata Mahfud ketika itu.

Dalam perkara ini, para tersangka didakwa dengan pasal 46 Undang-Undang Perbankan dengan ancaman pidana 15 tahun jo Undang-Undang Pencegahan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) dengan ancaman pidana 20 tahun. Adapun satu tersangka lainnya, yaitu Suwito Ayub masih berstatus buronan. (pay)

Related posts

Dua Saksi Yang Dihadirkan Widowati Hartono Dipersidangan Membingungkan Dan Terkesan Berbohong

redaksi

Saksi Ahli Pemohon Praperadilan Akhirnya Tersudut Di Persidangan

redaksi

Para Pejabat Pemprov Jatim Di-Tracing, 8 Orang Positif Covid-19

redaksi