SURABAYA (surabayaupdate) – Advokat Johan Widjaja akhirnya resmi menyandang gelar akademik doktor hukum.
Dihadapan delapan orang tim penguji, Dr. Johan Widjaja, SH.,MH berhasil mempertahankan disertasinya pada sidang terbuka program studi pasca sarjana Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya.
Ujian terbuka ini diselenggarakan Jumat (3/1/2025), Meeting Room Lantai 1 Gedung Graha Wiyata Kampus Untag Surabaya.
Dari ujian disertasinya ini, Dr. Johan Widjaja, SH., MH memperoleh hasil sangat memuaskan. Dan yang membanggakan, gelar doktor ini adalah gelar yang ketiga.
“Ini gelar doktor saya yang ketiga. Sebelumnya, saya sudah meraih dua gelar doktor untuk bidang ilmu yang lain,” ungkap Johan Widjaja
Ujian promosi Doktor ini diketuai Prof. Dr. Slamet Suhartono S.H., M.H. CMC., yang menjabat sebagai Dekan Fakultas Ilmu Hukum Untag Surabaya dan sebagai guru besar ilmu hukum.
Bertindak sebagai tim penguji promosi doktor hukum untuk Johan Widjaja ini, Prof. Dr. Mulyanto Nugroho, M.M., C.M.A., C.P.A., Prof. Dr. Made Warka, S.H., M.Hum., Prof. Dr. Prasetijo Rijadi, S.H., M.Hum., Prof. Dr. Slamet Riyadi, M.Si., Ak., CA., Dr. Yovita Arie Mangesti, S.H., M.H., Dr. Syofyan Hadi, S.H., M.H., Dr. Rr. Amanda Pasca Rini, S.Psi., M.Si., Psikologi., dan Dr. Endang Prasetyowati, S.H., M.Hum.
Johan Widjaja sendiri didampingi Prof. Dr. Hartiwiningsih S.H., M.H. sebagai promotor dan Dr. Erny Herlin Setyorini S.H., M.H., sebagai co-promotor.
Untuk meraih gelar doktor hukum ini, Johan Widjaja harus mempertahankan disertasinya yang berjudul “Rekonstruksi Pengaturan Pembayaran Ganti Rugi Kepada Korban Penipuan Berbasis Keadilan”.
Lebih lanjut dari disertasinya ini, Johan Widjaja menjelaskan, aturan-aturan di Indonesia memang sudah banyak yang mengatur tentang pemberian ganti rugi.
“Tetapi aturan-aturan itu tidak bisa langsung dilaksanakan didalam suatu amar putusan dari majelis hakim,” kata Johan Widjaja.
Kalau ada kerugian materiil dari pihak korban, lanjut Johan Widjaja, hakim tidak berani memutuskan dan memasukannya didalam amar putusan terkait ganti kerugian.
Johan Widjaja kembali menjelaskan, tujuan dari adanya rekonstruksi pengaturan pembayaran ganti rugi kepada korban penipuan berbasis keadilan ini adalah adanya ketidakadilan bagi pihak korban.
“Korban penipuan tidak pernah mendapatkan keadilan. Untuk mendapatkan keadilan, korban penipuan harus menempuh persidangan hingga perkara itu benar-benar dinyatakan inkracht atau berkekuatan hukum tetap,” jelas Johan Widjaja.
Meski perkara pidananya telah berkekuatan hukum tetap, sambung Johan Widjaja, masalah ganti kerugian tidak pernah dijelaskan atau dicantumkan dalam amar putusan hakim sehingga korban harus melakukan gugatan perdata.
Johan Widjaja pun berharap, dengan disertasinya ini, ada perhatian dan desakan dari DPR pusat supaya kedepannya majelis hakim memasukkan masalah ganti kerugian untuk korban penipuan dalam putusan hakim.
“Maksudnya begini. Kalau ada suatu perkara yang menimbulkan kerugian materiil bagi pihak korban, pada saat terdakwanya dinyatakan bersalah, maka hakim bisa langsung memutuskan nilai ganti kerugiannya berapa di dalam amar putusannya,” papar Johan Widjaja.
Hal ini, lanjut Johan Widjaja, bertujuan supaya korban penipuan tidak perlu lagi menempuh upaya hukum perdata hanya untuk menuntut adanya ganti kerugian secara materiil.
Johan Widjaja kembali menjelaskan, ada pola lain yang bisa diterapkan untuk ganti kerugian ini yakni family model. Ini sudah dilaksanakan di negera Belanda.
“Model seperti di Belanda itu mudah-mudahan bisa diterapkan di Indonesia walaupun ada beberapa kendala kultural dan sosio ekonomi yang majemuk,” tutur Johan Widjaja.
Paling tidak, lanjut Johan Widjaja, harus dicoba supaya ada solusi. Sehingga korban penipuan benar-benar merasakan adanya keadilan.
Johan pun mencontohkan Undang-Undang Korupsi dimana untuk seorang terdakwanya jika dinyatakan bersalah, langsung membayar ganti rugi kepada negara.
Dan jika terdakwa tidak sanggup untuk membayar ganti rugi maka dapat diganti dengan hukuman badan atau hukuman penjara. (pay)