surabayaupdate.com
HEADLINE HUKUM & KRIMINAL INDEKS

Dua Doktor Dan Seorang Guru Besar Fakultas Hukum Unair Dihadirkan Dipersidangan Gugatan PT Graha Benua Etam

Dr. Ghansham Anand, S.H., M. Kn dan Prof. Dr. M. Hadi Shubhan, S.H., M.H., C.N., saat menjadi saksi ahli dipersidangan gugatan PT. Graha Benua Etam. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

SURABAYA (surabayaupdate) – Dua ahli hukum dan seorang guru besar yang menjadi pengajar di Universitas Airlangga (Unair) Surabaya didatangkan dipersidangan gugatan Kepailitan yang dimohonkan PT. Graha Benua Etam.

Para pakar hukum yang dihadirkan sebagai saksi ahli di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya itu bernama Agus Widyantoro, S.H., M.H., Prof. Dr. M. Hadi Shubhan, S.H., M.H., C.N., dan Dr. Ghansham Anand, S.H., M. Kn.

Prof. Dr. M. Hadi Shubhan, S.H., M.H., C.N., adalah dosen Fakultas Hukum Unair yang juga Guru Besar Ilmu Hukum Kepailitan, Dr. Ghansham Anand, S.H., M. Kn adalah dosen Fakultas Hukum Unair yang mempunyai spesialisasi Hukum Perikatan dan yang ketiga adalah Agus Widyantoro, SH., M.H adalah dosen Fakultas Hukum Unair yang juga ahli dibidang Hukum Perseroan Terbatas (PT) serta Hukum Kepailitan.

Secara bergantian, ketiga pakar hukum dan dosen Fakultas Hukum Unair ini diminta menjelaskan keilmuan yang mereka kuasai seperti seputar perjanjian, kenotariatan hingga kapailitan, termasuk jatuh tempo.

Dihadapan majelis hakim yang terdiri dari Taufan Mandala, Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang ditunjuk sebagai Ketua Majelis, Kusaeni dan Widiarso masing-masing sebagai hakim anggota, Agus Widyantoro diawal persidangan diminta untuk menjelaskan tentang perjanjian kerjasama.

Menanggapi pertanyaan dari tim kuasa hukum PT. Graha Benua Etam ini, dosen Fakultas Hukum Unair ini mengatakan, perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan perbuatan atau kegiatan yang disepakati para pihak.

Lalu, jika ada salah satu pihak yang telah melakukan perjanjian kerjasama itu tidak melakukan kewajibannya, apakah pihak itu bisa dikatakan wanprestasi?

Sebelum menjawab pertanyaan tim kuasa hukum PT. Graha Benua Etam selaku pemohon gugatan kepailitan ini, Agus Widyantoro menjelaskan, bahwa dalam perjanjian kerjasama itu untuk mengatur hak dan kewajiban para pihak yang melakukan perjanjian.

“Ketika ada pihak yang sudah terikat dalam perjanjian kerjasama dan tidak memenuhi kewajibannya, maka pihak yang tidak memenuhi kewajibannya itu bisa dikatakan wanprestasi,” ungkap Agus Widyantoro, Selasa (10/1/2023).

Dalam wanprestasi itu, lanjut Agus Widyantoro, apakah pihak yang dimaksud itu melakukan wanprestasi dalam bentuk tidak berprestasi sama sekali atau terlambat, atau melakukan sebagian dari kegiatan yang diperjanjikan.

Ahli Hukum Perdata dan Hukum Perseroan ini juga diminta tim kuasa hukum pemohon untuk menjelaskan tentang jatuh tempo dan jatuh tempo yang dapat ditagih.

Lebih lanjut Agus Widyantoro mengatakan, bahwa jatuh tempo itu kaitannya dengan materi kegiatan utang.

“Utang ini akan menghasilkan konstruksi hukum. Bahwa utang itu timbul karena adanya perikatan. Dan utang itu dapat ditagih pada saat jatuh tempo,” paparnya.

Ketika kita mempersoalkan jatuh tempo, sambung Agus, tidak perlu ditakuti. Mengapa? Harus dilihat terlebih dahulu, karena tempo tempo tergantung bagaimana bentuk perikatannya.

“Saat jatuh tempo itu karena undang-undang misalnya seperti contoh pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) seseorang itu jatuh temponya 31 Maret. Jatuh tempo-nya itu karena ketentuan perundang-undangan,” kata Agus.

Pada persidangan ini, Agus Widyantoro kemudian menjelaskan tentang sebuah perikatan yang lahir karena perjanjian.

“Jika perikatannya itu lahir karena perjanjian maka jatuh temponya berdasarkan kesepakatan para pihak yang kemudian disitulah baru muncul persoalan jatuh tempo dalam arti titik pagu kapan pihak yang satu harus mau memenuhi kewajiban kepada pihak yang lain dan jika tidak dilaksanakan akan muncul hak untuk menagih,” jelasnya.

Kuasa hukum pemohon kemudian memberikan sebuah ilustrasi. Dalam ilustrasinya disebutkan jika perusahaan B telah memberi manfaat kepada perusahaan A, manfaat yang diberikan itu berupa pembangunan sebuah bangunan.

Manfaat yang telah diberikan perusahaan B itu, menurut kuasa hukum pemohon, dapat dibuktikan dengan adanya laporan progres telah diselesaikannya pembangunan serta adanya serah terima.

“Perusahaan B lalu menagih pembayaran atas pekerjaan yang telah ia lakukan berupa invoice namun tidak dibayar. Perusahaan A lantas memberikan sejumlah cek,” kata Muhammad Anggi Saputra, salah satu kuasa hukum PT. Graha Benua Etam.

Namun, lanjut Anggi, saat jatuh tempo sesuai dengan tanggal yang tertera di cek-cek tersebut, semua cek itu tidak dapat dicairkan. Kemudian perusahaan A sepakat menandatangani pengakuan hutang dengan termin pembayaran selama 12 bulan, dibayarkan setiap tanggal 26. Untuk jatuh temponya itu bagaiman?

Mendengar ilustrasi yang disampaikan tim kuasa hukum pemohon ini, Agus Widyantoro menilai bahwa adalah kewajiban perusahaan A untuk menyelesaikan pembayaran atas pekerjaan yang telah dilakukan perusahaan B.

Ahli pun menjabarkan, perusahaan B berhak untuk menerima pembayaran atas prestasi yang telah dilakukannya yaitu pembangunan sebuah bangunan.

“Ketika perusahaan B melakukan penagihan walaupun dengan istilah invoice, surat tagih, atau apapun namanya maka sudah bisa diketahui kemana pembayaran itu dilakukan,” tandas Agus Widyantoro.

Agus pun menambahkan ketika jatuh tempo itu sudah diperjanjikan tegas, yang menjadi tolak ukur adalah prestasi yang sudah dilakukan satu pihak. Kemudian, apakah ada kewajiban yang sudah bisa dituntut atau belum oleh pihak yang telah melakukan prestasi itu.

Masih berkaitan dengan invoice yang ditagihkan, menurut Agus Widyantoro, di invoice itu sudah bisa diketahui jatuh tempo atas pembayaran prestasi yang telah dilakukan pihak yang melakukan prestasi tersebut.

Agus Widyantoro juga menjelaskan, bahwa tidak semua hubungan antara debitur dan kreditur itu sifatnya komulatif. Ada yang sebagian karena kesepakatan atau disepakati.

Hal lain yang dijelaskan ahli masih seputar jatuh tempo, bahwa dalam jatuh tempo itu beberapa spesifikasi-spesifikasi.

“Jatuh tempo itu ada yang diperjanjian dengan tegas, ada pula yang digantungkan dalam pemenuhan hak-hak dan kewajiban berdasarkan hubungan kontraktual diantara para pihak yang melakukan kontrak perjanjian,” kata Agus.

Selain menjelaskan tentang jatuh tempo, ahli Hukum Perdata Unair ini juga menjelaskan tentang akta pengakuan utang.

Agus Widyantoro, S.H., M.H. saat menjadi saksi ahli diperkara gugatan PKPU yang dimohonkan PT. Graha Benua Etam. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

Menurut ahli, yang dimaksud dengan akta pengakuan utang adalah dokumen tertulis yang menegaskan atau menyatakan bahwa yang membuat akta pengakuan utang ini telah memiliki utang.

“Artinya, utang itu sudah ada. Tinggal kemudian yang menjadi persoalan adalah apakah dalam akta pengakuan utang itu dirinci atay tidak termasuk tanggal jatuh temponya dan bagaimana cara pembayarannya,” ujar Agus Widyantoro.

Dan ketika dirinci, sambung Agus, akan meliputi apa yang ada didalam utang itu termasuk kapab jatuh temponya. Bisa jadi tidak dirinci sehingga tidak parsial namun komulatif.

Masih berkaitan dengan akta pengakuan utang, Agus Widyantoro secara tegas menyatakan bahwa akta pengakuan utang itu bukanlah pembaharuan utang.

Agus kembali melanjutkan, bahwa antara akta pengakuan utang dengan pembaharuan utang mempunyai karater yang berbeda.

“Kemungkinan terjadi rescheduling diantara para pihak, silahkan saja. Tapi intinya atau hakekatnya adalah, akta itu dibuat dengan tegas bahwa telah ada hutang, dan biasanya akan diikuti dengan bagaimana cara pembayarannya,” kata Agus.

Yang perlu diingat, lanjut Agus, akta pengakuan utang tidak bisa diterbitkan tanpa ada underliying contract. Dan invoice tidak bisa diterbitkan tanpa adanya underliying contract

Lalu apa yang mendasari kontrak diterbitkannya invoice? Apa hubungan hukum yang mendasari diterbitkannya Akta Pengakuan Utang (APU), Akta Pengakuan Hutang (APH) atau apapun namanya?

Agus pun secara tegas menyatakan, bahwa utang itu muncul karena adanya hubungan hukumnya.

Dan menurut ahli, yang sering terjadi adalah tidak adanya underliying contract atau alas hak dalam hubungan hak dan kewajiban para pihak, tiba-tiba muncul akta pengakuan utang.

Bagaimana jika akta pengakuan utang ini tidak diakui? Apakah utang-utang yang tertera dalam akta itu masih tetap mengikat para pihak?

Dalam hukum perseroan, Agus Widyantoro mengatakan, bahwa ketika melakukan underliying contract, maka perbuatan direktur yang melakukan underliying contract itu mengikat walaupun diperiode tertentu direktur yang melakukan underliying contract tersebut digantikan posisinya oleh direktur kedua dan direktur kedua itu diganti direktur ketiga.

“Mengapa mengikat? Karena tindakan yang dilakukan direktur pertama saat melakukan underliying contract tersebut bertindak untuk dan atas nama PT sehingga segala perjanjian yang dijalani atau dilakukan direktur tersebut mengikat perusahaan atau PT tersebut, bukan perbuatan pribadi,” terangnya.

Yang perlu diingat lagi menurut ahli, bahwa ketika perbuatan underliying contract yang dilakukan direktur sebuah perseroan tersebut adalah perbuatan sehari-hari perseroan itu, maka akta pengakuan utang itu masuk daden van beheren, sehingga tidak membutuhkan persetujuan pihak lain seperti komisaris maupun Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS).

Masih menurut ahli, keadaan ini akan berbeda jika direktur perseroan itu melakukan peminjaman dengan disertai adanya jaminan.

“Peminjaman yang akan dilakukan direktur perseroan tersebut apalagi disertai dengan adanya jaminan, haruslah membutuhkan persetujuan organ perusahaan lain,” ungkap Agus.

Sebagai seorang Ahli Hukum Perseroan, Agus Widyantoro juga menjelaskan tentang pasal 102 ayat (4) UU no. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Pada persidangan ini, Agus Widyantoro juga diminta untuk menjelaskan perbedaan jatuh tempo parsial dan jatuh tempo komulatif.

Dalam penjelasannya, Agus Widyantoro mengatakan yang dimaksud dengan jatuh tempo komulatif tanpa merinci detail waktu pembayaran, sedangkan jatuh tempo parsial itu masalah pembayarannya diperinci kapan pembayaran tersebut harus dilakukan.

Selain kuasa hukum pemohon, Agus Widyantoro juga mendapat beberapa pertanyaan dari kuasa hukum PT. Indonesia Energy Dinamika sebagi pihak termohon Pailit.

Kepada ahli, Johanes Dipa Widjaja, SH.,S.Psi., M.H., C.L.A salah satu kuasa hukum termohon, bertanya ke ahli perihal ketentuan pasal 1338 BW.

Selain itu, Johanes Dipa pun bertanya tentang pembuktian dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) maupun Kepailitan.

Berkaitan dengan pembuktian dalam PKPU sebagaimana yang ditanya salah satu kuasa hukum termohon ini, ahli pun menjawab bahwa pembuktiannya sangat sederhana.

“Pembuktian sederhana yang dimaksudkan itu adalah dibuktikan ada atau tidak adanya hutang. Mengenai berapa jumlahnya, itu persoalan lain,” jelas ahli.

Kemudian, dalam persidangan ini, Johanes Dipa meminta pendapat ahli tentang sebuah ilustrasi dimana dalam ilustrasi itu disebutkan bahwa pemohon PKPU mengajukan alat bukti dan alat bukti itu berupa adanya pengakuan utang. Namun alat bukti yang berupa pengakuan utang ini sedang digugat di pengadilan negeri.

Pada persidangan ini, ahli dibidang Hukum Kepailitan Unair ini juga dimintai penjelasan tentang novasi.

Berkaitan dengan novasi ini dikaitkan dengan facturing, dalam hukum pembiayaan, ahli berpendapat bahwa jumlah piutang jika dialihkan, tidak harus sama atau ekuivalen.

Ahli kembali menegaskan, dalam hal pembiayaan, pengalihan piutang itu sama dengan jual beli. Sehingga, ahli pun menambahkan, bahwa novasi itu dapat dimaknai pengalihan hutang maupun pengalihan piutang.

Pada kesempatan kedua, diawal persidangan, Prof. Dr. M. Hadi Shubhan, S.H., M.H., C.N diminta untuk menjelaskan tentang bagaimana syarat pengajuan permohonan utang termasuk pembuktiannya didalam PKPU

Menanggapi pertanyaan Johanes Dipa Widjaja, SH.,S.Psi., M.H., C.L.A ini, Prof. Dr. M. Hadi Subhan, SH., M.H., C.N mengatakan, bahwa syarat PKPU itu mutatis mutandis dengan syarat pailit. Prof Hadi pun menyebutnya dengan istilah dua syarat formal.

Dr. Ghansham Anand, S.H., M. Kn saat menjadi saksi ahli diperkara PT. Graha Benua Etam. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

Untuk syarat formal tersebut, Prof. Hadi menerangkan, bahwa syarat formal memiliki minimal satu utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar lunas, sedangkan yang kedua memiliki minimal dua kreditur.

“Dua syarat materiil tersebut harus dapat dibuktikan secara sederhana. Demikian juga di PKPU, mempunyai syarat yang sama,” papar Prof. Hadi.

Prof Hadi kemudian menjabarkan sebuah penelitian yang pernah ia lakukan terkait dengan putusan majelis hakim yang menyatakan sama padahal dalam pembuktian sederhana ada di pasal 4.

Terkait dengan kepailitan, Prof. Hadi kembali menjelaskan bahwa PKPU pada mulanya digunakan untuk menangkis kepailitan debitur.

Oleh karena itu, masih dalam penjelasan Prof. Hadi, judul Undang-Undangnya adalah Kepailitan dan PKPU.

Mengulas masalah PKPU dan Kepailitan, banyak anggapan yang keliru bahwa PKPU adalah restrukturisasi sehingga PKPU terlebih dahulu baru Kepailitan. Yang benar menurut Prof. Hadi adalah Kepailitan dulu baru PKPU.

“Namun dalam perkembangannya, kreditur bisa mengajukan permohonan pailit sehingga dalam PKPU itu ada tiga syarat yang harus dipenuhi secara komulatif,” terangnya.

Berkaitan dengan masalah jatuh tempo dan dapat ditagih. Sebelum membahas tentang ini, Prof. Hadi menjelaskan terlebih dahulu tentang syarat sebuah utang yaitu tidak dibayar lunas, jatuh tempo dan dapat ditagih.

Menurut kajian Prof. Hadi, ketiga syarat utang ini harus komulatif. Untuk pengertian tidak dibayar lunas, dapat tidak dibayar sebagian atau seluruhnya.

“Jatuh tempo, ada dua hal. Pertama, kalau sudah disepakati dalam suatu perjanjian maka itulah dinamakan jatuh tempo berdasarkan perjanjian yang telah dibuat tersebut,” ungkap Prof. Hadi.

Masih menurut penjelasan Prof. Hadi, jika tidak ada dalam perjanjian, maka dapat dilakukan somasi dan sebagainnya.

Hal ketiga yang ingin dijelaskan ahli adalah tentang dapat ditagih. Menurut Prof. Hadi, dapat ditagih ini diartikan sesuatu hutang yang tidak kadaluarsa.

Kemudian, dalam perkembangan hukum kepailitan, Prof. Hadi menyatakan, bahwa aturan, hukum-hukum, perikatan-perikatan yang bertentangan dengan undang-undang di eksten menjadi tidak dapat di tagih.

Guru besar Hukum Kepailitan ini juga menjelaskan tentang kadaluarsa yang mana ahli menyatakan bahwa kadaluarsa itu sesuai yang ditentukan undang-undang kapan kadaluarsa. Dan setelah kadaluarsa tidak bisa ditagih.

Mengenai pembuktian yang sederhana dalam kepailitan, Prof. Hadi mengatakan bahwa hal ini sangatlah unik.

Berdasarkan riset yang telah dia lakukan, pembuktian yang sederhana itu hanya ada di PKPU dan Kepailitan. Untuk sistem hukum yang lain, Prof. Hadi memungkinkan adanya pembuktian yang sederhana namum ia mengaku belum melakukan penelitiannya tentang itu.

Masih tentang riset yang telah ia lakukan di kepailitan, Prof. Hadi menyebutkan menggunakan pembuktian sederhana dan hal ini telah ia terbitkan dalam jurnal internasional law review di Universitas Indonesia (UI), dalam UU di Indonesia tidak ada batasan sederhana.

“Dipenjelasannya hanya mengatakan sederhana ada dua syarat. Karena di undang-undang kita tidak ada maka kita mengacu pada sumber hukum lain yaitu doktrin dan yurisprudensi,” ungkal Prof. Hadi.

Menurut dokterin, sambung Prof. Hadi, yang disebut sederhana dalam bahasa latinnya primavasi efidence, bukti yang kasat mata.

Lalu, mengapa dalam Kepailitan harus menggunakan bukti yang nyata? Prof. Hadi pun menjawab, karena akibatnya sangat luar biasa, luar biasa terhadap diri debitur dan luar biasa terhadap semua krediturnya.

Masih berkaitan dengan adanya utang dikepailitan, Prof. Hadi mengatakan, ketika seseorang dinyatakan pailit dan juga PKPU maka akan berakibat kepada semua kreditur.

“Harta debitur juga akan terkena dampaknya, baik didalam PKPU maupun didalam kepailitan,” ulas Prof. Hadi.

Dalam kepailitan menurut Prof. Hadi dikenal dengan sita umum namun di PKPU hanya didaftar sebab hubungannya adalah kemampuan debitur untuk melakukan restrukturisasi hutang. Inilah yang menurut Prof. Hadi dikatakan sebagai pembuktian yang sederhana.

Kalau buktinya tidak sederhana, menurut Prof. Hadi, maka hakim biasanya akan menolak gugatan PKPU atau kepailitan yang diajukan. Namun, pemohon bisa melanjutkannya ke arbitrase terlebih dahulu atau dilakukan gugatan perdata terlebih dahulu atau yang lain karena akibatnya sangat luar biasa didalam pailit.

Menyinggung masalah pembuktian yang sederhana yang ditemukan dalam yurisprudensi, Prof. Hadi kemudian menjabarkan bahwa ia pernah melakukan risetnya tentang itu.

Lebih lanjut Prof. Hadi menyebutkan bahwa pembuktian sederhana itu karena adanya force major.

“Force major ini pembuktiannya cukup rumit dan bisa terbalik, siapa berhutang kepada siapa atau belum jatuh tempo,” kata Prof. Hadi.

Hal lain yang masih berkaitan dengan pembuktian yang sederhana, Prof. Hadi menjelaskan tentang debitur belum melakukan prestasi karena lawannya belum berprestasi juga.

Prof. Hadi juga melakukan sebuah riset pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomer 4 tahun 2012.

Dalam penjelasannya, Prof. Hadi menyebutkan, dari SEMA nomor 7 tahun 2012 ini kalau direksi melanggar anggaran dasar, MA menggaris bawahi tidak bisa dipailitkan.

Masih berkaitan dengan hal itu, Prof Hadi kemudian membuat sebuah riset, mengapa yang melanggar anggaran dasar ini tidak bisa di PKPU, tidak bisa dipailitkan.

Ternyata menurut hasil riset Prof. Hadi, yang melanggar anggaran dasar itu pembuktiannya cukup rumit. Apalagi jika ada gugatan pembatalan.

Dalam persidangan ini, Prof. Hadi juga diminta untuk menjelaskan, apakah jatuh tempo yang sudah ditentukan dalam suatu akte yang telah disepakati, dapat dikesampingkan dengan adanya somasi?

Jika ada sesuatu hal yang telah dituangkan dalam suatu perjanjian maka yang berlaku adalah norma otonomi.

Prof. Hadi dalam persidangan juga menjelaskan tentang adanya beberapa putusan yang menyatakan bahwa pembuktian adalah untuk membuktikan dalil.

Lalu, dalam Kepailian menurut Prof. Hadi, tidak mengenal tentang asas ne bis in idem.

Sebagai ahli dibidang Hukum Kepailitan, Prof. Hadi juga dimintai pendapatnya, apakah invoice itu bisa dipakai sebagai bukti adanya utang.

Mengenai suatu pembuktian, Prof. Hadi menjelaskan, bahwa pembuktian itu harus mengacu pada hukum perdata yang biasa.

Namun demikian, menurut Prof. Hadi, kalaupun ada invoice dan invoice tersebut menjadi bukti, tidak bisa digunakan secara serta merta didalam kepailitan maupun PKPU.

Sama halnya dengan dua ahli yang lain, Dr. Ghansham Anand, S.H., M. Kn juga diminta untuk menjelaskan seputar jatuh tempo termasuk menilai kapan jatuh tempo terhadap sebuah ilustrasi yang dibacakan kuasa termohon didepan persidangan.

Dosen Fakultas Hukum yang dikenal juga sebagai ahli Hukum Perikatan ini menjelaskan tentang pengertian sebuah jatuh tempo.

Berkaitan dengan jatuh tempo dari sisi kontrak, Ghansham Anand mengatakan, bahwa jatuh tempo itu adalah saat berprestasi.

Lalu, kapan berprestasi? Ghansham kemudian mengutip pengertian jatuh tempo berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Berdasarkan KBBI, jatuh tempo adalah batas waktu pembayaran atau penerimaan sesuatu dengan yang telah ditetapkan. Atau berarti juga sudah lewat waktu atau kadaluarsa.

Ghansham pada persidangan ini juga dimintai tanggapannya berkaitan dengan pasal 1348 BW.

Menanggapi pertanyaan ini, secara tegas Ghansham mengatakan bahwa kapan debitur itu telah melakukan wanprestasi.

“Debitur bisa melakukan wanprestasi apabila tidak melaksanakan prestasi, melaksanakan tetapi terlambat, melaksanakan prestasi tapi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan atau debitur itu melakukan perbuatan yang dilarang dalam perjanjian,” kata Ghansham.

Menurut Ghansam hal yang terpenting adalah momentum terjadinya wanprestasi itu. Ghansham kemudian mengkajinya berdasarkan ketentuan pasal 1238 BW.

Berdasarkan pasal 1238 BW ini, Ghansham secara tegas menyatakan bahwa yang mempunyai hutang adalah lalai.

Kemudian, Ghansham juga mengutip isi pasal 1243 BW dimana salam pasal itu dijelaskan, penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu yang telah dilampaui.

Masih berkaitan dengan debitur yang lalai sehingga terjadilah jatuh tempo, Ghansham kembali menjelaskan, apabila tidak ditentukan tenggang waktu berprestasi, maka saat berprestasi itu dinilai ketika debitur itu telah melalaikan peringatan atau somasi.(pay)

Related posts

Hakim PN Surabaya Loloskan Residivis Kasus Penipuan Senilai Rp. 47,15 Miliar Dari Hukuman Pidana

redaksi

RATUSAN POLISI JAGA LONG MARCH PARA PEKERJA LOKALISASI DOLLY

redaksi

Cucu DR. Soetomo Jadi Saksi Kasus Save Trowulan

redaksi