surabayaupdate.com
HEADLINE HUKUM & KRIMINAL INDEKS

Menurut Duo Bos Sipoa, Jaksa Masih Saja Membuat Kebohongan Dalam Repliknya, Melanjutkan Kebohongan Sebelumnya

Budi Santoso (KIRI) dan Ir. Klemens Sukarno Candra (KANAN) menjadi terdakwa dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan di PN Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)
Budi Santoso (KIRI) dan Ir. Klemens Sukarno Candra (KANAN) menjadi terdakwa dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan di PN Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

SURABAYA (surabayaupdate) – Setelah giliran Jaksa Penuntut Umum (JPU) menanggapi nota pembelaan atau pledoi baik yang dibuat tim penasehat hukum terdakwa maupun nota pembelaan atau pledoi pribadi kedua terdakwa, tibalah waktunya bagi Ir. Klemens Sukarno Candra dan Budi Santoso, duo bos PT. Bumi Samudera Jedine, Sipoa Group, menanggapi tanggapan JPU atas nota pembelaan atau pledoi terdakwa.

Dalam tanggapan terdakwa atau duplik atas tanggapan JPU atas nota pembelaan atau pledoi terdakwa, dikenal dengan istilah replik, banyak hal yang diungkap terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra dan terdakwa Budi Santoso atas replik jaksa tersebut.

Kedua terdakwa, dalam dupliknya, secara tegas menolak replik JPU yang dibacakan Kamis (24/1/2019) di muka persidangan. Lebih lanjut dalam persidangan yang terbuka untuk umum, yang digelar di ruang sidang Candra, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (31/1/2019), dalam dupliknya, kedua terdakwa menanggapi replik JPU tentang adanya salah ketik yang tidak disengaja.

Terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra, saat membacakan duplik kedua terdakwa menyebutkan, adalah hal yang tidak benar dan akhirnya ditolak oleh kedua terdakwa, replik yang sudah disusun JPU.

“JPU masih saja memasukkan bahwa keterangan 15 saksi a charge yang tidak pernah datang untuk bersaksi di muka persidangan tanpa alasan, sebagai fakta persidangan dan dituangkan dalam surat tuntutan,” ujar terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra

Menurut JPU dalam repliknya, lanjut terdakwa Klemens, tidak hadirnya 15 saksi a charge tersebut merupakan sekadar peristiwa salah pengetikan yang tidak disengaja. Demikian pula kalimat palsu yang berbunyi “terhadap keterangan saksi, para terdakwa tidak keberatan” yang ditulis pada setiap akhir keterangan 15 orang saksi a charge tersebut. JPU menyatakan, jika pernyataan terdakwa yang berbunyi “terhadap keterangan saksi, para terdakwa tidak keberatan” ini  merupakan salah pengetikan yang tidak disengaja akibat ter-copy paste.

“Dalih JPU itu terlalu naif, tidak rasional dan tidak logis. JPU sudah mengabaikan kebenaran,  argumen logis dan rasionalitas, dimana ketiganya harus dijadikan parameter dalam suatu persidangan. Alibi JPU itu merupakan manisfestasi apa yang dimaksud satu kebohongan akan melahirkan kebohongan-kebohongan baru,” ungkap terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra dalam pembacaan Duplik di PN Surabaya, Kamis (31/1/2019).

Budi Santoso dan Ir. Klemens Sukarno Candra usai menjalani persidangan di PN Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)
Budi Santoso dan Ir. Klemens Sukarno Candra usai menjalani persidangan di PN Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

Kedua terdakwa, dalam dupliknya, tidak bisa menerima argumen salah pengetikan sebagaimana dijelaskan JPU dalam repliknya, alasannya adalah dalam merumuskan surat tuntutan hingga dibacakan dimuka persidangan tanggal 6 Desember 2018, JPU membutuhkan waktu 35 hari.

“Dengan kurun waktu yang demikian lama tersebut, dalam logika yang sangat sederhana, JPU memiliki waktu yang lebih dari cukup untuk memperbaiki materi surat tuntutan manakala terdapat kekeliruan dalam pengetikan atau wrong typing,” papar terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra, saat membacakan dupliknya.

JPU, sambung terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra, masih menyebut bahwa kekeliruan pengetikan dalam Bahasa Inggris sebagai critical error. Dan kami, kedua terdakwa, tak paham atau tidak mengerti, apakah kata critical error itu dimaknai JPU sebagai salah pengetikan?

Terkait dengan salah pengetikan yang menjadi dasar JPU dan kemudian dijelaskan dalam repliknya itu, kedua terdakwa secara tegas dimuka majelis hakim, JPU dan tim penasehat hukumnya, menolak replik jaksa, begitu juga dengan surat tuntutan yang dibuat JPU. Menurut kedua terdakwa dalam dupliknya, peristiwa kekeliruan pengetikan itu lazim terjadi hanya pada satu atau dua suku kata, dan tidak berpengaruh terhadap substansi materi atau pendapat yang dikemukakan.

Dalam surat tuntutan yang notabene adalah dokumen negara, kekeliruan pengetikan terjadi berulangkali hingga sebanyak 15 kali, dan sangat berdampak secara substansial terhadap pendapat hukum yang dikemukakan JPU.

Menurut kedua terdakwa, dalam dupliknya, seharusnya keterangan 15 orang saksi tersebut  tidak dapat menjadi fakta persidangan. Namun, hal itu telah termanipulasi sebagai fakta persidangan, setidaknya telah menjadi pertimbangan Jampidum merumuskan tuntutan bagi kedua terdakwa.

Jaksa juga dinilai sudah membuat kebohongan lanjutan dari kebohongan sebelumnya. Mengapa? Dalam duplik yang dibacakan terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra itu disebutkan, kalimat palsu yang sudah dibuat JPU yang berbunyi : “terhadap keterangan saksi, terdakwa tidak keberatan”, ditulis 15 kali oleh JPU dan di-copy paste dalam surat tuntutan yang disusun JPU.

Budi Santoso dan Ir. Klemens Sukarno Candra saat disidang di PN Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)
Budi Santoso dan Ir. Klemens Sukarno Candra saat disidang di PN Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

“Kalimat palsu JPU yang berbunyi “terhadap keterangan saksi, terdakwa tidak keberatan” tertulis hingga 15 kali dalam surat tuntutan itu dapat terjadi semata-mata karena ada perintah dari otak besar pembuatnya, yang berfungsi untuk memproses semua kegiatan intelektual, termasuk menulis kalimat tersebut, sehingga dengan demikian, penulisan kalimat palsu “terhadap keterangan saksi terdakwa tidak keberatan” yang didalihkan JPU ini merupakan salah pengetikan yang tidak disengaja akibat ter-copy paste, adalah lebih sebagai bentuk kebohongan lanjutan dari kebohongan sebelumnya,” tukas Ir. Klemens Sukarno Candra saat membacakan dupliknya.

Duo petinggi Sipoa Group yang menjadi terdakwa dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan ini makin prihatin dan tidak terima atas ulah jaksa karena sudah dirugikan. JPU dengan gampangnya menyebut salah ketika itu menurut kedua terdakwa dalam dupliknya, telah mengakibatkan Jaksa Agung Muda Pidana Umum (JAM Pidum) Dr Noor Rochmad, SH, MH “terkelabui” sehingga memutuskan besarnya tuntutan terhadap terdakwa Budi Santoso dan Ir. Klemens Sukarno Candra selama empat tahun penjara.

“Oleh karena itu, dalam kasus ini, sangat mungkin secara berjenjang, mulai Kajari Surabaya, Kajati Jawa Timur, Direktur Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara dan Ketertiban Umum pada Jampidum, hingga Jampidum telah menjadi korban kebohongan JPU,” tandas Ir. Klemens Sukarno Candra saat membacakan dupliknya.

Kritikan tajam juga ditunjukkan kedua terdakwa dalam dupliknya. JPU dalam repliknya menyatakan bahwa jaksa dalam membuat surat tuntutan maupun dakwaan, dalam rangka melaksanakan perintah undang-undang dan sumpah jabatan.

“Namun JPU lupa, ketika tengah melaksanakan perintah undang-undang dan melaksanakan sumpah jabatan, terdapat larangan tidak boleh melanggar undang-undang dan sumpah jabatan itu sendiri. JPU tidak boleh menegakan hukum dengan cara melanggar hukum,” kata terdakwa Ir. Klemens Sukarno Candra.

Perbuatan JPU yang memberikan keterangan palsu, lanjut Ir. Klemens membacakan dupliknya, dan serangkaian kebohongan dalam surat tuntutannya, berdasarkan Peraturan Jaksa Agung RI Nomor: Per-067/A/Ja/07/2007 tentang Kode Perilaku Jaksa, dapat dikualifikasikan telah melanggar pasal 4 huruf (b) yang isinya tentang Merekayasa fakta hukum dalam penanganan perkara.

Selain memberikan keterangan palsu, kedua terdakwa dalam dupliknya juga menyatakan bahwa JPU juga melakukan serangkaian kebohongan dalam surat tuntutan. Serangkaian kebohongan yang sudah dilakukan JPU itu terdapat pada halaman 87, dan diulang lagi di dalam Repliknya.

Ir. Klemens Sukarno Candra saat membacakan duplik di depan persidangan. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)
Ir. Klemens Sukarno Candra saat membacakan duplik di depan persidangan. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

Lebih lanjut kedua terdakwa dalam dupliknya menyatakan, kebohongan pertama ketika JPU mendalilkan : “adalah fakta bahwa obyek tanah lahan apartemen tersebut yaitu SHGB No. 71 Desa Kedungrejo Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo dengan seluas  59.924 atas nama PT. Kendali Jowo, baru dibeli PT. Bumi Samudra Jedine (BSJ) tanggal 12 Juni 2014 sebagaimana tertuang dalam Akta Jual Beli (AJB) No. 100/2014 tanggal 12 Juni 2014 dihadapan Notaris/PPAT Inggil Nugroho Wasih, SH”.

Menurut Ir. Klemes Sukarno Candra, keterangan bohong ini sengaja dibangun JPU untuk memberikan gambaran palsu, bahwa pada saat melakukan pemasaran unit apartemen di bulan Desember 2013, PT. BSJ belum memiliki tanah, padahal fakta yang benar,  tanggal 30 Juli 2013, PT. BSJ sudah membeli dan memiliki obyek tanah seluas 59.924 m2, yang diatasnya akan dibangun Apartemen Royal Afatar Word (RAW), berdasarkan bukti sempurna, berupa akte Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) Lunas Nomor: 154 yang diterbitkan Kantor Notaris Widatul Millah, SH, dan sudah dilampirkan dalam nota pembelaan atau pledoi.

“Sejatinya JPU sudah paham fakta ini, karena dalam berkas perkara cukup terang benderang dan sesuai fakta persidangan. Sehingga keterangan palsu yang dituangkan dalam surat tuntutan itu dilakukan dengan sengaja oleh JPU” ujar Klemens membacakan dupliknya.

Kebohongan kedua, ketika JPU mendalilkan : ”adalah fakta, bahwa untuk mendukung pemasaran Apartemen RAW yang akan dibangun di Desa Kedungrejo Kecamatan Waru Kabupaten Sidoarjo, pihak PT. BSJ membuat miniatur Apartemen RAW dan membagikan brosur tentang apartemen RAW, yang ditawarkan dengan harga jauh lebih murah dibandingkan dengan apartemen lain, sehingga masyarakat atau konsumen menjadi tertarik dan berminat membeli Apartemen RAW.

JPU ingin membangun keadaan palsu, dimana kebijakan yang dibuat PT. BSJ dalam menetapkan harga jauh lebih murah dibandingkan dengan apartemen lainnya merupakan cara perbuatan terdakwa melakukan tipu muslihat, agar masyarakat tertarik dan berminat membeli.

Dalam konteks ini, ketika  mengatakan harga jauh lebih murah dibandingkan dengan apartemen lainnya JPU tidak memberikan harga unit apartemen lain sebagai pembanding. Sedangkan sesuai fakta persidangan, 18 saksi fakta atau pelapor yang memberikan keterangan ke muka persidangan, tertarik membeli Apartemen RAW karena letaknya strategis dan harga terjangkau.

Selain itu, dalam duplik kedua terdakwa juga dijelaskan, dari 34 saksi pelapor yang memberikan keterangan ke muka persidangan, tidak ada seorangpun yang menerangkan tertarik membeli Apartemen RAW karena harga jauh lebih murah dibandingkan dengan apartemen lainnya, sebagaimana yang disampaikan JPU dalam surat tuntutannya.

Untuk mendukung kebohongan “harga jauh lebih murah dibandingkan dengan apartemen lainnya, sehingga masyarakat atau konsumen menjadi tertarik dan berminat membeli Apartemen RAW, dalam surat dakwaan dan surat tuntutan halaman 2, 82, 87, 93, dan 97, JPU malah memberi contoh  harga apartemen yang tergolong cukup mahal, yakni sebagai berikut: Syane Angely Tjiongan memutuskan membeli Apartemen Royal Afatar World tower B lantai 20 unit 17 type B senilai Rp. 478, 6 juta dan Dra. Linda Gunawati Go juga telah melakukan pelunasan unit Apartemen RAW tower C lantal 18 unit 09 atau blok 1809 dengan kode pemesanan STA 43 senilai   Rp. 250.500.000. Untuk harga Apartemen yang dibeli Syane Angely Tjiongan dijual oleh The Grand Sagara Surabaya seharga Rp. 360 juta per unit. (pay)

Related posts

Pengurus FPI Jawa Timur Kembali Diperiksa

redaksi

Smartfren Sukses Atasi Lonjakan Traffic Internet Pada Hari Natal 2022

redaksi

 Tak Satupun Kuasa Hukum Mendampinginya, Sidang Pembacaan Pembelaan Guru Besar Ubaya Ditunda

redaksi