SURABAYA (surabayaupdate) – Dalam persidangan dugaan tindak pidana penipuan yang menjadikan Indah Catur Agustin sebagai terdakwa di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, ada dua pakar hukum pidana yang dihadirkan.
Keduanya sama-sama sebagai dosen di Fakultas Hukum Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya. Dua ahli pidana yang dijadikan ahli tersebut adalah Prof. Dr. Sardjijono, SH., MHum dan Dr. M. Sholehuddin, SH., MH.
Yang membedakan adalah, Prof. Dr. Sardjijono, SH.,M.Hum didatangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sedangkan Dr. M. Sholehuddin, SH., MH didatangkan terdakwa Indah Catur Agustin melalui tim penasehat hukumnya.
Dari dua ahli pidana yang dihadirkan ini, Munarif salah satu penasehat hukum terdakwa Indah Catur Agustin menilai bahwa keterangan Dr. M. Sholehuddin, SH., MH sebagai ahli pidana, lebih konsisten dan konsekuen.
“Sebagai seorang ahli hukum pidana, Dr. M. Sholehuddin didalam memberikan keterangan dimuka persidangan mengenai hukum pidana, jauh lebih kompeten jika dibandingkan ahli pidana yang didatangkan penuntut umum pada persidangan sebelumnya,” kata Munarif
Sebagai ahli pidana, lanjut Munarif, Dr. M. Sholehuddin, SH., MH saat menyampaikan penilaian dan kajian hukum, jauh lebih sistematis dan konsisten, sehingga, Dr. M. Sholehuddin sebagai ahli pidana jauh lebih kompeten.
Keterangan ahli Sholehuddin dimuka persidangan, sambung Munarif, berkaitan dengan keadaan palsu, rangkaian kata-kata bohong, apabila tidak terjadi pada perjanjian atau perikatan maupun transaksi, maka tidak bisa dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.
“Begitu pula dengan PO yang dijadikan barang bukti diperkara ini, muncul setelah ada 15 transaksi. Dan PO itu sendiri tidak jelas siapa yang membuat dan menandatangani juga tidak diketahui,” papar Munarif.
Masih menurut Munarif, orang-orang yang menginvestasikan uangnya di PT. Garda Tamatex Indonesia ini hanya memikirkan keuntungan sebagaimana yang dijanjikan, sebesar empat persen sebulan.
“Ketika pembagian keuntungan ini macet, orang-orang yang berinvestasi ini kemudian berfikir bagaimana caranya supaya tidak dibagikannya keuntungan sebesar empat persen ini akhirnya menjadi pidana sehingga perkara ini dapat dilaporkan ke kepolisian,” jelas Munarif.
Untuk memperkuat adanya perbuatan melawan hukum, lanjut Munarif, dicarilah PO. Padahal, PO itu tidak jelas siapa yang membuat.
“PO itu yang menerima siapa? Apakah dari Indah kemudian diberikan ke Greddy? Kan tidak. Dari Greddy diberikan ke Canggih? Juga tidak,” kata Munarif.
Masih menurut Munarif, selama ini PO dipakai dasar untuk melaporkan secara pidana. PO itu sendiri tidak jelas. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana mungkin PO itu dijadikan dasar untuk menghukuma orang.
Dari dua ahli pidana yang dihadirkan dimuka persidangan, Munarif juga menilai bahwa kedua ahli ini mempunyai perbedaan pandangan tentang bedrog.
“Kedua ahli mempunyai pemahaman yang berbeda tentang hukum pidana. Dr. Sholehuddin ini jelas, sejak S1 sampai S2-nya yang dipelajari tentang hukum pidana, disertasinya pun tentang hukum pidana,” papar Munarif.
Bahkan, lanjut Munarif, Dr. Sholehuddin ini adalah satu-satunya doktor yang diluluskan Prof. Bardan Nawawi Arief, SH.
Untuk Prof. Dr. Sardjijono, SH., Mhum, disiplin ilmunya berubah-ubah dari hukum administrasi, hukum pidana. Dan sebagai ahli tidak konsisten.
Munarif kembali menambahkan, didalam perkara pidana yang menjadikan Indah Catur Agustin sebagai terdakwa ini jelas, tidak ada keadaan palsu sebelum perjanjian.
“Sebagaimana diterangkan Dr. Sholehuddin, bahwa dalam perkara ini adalah delik materiil maka harus ada kerugian materiil. Sedangkan pada persidangan sebelumnya, Prof. Dr. Sardjijono menuturkan, tidak perlu ada kerugian materiil,” terangnya.
Munarif kembali menjelaskan, berdasarkan keterangan yang disampaikan kedua ahli pidana ini dimuka persidangan, masalah deelneming juga menarik untuk dicermati.
Dr. Sholehuddin pada persidangan ini, lanjut Munarif, menerangkan bahwa jika seseorang itu disangka deelneming atau penyertaan, harus jelas kualitas dan kapasitas perbuatannya.
Munarif juga menerangkan, hal lain yang dipaparkan Dr. Sholehuddin pada persidangan ini dan sekiranya dapat menjadi pertimbangan majelis hakim adalah berkaitan dengan personnlicht laibility yang artinya tanggung jawab pribadi atau perorangan.
“Dalam asas ini maksudnya adalah siapa berbuat apa, nanti hukumannya apa. Konsep hukum pidana itu haruslah begitu,” papar Munarif.
Bukan karena dia direktur, sambung Munarif, harus bertanggung jawab secara pidana. Kalau komisaris yang dominan maka komisaris yang harus bertanggung jawab.
Jika dikaitkan dengan perkara ini, lanjut Munarif, terdakwa Indah Catur Agustin telah mengambil uang dari PT. Garda Tamatex Indonesia sebesar Rp. 28 miliar, namun terdakwa Indah Catur Agustin sudah mengembalikan uang itu ke PT. Garda Tamatex Indonesia sebesar Rp. 41 miliar. Berarti, ada kelebihan pembayaran.
Hal lain yang menjadikan Indah sebagai terdakwa adalah karena ketidak cakapan Indah Catur Agustin sebagai direktur yang tidak pernah melakukan audit keuangan, tidak pernah melakukan konsolidasi utang,
Ketidak cakapan yang dilakukan Indah ini tidak sengaja, karena Indah tidak mempunyai pengetahuan tentang hal itu sehingga karena ketidak cakapannya inilah hingga akhirnya Indah harus menerima konsekuensi hukum hingga akhirnya diadili. (pay)