MOJOKERTO (surabayaupdate) – Herman Budiyono yang menjadi terdakwa dugaan tindak pidana penggelapan dalam jabatan di Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto akhirnya dinyatakan bersalah dan dijatuhi hukuman penjara selama tiga tahun.
Usai mendengar pembacaan vonis, tim penasehat hukum Direktur CV Mekar Makmur Abadi (MMA) ini langsung menyatakan banding.
Dalam persidangan yang digelar di ruang sidang Cakra PN Mojokerto, Senin (16/12/2024) hakim Ida Ayu Sri Adriyanthi Widja, hakim PN Mojokerto yang ditunjuk sebagai ketua majelis pemeriksa dan pemutus perkara menyebutkan bahwa terdakwa Herman Budiyono telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penggelapan dalam jabatan.
“Menjatuhkan pidana penjara kepada terdakwa Herman Budiyono selama tiga tahun,” kata hakim Ida Ayu Sri Ardhiyanthi Widja saat membacakan amar putusannya.
Atas hukuman tiga tahun penjara ini, tim pembela terdakwa Herman Budiyono langsung menyatakan banding.
Mendengar hukuman tiga tahun penjara yang dijatuhkan bagi Herman Budiyono, tim penasehat hukum terdakwa hanya bisa terdiam dan menggelengkan kepala.
Michael, SH., MH., CLA, CTL, CCL salah satu penasehat hukum terdakwa Herman Budiyono, langsung bereaksi dan memberi tanggapan usai persidangan.
Lebih lanjut Michael mengatakan, putusan tiga tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim PN Mojokerto yang memeriksa dan memutus perkara ini sebagai pertanda preseden buruk bagi penegakan hukum di Mojokerto.
“Vonis tiga tahun bagi Herman Budiyono ini juga menunjukkan matinya rasa keadilan di PN Mojokerto,” tegas Michael.
Dari awal penanganan perkara ini, lanjut Michael, mulai dari tingkat penyidikan, hingga perkara ini dibawa ke pengadilan untuk disidangkan, sudah terasa kejanggalannya.
“Ini murni perkara perdata, namun dipaksakan menjadi pidana. Para penegak hukum yang menangani perkara ini, benar-benar mengabaikan bukti-bukti dari Herman Budiyono yang menyatakan tidak ada satupun pelanggaran pidana yang dilakukan Herman Budiyono,” jelas Michael.
Hukuman tiga tahun penjara yang diberikan majelis hakim PN Mojokerto yang memeriksa dan memutus perkara ini, lanjut Michael, semakin membuktikan bahwa tidak ada keadilan bagi Herman Budiyono.
“Semua bukti-bukti yang kami tunjukkan selama persidangan, pernyataan saksi-saksi yang dihadirkan didalam persidangan, baik saksi dari terdakwa maupun Jaksa Penuntut Umum (JPU) hingga ahli yang dihadirkan penuntut umum, tidak ada satupun dimasukkan sebagai pertimbangan hakim dalam putusannya,” kata Michael.
Bukti-bukti yang disampaikan dimuka persidangan, sambung Michael, untuk mematahkan dakwaan dan tuntutan JPU, tetap tidak dipertimbangkan majelis hakim. Semua bukti-bukti dari terdakwa Herman Budiyono diabaikan majelis hakim.
“Majelis hakim dalam menilai perkara ini tidak obyektif, semua subyektif, tidak berdasar fakta yang terungkap dipersidangan,” ungkap Michael.
Penasehat hukum terdakwa Herman Budiyono, lanjut Michael, sudah melampirkan setoran modal sebesar Rp 3 miliar dari Herman Budiyono, tapi majelis hakim dalam pertimbangan yang di bacakannya hanya menyatakan Rp. 1 miliar.
“Acuan majelis hakim apa dengan mengatakan bahwa setoran Herman Budiyono itu hanya Rp. 1 miliar? Yang Rp 2 miliar kemana? Setoran modal sebesar Rp. 3 miliar sudah ada buktinya tapi diabaikan sedangkan setoran sebesar Rp. 1 miliar yang tidak ada buktinya malah dijadikan dasar pertimbangan,” keluh Michael.
Masih menurut penilaian Michael, dalam pertimbangan hukumnya, majelis hakim mengatakan, jika Direktur CV. MMA, Bambang Sucahyo telah menyetorkan modal awal. Namun berdasarkan fakta persidangan, berapa modal awal yang disetorkan Bambang Sucahyo tidak pernah terungkap nilainya, begitu juga dengan bukti-bukti yang mendukung adanya setoran awal Bambang Sucahyo tersebut, tidak pernah ada.
“Inilah yang membuat persidangan menjadi tidak obyektif dan sangat keliru karena tidak berdasarkan pada fakta yang terungkap dipersidangan,” ungkap Michael.
Masih kata penasihat hukum terdakwa Herman Budiyono, majelis hakim mempertimbangkan keterangan dari salah satu ahli yang didatangkan JPU, dimana ahli tersebut menyatakan persero pasif tidak boleh menjalankan kepengurusan CV. MMA.
“ Apa dasarnya? Karena fakta persidangan jelas, berdasarkan akta pendirian disebutkan, jika salah satu persero meninggal maka persero tetap bisa berjalan,” papar Michael.
Jika didasarkan pada keterangan Guru Besar Hukum Perdata yaitu Prof Indrati Rini dalam persidangan yang menyatakan, persero pasif boleh menjalankan kepengurusan CV sepanjang menguntungkan CV dan tidak ada dasar hukumnya CV itu berhenti apabila salah satu persero meninggal, maka pertimbangan hukum majelis hakim tersebut ngawur dan tidak ada dasar hukumnya.
Michael juga menyinggung soal neraca yang tidak pernah terungkap di persidangan termasuk siapa yang membuat neraca tersebut.
“Anehnya, masalah neraca yang misterius ini malah dijadikan majelis hakim menjadi pertimbangan,” kata Michael.
Masih berkaitan dengan neraca, Michael pun bertanya darimana asal usulnya, siapa yang membuat neraca tersebut.
“Apakah memang seperti itu bahwa sesuatu yang tidak jelas asal usul serta kebenarannya bisa dijadikan sebagai fakta dan dibenarkan secara hukum?,” tanya Michael lagi.
Hal lain yang juga dipertanyakan Michael adalah masalah keabsahan bukti-bukti yang ditunjukkan terdakwa melalui penasehat hukumnya.
Menurut majelis hakim, semua bukti-bukti yang ditunjukkan tim penasehat hukum terdakwa tidak relevan sehingga haruslah ditolak.
“Kalau tidak relevan bukti-bukti yang kami ajukan, bukti seperti apa yang relevan? Majelis hakim tidak bisa menjelaskannya,” papar Michael.
Michael kemudian menyebutkan tentang kesaksian salah satu karyawan bagian administrasi. Saksi ini yang mendatangkan penuntut umum.
Didalam persidangan, saksi fakta yang dihadirkan penuntut umum ini dimuka persidangan menyebutkan tidak ada penggelapan yang dilakukan terdakwa Herman Budiyono.
“Lha kalau saksinya jaksa saja berani mengatakan tidak ada penggelapan yang dilakukan Herman Budiyono, lalu dasar hukumnya apa menghukum terdakwa, apalagi hukuman yang dijatuhkan tiga tahun penjara,” beber Michael.
Michael kembali membeberkan, apakah orang yang jelas-jelas tidak melakukan penggelapan haruslah diberi hukuman penjara? Dan apakah seperti ini yang namanya keadilan di Indonesia?
“Kami tidak habis pikir dengan pemikiran majelis hakim pemeriksa dan pemutus perkara ini. Banyak bukti yang terungkap dipersidangan, malah mereka abaikan. Jelas sudah bahwa majelis hakim pemeriksa perkara ini didalam memutuskan perkara ini tidak berdasarkan rasa keadilan,” tegas Michael.
Atas ketidakadilan inilah yang membuat tim penasehat hukum terdakwa Herman Budiyono menolak vonis tiga tahun penjara mengambil langkah hukum banding.
“Kami banding. Majelis hakim didalam mengambil keputusan tidak berdasarkan logika yang masuk akal. Penalaran hukum majelis hakim didalam putusannya tidak berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dipersidangan,” beber Michael lagi.
Masih menurut Michael, atas kesewenang-wenangan majelis hakim yang menjatuhkan hukuman tidak sesuai fakta itulah yang membuat tim penasehat hukum terdakwa Herman Budiyono akan melaporkan majelis hakim yang memutus perkara ini ke Komisi Yudisial dan BAWAS MA-RI.
“Tuduhannya netralitas hakim didalam menjatuhkan pidana untuk terdakwa Herman Budiyono. Karena nampak sekali bahwa majelis hakim sudah tidak netral dan adanya pelanggaran kode etik,” terangnya.
Majelis hakim, sambung Michael, juga sudah tidak profesional dalam mengadili perkara ini. Dan ada dugaan keberpihakan majelis hakim.
“Buktinya, video yang kami minta untuk putar dimuka persidangan, ditolak majelis hakim. Ini jelas sekali bahwa majelis hakim sudah membatasi hak-hak hukum terdakwa Herman Budiyono, ” pungkas Michael.
Bagi Michael, putusan majelis hakim ini adalah putusan yang menjadi preseden buruk bagi para pencari keadilan. Karena majelis hakim hanya mendengar penjelasan pelapor secara sepihak tanpa mempertimbangkan secara objektif, sementara sisi terdakwa dikesampingkan.
“Sejak awal kami sudah menduga bahwa meskipun klien kami tidak bersalah akan tetap dihukum. Karena sejak awal, eksepsi terkait uraian dakwaan JPU yang copy paste saja mereka diamkan, padahal mana boleh uraian dakwaan itu copy paste,” ungkap Michael.
Michael menambahkan, sejak awal mulai penyidikan hingga tingkat pengadilan negeri, ada dugaan bahwa perkara ini sudah dikondisikan.
Jika melihat perkara ini, secara tegas Michael menilai bahwa perkara ini murni perkara perdata tapi dipaksa menjadi pidana.
Kemudian, ada kesesatan yang dibiarkan didalam memeriksa perkara ini. Hal itu terlihat dari adanya keterangan ahli perdata JPU yang menyatakan perbuatan melawan hukum dalam pidana dan perdata itu sama. Hal inilah yang menjadi sesat penalaran hukum yang nampak dalam perkara ini. (pay)