
SURABAYA (surabayaupdate) – Bullying masih menjadi masalah serius yang terjadi di masyarakat. Hal ini menarik perhatian sejumlah pihak, baik pemerintah maupun lembaga pendidikan.
Sebagai lembaga pendidikan tinggi di Surabaya, Universitas Surabaya (Ubaya) bersama dengan beberapa lembaga lain, mendiskusikan masalah bullying ini dalam sebuah sarasehan.
Disarasehan yang diprakakarsai Fakultas Hukum Ubaya ini, juga dilibatkan profesi psikolog. Beberapa praktisi hukum juga diundang dan memberikan pandangannya dari sisi hukum untuk masalah bullying yang terjadi.
Terkait masih maraknya bullying ditengah-tengah masyarakat ini, Wakil Dekan Ubaya Peter Jeremiah mengatakan, bullying adalah fonemena seperti gunung es yang tidak bisa diselesaikan dari sisi hukum semata.
“Bullying harus juga diselesaikan dari sisi psikologi. Untuk itu, diperlukan juga seorang psikolog membantu menyelesaikan masalah bullying itu,” kata Peter, Sabtu (23/11/2024).
Untuk meminimalisir terjadinya bullying, lanjut Peter, diperlukan pembentukan karakter yang baik. Disinilah diperlukan peran seorang psikiater dan psikolog.
“Akibat dari bullying yang diterima korbannya, akan membekas dan sulit untuk dihilangkan, apalagi ada perundungan terhadap korban bullying,” papar Peter.
Untuk mencegah dan menyelesaikan bullying tersebut, menurut Peter, diperlukan peran keluarga.
“Kuncinya ada di keluarga. Sebab, dikeluarga itulah bisa diidentifikasi terjadinya bullying lebih awal,” ungkap Peter.
Peter kembali menambahkan, peran serta orangtua juga diperlukan bagi anak-anaknya yang paling banyak menjadi korban bullying.
“Orangtua perlu mendengar keluh kesah anak-anak mereka, apa yang menjadi masalah anak, baik di sekolah maupun di lingkungan rumahnya,” ungkap Peter.
Jika orangtua terbiasa mendengar keluh kesah anak-anak mereka, melakukan diskusi dengan anaknya dalam kehidupan sehari-hari,
Peran orangtua dalam mendengar permasalahan anak adalah menjadi sangat penting, agar permasalahan yang dihadapi anak ini tidak terlampiaskan ke hal-hal yang negatif,” ujar Peter.
Ubaya sendiri, lanjut Peter, sudah telah berkomitmen untuk menghentikan masalah bullying dengan membentuk satgas.
“Satgas ini telah terjun ke sekolah-sekolah dengan melibatkan dosen dan mahasiswa. Ke siswa, kita jelaskan apa konsekuensi hukumnya apabila melakukan tindakan bullying,” ujar Peter.
Dan kepada korban bullying, sambung Peter, kita juga sampaikan supaya tidak segan menyampaikan ke kami tentang permasalahan bullying yang ia hadapi.
“Jangan didiamkan, harus disampaikan ke kamu supaya masalah bullying yang ia hadapi itu bisa cepat diselesaikan,” tegas Peter.
Sementara Salawati, advokat yang menjadi salah satu narasumber diacara sarasehan ini mengatakan, bullying selama ini identik dengan perilaku remaja.
“Jika dikaji lebih dalam, bullying sebenarnya adalah suatu tindakan kekerasan yang disengaja kepada pihak lain dengan tujuan menyakiti, mengganggu secara terus menerus,” ulas Salawati.
Alumni fakultas hukum Ubaya ini kembali menjabarkan, dalam hukum pidana sudah diatur pasalnya, diantaranya pasal 315 KUHP, pasal 311 KUHP, pasal 27 UU ITE, pasal 406 dan 407 KUHP, pasal 16 UU no 40 tahun 2008.
Salawati kembali menegaskan, pertanggungjawaban atas suatu tindak pidana anak dalam UU SPPA dibedakan dalam tiga kategori, yaitu :
1. Anak yang berusia di bawah 12 tahun
Dinyatakan bahwa anak yang melakukan tindak pidana, tetapi ketika tindak pidana tersebut dilakukan, anak belum berusia 12 tahun, maka kepada anak tidak dapat disentuh sistem peradilan. Dan anak tersebut dikembalikan kepada orangtuanya.
2. Anak berusia 12-14 tahun
Seorang anak yang berusia 12-14 tahun yang melakukan tindak pidana dapat diajukan ke depan persidangan, namun anak dalam kategori usia ini tidak dapat dijatuhi hukuman. Karena anak dalam usia ini hanya diberikan tindakan dikembalikan kepada orangtua atau dikembalikan kepada panti sosial.
3. Anak berusia 14-18 tahun
Anak pada usia 14-18 tahun dianggap sudah dapat bertanggungjawab atas tindak pidana yang telah dilakukannya. Anak yang dikategorikan pada usia ini sudah dapat ditahan dan divonis berupa hukuman penjara yang lamanya dikurangi setengah dari penjara orang dewasa.
“ Acara ini dibuat dari perspektif hukum dan psikologi juga dijabarkan pada anak-anak dan orang dewasa bahwa ini ada konsekwensi hukumnya ada pidananya,” kata Salawati.
Sala menambahkan, dalam acara tersebut juga dibahas yang menjadi faktor masih maraknya bullying adalah faktor personal dan situasional.
“Kalau saya pribadi bahwa yang menjadi faktor penyebab juga adanya kekosongan peran pemerintah untuk menyelesaikan masalah ini, belum ada sistem yang rapi terperinci sebab seolah-olah tak ada efek jeranya,” ujar Sala.
Terpisah, Freddy P anggota DPRD Jawa Timur mengatakan, aturan tentang perundungan atau bullying sebenarnya sudah ada di Perda 2 tahun 2014 tentang perlindungan anak, namun apakah Perda tersebut masih efesiensi ini yang masih dikaji. Sebab, Pemerintah memiliki tanggungjawab pada warga negara apalagi anak.
Selama ini kalangan kampus seperti Ubaya sangat kooperatif, perduli dan aktif turun untuk menyelesaikan persoalan ini. Pun demikian pemerintah juga sudah memiliki peduli terhadap permasalahan ini.
“Perda ada, Pergub ada, berarti negara sudah mempunyai keperdulian. Tapi kenapa masih marak? Ini menjadi tugas bersama untuk menyelesaikan permasalahan ini,” kata Freddy.
Untuk itu pihaknya meminta Ubaya, untuk membantu mensosialisasikan permasalahan ini dan mengkaji Perda ini masih relevan apa tidak. Kalau tidak relevan, harus dicari jalan keluar.
“Ini menjadi tugas bersama, baik di rumah maupun di sekolah dan lingkungan. Pelajaran budi pekerti masih sangat diperlukan, saling menghormati satu sama lain,” tegas Freddy.
Freddy kembali melanjutkan, hal ini menjadi tugas bersama dengan melibatkan semua lini mulai pemerintah, akademisi, tokoh agama, tokoh muda.
“Dan ini harus konsisten jangan latah, ketika ada peristiwa yang viral kemudian semua pihak baru melakukan aksi,” kritiknya.
Padahal, sambung Freddy, peristiwa pembulian ini terjadi hampir setiap hari, artinya sebelum ada peristiwa harus ada tindakan dari semua pihak, jangan menunggu ada peristiwa yang viral baru ada tindakan. (pay)