SURABAYA (surabayaupdate) – Begitu derasnya tekanan psikologis yang dirasakan9( ke Ir. Klemens Sukarno Candra dan Budi Santoso, membuat Direktur Utama dan Komisaris Utama PT. Bumi Samudera Jedine yang menjadi terdakwa atas dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan uang para pembeli apartemen Royal Afatar World (RAW) ini “berontak”.
Sebagai bentuk pemberontakan kedua terdakwa karena dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab atas kegagalan pembangunan apartemen RAW, kedua terdakwa ini kemudian mengungkap banyak fakta dimuka persidangan. Selain itu, pada persidangan yang terbuka untuk umum yang digelar di ruang sidang Candra Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (1/11) ini juga diwarnai perdebatan sengit yang terjadi antara Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan tim penasehat hukum terdakwa.
Arifin Sahibu, salah satu penasehat hukum terdakwa langsung mengajukan keberatan. Apa yang membuat Arifin mengajukan intrupsi sebagai tanda keberatan? Menurut Arifin, pemeriksaan untuk kedua terdakwa itu sudah keluar dari jalur surat dakwaan.
“Pemeriksaan kali ini sudah tidak sesuai dengan surat dakwaan. Kami keberatan karena kedua klien kami ini diperiksa dan dijadikan terdakwa dengan korban 71 orang dengan nilai kerugian Rp. 12 miliar, bukan jumlah orang yang dirugikan sebanyak 1104,” ujar Arifin.
Terkait dengan pengembalian uang atau refund, terdakwa Budi Santoso menjelaskan bahwa dari sekian banyak nasabah, ada diantara mereka yang sudah dikembalikan uangnya. Ketika terdakwa Budi akan mengungkapkan hal ini, beberapa pembeli yang mengaku sebagai korban, langsung membuat kegaduhan di dalam ruang sidang.
Dihadapan majelis hakim, terdakwa Budi Santoso mengatakan, dari 1104 orang yang dirugikan, 350 orang mengaku sudah siap dipindahkan proyeknya. Berhubung terdakwa Budi dan terdakwa Ir. Klemens ditangkap polisi, yang menindaklanjuti tidak ada.
Bukan hanya itu, terdakwa Budi Santoso akhirnya membuka tabir yang selama ini tertutup rapat. Dihadapan majelis hakim, untuk kerugian 71 orang dengan nilai anggaran Rp. 12,5 miliar sebenarnya sudah dapat diatasi.
“Saya sempat ke Jakarta untuk menemui kawan saya dengan maksud mencari dana supaya uang pembeli dapat dikembalikan dan memfasilitasi supaya bisa ketemu dengan Kapolda, yang waktu itu mau menangkap kita,” jelas Budi.
Pada persidangan ini, terdakwa Budi juga menyampaikan bahwa ada orang yang tidak setuju dengan pembayaran ganti rugi yang sebenarnya hanya Rp. 12,5 miliar. Dari informasi yang diterima Budi dari salah satu temannya, akhirnya diketahui bahwa Budi dan Klemens harus menyediakan uang ganti rugi sebesar Rp. 162 miliar dalam waktu dua hari.
Budi kemudian mengambil contoh adanya laporan polisi yang dibuat Siti Nurbaya melalui Agus Sadono. Laporan polisi itu nomor : LBP/009/I/2018/UM/JATIM tanggal 4 Januari 2018. Dalam laporannya tersebut, pelapor menyebutkan pemesan unit apartemen Royal Afatar World E1623, sesuai surat pesanan No. 2746/SP-TAW/E1623/I/2015, tanggal 20 Februari 2015.
Karena sudah melakukan refund sebesar 342.365.661,- kepada pihak pelapor, penyidik kemudian menerbitkannya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) No: S.Tap/59/III/RES.1.11/2018/Ditreskrimum tanggal 29 Maret 2018.
“Total kerugian Rp. 12,5 miliar. Ada yang mau mendanai untuk membayar kerugian Rp. 12,5 miliar itu. Namun saya dipaksa untuk menyediakan dana sebesar Rp. 162 miliar dalam waktu dua hari. Jika hal itu tidak bisa saya lakukan maka saya akan ditangkap,” ungkap Budi.
Begitu ditangkap, lanjut Budi, dilakukan banyak hal. Bahkan pada waktu di tahanan, kita dipanggil, suruh jual aset PT. Bumi Samudera Jedine dengan harga Rp. 150 miliar. Menurut Budi, harga Rp. 150 miliar ini sangatlah murah. Kalaupun mau menjual, Budi akan melepasnya dengan harga Rp. 200 miliar. Selain itu, Budi juga diharuskan tambah aset. Semua ini ada buktinya.
Kepada majelis hakim, Budi sempat berkeluh kesah, bangaimana menderitanya dirinya yang diisolasi selama tujuh bulan di tahanan Mapolda Jatim. Untuk melakukan apa-apa dan minta pindah ke Rutan Medaeng pun tidak bisa. Konyolnya lagi, kedua terdakwa ini juga dipersulit jika ingin bertemu dengan pengacaranya di tahanan Polda Jatim.
Hingga saat ini, Budi masih berfikir keras, bagaimana aset yang jumlahnya ratusan miliar ini bisa dijadikan jaminan atas utang-utang perusahaan ke customer. Jika aset itu dapat dijual, anggarannya masih cukup banyak untuk membayar hutang-hutang perusahaan ke pembeli apartemen.
Usai persidangan, Arifin Sahibu juga mengatakan, bahwa terkait dana penjualan apartemen yang dihimpun dari pembeli, banyak diantaranya yang masuk ke orang lain dan hal itu dilakukan Yudi Hartanto, antara lain mengalir kepada Tee Teguh Kinarto dan Widjijono (PT. Solid Gold Prima) sebesar Rp. 60 milyar, Widjijono Nurhadi sebesar Rp. 20,2 milyar, Nurhadi Sunyoto sebesar Rp. 10,38 milyar, Harikono Soebagyo sebesar Rp. 41,140 milyar Miftahur Royan (LDII) sebesar Rp. 31,1 milyar. (pay)