surabayaupdate.com
HEADLINE HUKUM & KRIMINAL INDEKS

Penuntut Umum Hadirkan Dosen Fakultas Hukum Ubhara, Jelaskan Perbedaan Wanprestasi Dan Penipuan Beserta Unsur-Unsurnya

Prof. Dr. Sardjijono, SH., Mhum didatangkan JPU pada persidangan Indah Catur Agustin. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

SURABAYA (surabayaupdate) – Sidang lanjutan perkara dugaan penipuan yang menjadikan Indah Catur Agustin sebagai terdakwa, kembali dilanjutkan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.

Pada persidangan yang digelar Senin (8/7/2024) ini, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur mendatangkan ahli hukum pidana.

Ahli Hukum Pidana yang didatangkan JPU pada persidangan kali ini adalah Prof. Dr. Sardjijono, SH., Mhum, dosen Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya.

Pada persidangan ini, ada dua kejadian unik yang terjadi diruang sidang Garuda 1 PN Surabaya, tempat berlangsungnya persidangan.

Salah satu hakim anggota memberikan teguran sampai dua kali kepada salah satu jaksa yang menyidangkan perkara ini.

Teguran pertama diberikan karena salah satu penuntut umum ini bukannya bertanya kepada ahli pidana tentang teori-teori hukum atau penjelasan ilmi hukum yang berkaitan dengan perkara ini.

Penuntut umum ini malah bertanya ke Prof. Dr. Sardjijono apakah mengenal Canggih Soliemin, Greddy Harnando. Selain itu, penuntut umum ini juga bertanya, apakah ahli ada hubungan saudara dengan kedua orang itu.

Masih kepada jaksa yang sama, hakim anggota ini kembali menghardik sang jaksa, ketika memaparkan perkara ini ke ahli, jangan secara vulgar menceritakan kasus atau perkara ini.

Dalam tegurannya itu, hakim memerintahkan penuntut umum itu, jika ingin meminta pendapat kepada ahli, haruslah berupa ilustrasi, bukan kondisi perkara yang sebenarnya.

Sebagai ahli pidana yang didatangkan penuntut umum, Prof. Dr. Sardjijono pada persidangan ini, menjelaskan tentang kompetensi yang ia miliki sebagai seorang ahli.

Terkait kompetensi yang dimilikinya sebagai seorang ahli, Prof. Sardjijono memaparkan, bahwa ia adalah seorang ahli yang memiliki kompetensi hukum pidana dengan segala aspek pidana yang timbul pada semua hukum, pengembangan ilmu hukum administrasi atau hukum pemerintahan dan hukum kepolisian.

Hal pertama yang dijabarkan ahli pada persidangan ini setelah mendengar pemaparan yang berupa ilustrasi dari penuntut umum adalah tentang konstruksi logika hukum.

Lebih lanjut Prof. Dr. Sardjijono, SH., MHum mengatakan, tentang konstruksi logika hukum, didalam suatu perbuatan, memiliki tiga aspek hukum.

“Tiga aspek hukum itu terdiri dari aspek keperdataan, aspek kepidanaan dan apabila aspek ini dilakukan pejabat pemerintahan akan menimbulkan aspek hukum administrasi,” papar Prof. Sardjijono, Senin (8/7/2024).

Dalam penerapan hukum di Indonesia, lanjut Prof. Sardjijono, dan roh dari hukum di Indonesia, semua perbuatan hukum yang berkaitan dengan manusia sebagai subyek hukum, akan melekat aspek keperdataan.

Prof. Dr. Sardjijono menyimak pertanyaan yang dilontarkan JPU. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

“Semua aspek hukum itu mengandung aspek perdata. Dari aspek perdata yang timbul, akan memiliki aspek pidana atau bahkan bisa memiliki aspek hukum administrasi,” kata Prof. Sardjijono.

Oleh karena itu, lanjut Prof. Sardjijono, ada sebuah asas, bahwa didalam suatu perbuatan perdata, bisa memunculkan aspek hukum pidana.

“Tetapi dari perbuatan pidana tidak akan bisa digugurkan dengan perbuatan perdata. Ini aspek hukum umum namun jarang dinyatakan dalam suatu pernyataan-pernyataan yang bersifat teknis,” ujar Prof. Sardjijono.

Ahli kemudian melanjutkan, jika kemudian terjadi suatu transaksi, maka aspek yang muncul adalah keperdataan.

“Hanya kemudian ketika transaksi ada hal-hal yang diformulasikan atau dirumuskan dalam hukum pidana lalu ada unsur yang sesuai dengan yang diformulasikan tadi, maka dari transaksi keperdataan tersebut akan memiliki aspek pidana,” jelas Prof. Sardjijono.

Karena itu, Prof. Sardjijono melanjutkan, dari konteks perbuatan perdata dan perbuatan pidana tersebut, khususnya yang menyangkut tentang bedrog, sangat tipis sekali antara perbuatan perdata yang menyangkut ingkar janji atau wanprestasi dengan konsep penipuan.

“Dalam sebuah transaksi, ketika ada unsur bedrog, maka transaksi yang masuk dalam perdata ini akan berubah menjadi pidana,” ungkap Prof. Sardjijono.

Namun, sambung Prof. Sardjijono, jika ada unsur bedrog, tetap akan masuk dalam aspek perdata.

Guru Besar Ilmu Hukum yang mengawali karir sebagai polisi ini kemudian menjelaskan konsep bedrog. Terkait konsep bedrog ini, ahli menjelaskan, unsur hukumnya dirumuskan atau diformulasikan dalam pasal 378 KUH Pidana.

Lebih lanjut ahli menjelaskan, dalam pasal 378 KUH Pidana itu, yang termasuk dalam unsur-unsur bedrog tersebut, subyek hukumnya adalah manusia, barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain, secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu, atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, rangkaian kata-kata bohong.

“Jika salah satu unsur ini ada, maka bisa masuk dalam aspek hukum pidana, sebagaimana diatur dalam pasal 378 KUH Pidana,” kata Prof. Sardjijono.

Pada persidangan ini, ahli yang didatangkan penuntut umum ini juga menerangkan, sebagi delik materiil dari penipuan itu ada tiga, menyatakan barang, memberikan hutang, atau hutang itu menjadi hapus dari cara yang digunakan tadi seperti nama palsu, martabat palsu, tipu muslihat dan rangkaian kebohongan.

Dalam persidangan ini, Prof. Dr. Sardjijono juga diminta untuk menjelaskan perbedaan antara penipuan dengan wanprestasi.

Atas pertanyaan ini, Prof. Sardjijono menyatakan bahwa antara penipuan dengan wanprestasi adalah dua termonologi hukum yang harus ditanggapi dengan benar supaya tidak overlaping.

Lebih lanjut ahli menjelaskan, konsep dasar dari dua terminologi hukum ini, ketika perbuatan itu dikatakan sebagai penipuan, maka perbuatan-perbuatan yang dilakukan harus sesuai unsur sebagaimana dirumuskan dalam pasal 378 KUH Pidana.

“Dalam konteks penipuan, fakta yang dapat diambil, harus dilihat pula ada atau tidaknya unsur melawan hukum sebagaimana dijelaskan dalam pasal 378 KUH Pidana, pada saat melakukan transaksi awal,” tegas Prof. Sardjijono.

Prof. Sardjijono kembali menjelaskan, jika kita memahami konsep atau termonologi hukum tentang wanprestasi yang maknanya adalah ingkar janji atau cidera janji, siapapun akan mengatakan bahwa wanprestasi itu masuk dalam ranah keperdataan.

“Ingkar janji itu bermula atau diawali dari adanya suatu janji atau perjanjian. Tapi penipuan tidak diawali dengan perjanjian,” jelas Prof. Sardjijono.

Tanpa adanya perjanjian, sambung Prof. Sardjijono, seseorang tidak dapat dikatakan telah melakukan ingkar janji atau cidera janji.

Lalu, perjanjian itu dilakukan dengan adanya itikad baik. Dan ketika didalam menjalankan perjanjian itu ada itikad tidak baik, akan lahirlah wanprestasi atau menciderai yang dijanjikan dalam klausul perjanjian.

Munarif, salah satu penasehat hukum terdakwa Indah Catur Agustin lalu bertanya, ketika ada pengurus dalam suatu perseroan terbatas yaitu Direktur, kemudian membuat perjanjian keperdataan dalam bentuk perjanjian kerjasama.

“Sebelum terbentuknya perjanjian kerjasama, akan dilalui dengan proses yang wajar seperti adanya offering, asightment, negosiasi kemudian ditutup dengan dibuatnya kontrak perjanjian,” papar Munarif.

Kita melihat, lanjut Munarif, bahwa perjanjian yang dibuat itu secara subyektif dan obyektif itu tidak melanggar syarat-syarat yang diatur dalam pasal 1320 KUH Perdata.

Munarif kembali menjelaskan, perjanjian yang dibuat kedua belah pihak itu normal malah diawali dengan adanya hubungan keperdataan terlebih dahulu dan sudah berjalan.

“Apakah penyidik kepolisian ketika memeriksa perkara yang didahului perbuatan-perbuatan hukum keperdataan, dengan perkara yang tidak didahului dengan hubungan hukum keperdataan, diperlukan kehati-hatian saat memeriksa perkara ini ?,” tanya Munarif.

Menyinggung tentang prinsip kehati-hatian, Prof. Dr. Sardjijono menjelaskan, apakah perjanjian yang dibuat itu diawali dengan adanya transaksi atau tidak.

Ketika perjanjian itu diawali dengan adanya transaksi, untuk membedakan bahwa perbuatan ini murni mengandung unsur keperdataan atau ada aspek hukum lain yang timbul dalam transaksi itu.

“Asas kehati-hatian dalam suatu perjanjian haruslah diperhatikan, apakah perjanjian itu dilakukan setelah transaksi awal atau tidak, atau didasari pada transaksi awal yang sudah mengandung bedrog kemudian lahirlah perjanjian,” ujar Prof. Sardjijono.

Bagaimana dengan konsekuensi hukumnya? Ahli kemudian menjelaskan, ketika perjanjian dibuat setelah terjadinya suatu perbuatan melawan hukum, maka perjanjian ini akan menjadi penguat dalam suatu transaksi yang telah dilakukan.

“Namun jika diawal tidak terjadi perbuatan melawan hukum, maka akan kembali kepada transaksi awal dan perjanjian yang dibuat itu sah,” tutur ahli.

Ahli lalu mempertegas bahwa perjanjian itu bisa dipakai sebagai alat pengikatan dan bisa juga dipakai sebagai alat penguat suatu transaksi yang mengandung perjanjian.

Munarif kemudian bertanya, apakah adanya suatu tindak pidana penipuan, sebelum terjadinya kontrak atau sebelum terjadinya transaksi dan sebelum terjadinya perjanjian. Sebab biasanya, kontrak akan diikuti dengan transaksi.

“Yang menjadi pertanyaan, apakah bestanding delik sebagaimana diatur dalam pasal 378 KUH Pidana yaitu adanya rangkaian kata-kata bohong, tipu muslihat, harus ada didepan sebelum ditanda tanganinya suatu kontrak?,” tanya Munarif.

Atas pertanyaan ini, ahli pun menjawab, ketika masuk dalam konsep bedrog, bahwa perbuatan itu dilakukan pada saat transaksi, sebelum lahirnya perjanjian.

Ketika lahirnya perjanjian itu, menurut ahli, diawali dengan perbuatan yang mengandung bedrog, maka perjanjian itu akan menjadi penguat terhadap bedrog.

Namun apabila perjanjian yang dibuat itu tanpa adanya bedrog, maka kembali kepada sahnya suatu perjanjian. (pay)

 

Related posts

Sidang Pemukulan Adik Kandung Banyak Kejanggalan

redaksi

Gara-Gara Lenny Silas Masih Sakit, Status Penahanan Terdakwa Usman Wibisono Dialihkan Jadi Tahanan Kota

redaksi

Dua Anggota Satpol PP Aniaya Remaja Berusia 18 Tahun 

redaksi