SURABAYA (surabayaupdate) – Sidang lanjutan Gugatan Pembatalan Penetapan Pengadilan Negeri (PN) Surabaya nomor : 484/Pdt.P/2017/PN.Sby tanggal 21 Agustus 2017 atas nama pemohon Ongkoratna Tjandrasari dan kawan-kawan, mengenai pengampuan Eka Ingwahjuniarti Listyadarma, kembali digelar di PN Surabaya.
Pada persidangan Selasa (4/9) ini, Suwarlina Linaksita, pemohon pembatalan dibawah pengampuan untuk Eka Ingwahjuniarti Listyadarma, melalui Arief Budi Prasetjo selaku kuasa hukumnya, mengajukan saksi ahli dan saksi fakta. Namun karena adanya keterbatasan waktu, maka yang diperiksa di persidangan hanya saksi ahli saja. Saksi Ahli yang dihadirkan di persidangan ini adalah DR. Djoko Sukisno, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Gajahmada (UGM) Jogjakarta.
Kepada DR. Djoko Sukisno, Arief Budi Prasetjo diawal persidangan bertanya mengenai Di awal persidangan, ahli diminta untuk menjelaskan kecakapan bertindak. Menjawab pertanyaan kuasa hukum pemohon ini, DR. Djoko Sukisno mengatakan di kenotariatan, kecakapan bertindak itu adalah faktor utama, baik bagi penghadap maupun saksi-saksi.
Penasehat hukum yang tergabung dalam Kantor Hukum Agus Mulyo and Partners ini meminta ahli untuk menjelaskan pengertian ketidakcakapan bertindak atau pengampuan. Menjawab pertanyaan ini, ahli mengatakan, ketidakcakapan bertindak atau pengampuan itu adalah istilah hukum. Di dalam perundang-undangan, DR. Djoko Sukisno mengaku belum pernah melihat adanya istilah ketidakcakapan bertindak.
“Dalam pasal 1330 KUH Perdata, perjanjian tidak boleh dibuat apabila ada orang sedang dibawah pengampuan. Jika kita bicara pengampuan, ada di pasal 433 dan pasal 466, banyak pendapat yang menyatakan apa yang dimaksud dengan ketidakcakapan terutama mengenai perjanjian,” ujar Djoko.
Ahli dibidang kenotariatan dan pertanahan ini kemudian mencontohkan pengertian ketidakcakapan menurut pendapat Prof. Sudikto Ontokusumo. Prof. Sudikto Ontokusumo mengatakan, ketidakcakapan itu adalah suatu keadaan orang yang sudah dewasa, yang sudah cakap bertindak namun dalam keadaan tertentu dinyatakan atau ditempatkan sama seperti orang yang belum dewasa dan tidak cakap bertindak.
“Jadi, intinya pengampuan itu terkendala dengan perwalian, sebagaimana terdapat dalam KUH Perdata. Perwalian ketidak dewasaan untuk anak yang memang dalam usia tertentu belum dewasa. Pengampuan untuk orang yang tidak cakap bertindak namun benar orang itu sudah dewasa,” papar Djoko.
Dan untuk masalah ini, sambung Djoko, dalam KUH Perdata diatur dalam buku I, di pasal 433 KUH Perdata dan 466 KUH Perdata. Lebih lanjut di pasal 433 KUH Perdata itu dinyatakan, orang yang dungu, sakit otak dan gelap mata ada di bawah pengampuan.
Maxi Sigarlaki, hakim PN Surabaya yang ditunjuk sebagai ketua majelis kemudian bertanya ke ahli bagaimana jika orang itu dewasa namun mempunyai ketidakcakapan untuk bertindak dalam keadaan dungu? Menjawab pertanyaan ini ahli mengatakan, di dalam buku I pasal 44, seseorang dinyatakan tidak cakap bertindak sejak orang itu diputuskan atau adanya putusan majelis hakim.
“Namun, hal ini diawali dengan adanya permohonan yang menyatakan bahwa orang itu tidak cakap bertindak. Lalu, siapa saja yang berhak untuk mengajukan permohonan untuk produk tidak cakap? Berdasarkan pasal 34 KUH Perdata dikatakan, keluarga sedarah, suami atau istri,” papar Djoko.
Hakim Maxi kemudian bertanya ke ahli untuk membuktikan bahwa orang ini tidak mampu dan dalam pengampuan atau tidak cakap bertindak, bagaimana? Djoko menjawab, formalnya orang itu harus dinyatakan dungu atau sakit otak. Namun, sebagai ahli Djoko tidak pernah melihat terkait dengan gelap mata atau pemboros, yang semua ini bertindak tanpa berfikir.
“Dalam pasal 33 ayat (1) dinyatakan, dungu, sakit otak dan gelap mata. Kalau dungu dan sakit otak bisa. Namun, kalau yang berkaitan dengan gelap mata, saya tidak pernah tahu. Kemudian di ayat (2) dinyatakan pemboros. Di sini saya pun belum pernah menemukannya,” tukas Djoko
Hakim Maxi kemudian bertanya, apakah orang yang mengajukan permohonan itu, formalnya dibutuhkan persyaratan spesifik? Ahli kemudian menjawab, jika dilihat dari hukum acara, ia tidak tahu. Jika mengacu pada UU yaitu pasal 33, Djoko menjawab hanya ditafsirkan saja.
Ketidakcakapan bertindak menurut ahli dapat diakhiri. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penetapan ketidakcakapan bertindak tersebut dapat dicabut, dibatalkan atau dinyatakan tidak berlaku kembali. Bagaimana menurut pendapat ahli?
Ahli kemudian berpendapat bahwa ketidakcakapan itu adalah keadaan sesuatu yang dapat diawali dan dapat diakhiri. Ahli bahkan berpendapat, ketidakcakapan itu ibarat sakit yang sebenarnya dapat disembuhkan.
“Ketidakcakapan itu dimungkinkan untuk disembuhkan, kecuali ada pernyataan bahwa ketidakcakapan itu permanen,” tandas Djoko
Lalu bagaimana dengan dicabutnya pernyataan ketidakcakapan bertindak tersebut, dimana dicabutnya pernyataan ketidakcakapan itu adalah produk pengadilan, untuk membatalkannya seperti apa?
Terkait dengan orang yang dinyatakan dungu atau sakit otak, kalau keadaannya tidak seperti semula, maka tidak tepat kalau orang itu tetap dinyatakan tidak cakap karena hal ini keadaan sementara kecuali ada pernyataan dari medis dan dokter independen bahwa orang itu mengalami dungu atau sakit otak permanen. Ini penafsiran DR. Djoko Sukisno sebagai ahli yang diungkapnya di muka persidangan
Mengenai sakit permanen, hakim Maxi kemudian mengambil contoh sakit yang menimpa Presiden Soeharto. Apakah sakit yang diderita Presiden Soeharto itu masih dalam lingkup perdata atau pidana? Ahli kemudian menjawab, jika masalah pengampuannya bisa dilihat di pasal 433, pasal 434, pasal 442 dan pasal 446 maka hal itu adalah perdata karena ada di buku I KUH Perdata. Kalau perbuatan pidananya bisa masuk ke pidana.
Guru Besar Ilmu Hukum UGM ini kemudian ditanya terkait dengan akibat dari ketidakcakapan setelah adanya penetapan dan ketidakcakapan sebelum adanya penetapan hakim. Terkait hal ini, mengenai ketidakmampuan atau ketidakcakapan seseorang itu timbul sesudah adanya penetapan, DR. Djoko Sukisno menjawab maka pertanggungjawabannya diambil alih orang yang mengajukan pengampuan. Namun, kalau sebelum adanya penetapan hakim, maka pertanggungjawabannya diwakili kurator jika orang itu menggunakan kurator
“Orang yang dibawah pengampuan, masalah pengampuannya bisa dicabut manakala orang itu sudah ada bukti. Namun, walaupun orang itu sudah sehat tapi tidak ada pencabutan maka dia masih tetap dibawah pengampuan,” beber ahli
Apakah ada ketentuan, bahwa ketidakcakapan bertindak itu dapat dicabut atau dibatalkan? Ahli menjawab tidak ada. Namun, dalam penafsirannya sebagai ahli, Djoko mengatakan hal itu bisa terjadi namun dalam keadaan tertentu.
Dalam ilmu hukum, orang yang tidak cakap itu adalah orang yang sakit karena tidak mampu berbuat apa-apa. Dalam bahasa hukum, orang ini sudah mengalami kematian keperdataan. Orang ini memang tidak mampu berbuat apa-apa. Untuk membeli permen saja orang ini tidak bisa.
Terkait masalah ketidakcakapan, ahli mengatakan bahwa ketidakcakapan itu disuatu hari nanti akan merugikan pihak ketiga manakala pihak ketiga akan meminta pertanggungjawaban pribadi pada orang itu. Jika pihak ketiga itu bisa membuktikan bahwa ia sudah dirugikan, maka pihak ketiga itu akan meminta pertanggungjawaban pribadi.
“Jangan sampai ketidakcakapan yang dialami seseorang itu dipakai untuk melindungi dirinya. Sebenarnya orang ini sudah cakap, tapi karena orang ini tahu akan berususan dengan pihak ketiga maka orang yang semula tidak cakap itu akan berpendapat untuk apa pernyataan ketidakcakapan itu dicabut,” ulas ahli.
Penjelasan ahli yang panjang lebar tentang pengampuan dan masalah ketidakmampuan seseorang dan siapa yang bisa mengajukan permohonan ketidakcakapan mendapat protes Dandang, kuasa hukum tergugat. Menurut Dadang, ahli ini seorang ahli kenotariatan dan pertanahan namun bicara panjang lebar tentang pengampuan. (pay)