“Kami orang Papua Pak. Kami sudah beri hati. Namun disini, saya diperlakukan tidak adil. Sekarang, saya menuntut keadilan….”
Inilah petikan kata yang diucapkan La Sandri Letsoin, seorang penagih utang yang mendapat perlakuan tidak adil selama proses pemidanaan dirinya.
Pria yang akrab dipanggil Andre ini, selain mengungkapkan rasa kecewanya karena perlakuan tidak adil dalam proses pemidanaannya, juga menumpahkan kekesalan dan rasa sedihnya.
Sebagai seorang suami, pria yang tinggal di Bogor ini akhirnya mendapat kabar duka bahwa wanita yang sangat ia cintai, yaitu istri tercintanya, telah berpulang untuk selama-lamanya.
Yang membuat Andre sedih, kabar meninggalnya Dra. Sri Iriani, S.Akt., MM tersebut ia dengar setelah sang istri meninggal sudah 40 hari.
Bagaimana kisah pilu yang dirasakan La Sandri Letsoin itu, termasuk perlakuan tidak adil yang ia rasakan selama dipenjara mulai dari tahanan Polrestabes Surabaya hingga dikirim ke Rutan Kelas I-A Medaeng? Berikut kisah La Sandri Letsoin selengkapnya yang diceritakan sebelum sidang pembacaan nota pembelaan atau pledoi di ruang sidang Tirta 2 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (20/8/2024).
La Sandri Letsoin adalah seorang penagih utang. Ia tinggal di Bogor. Datang ke Surabaya untuk mencari keberadaan Farida, Direktur sekaligus pemilik PT. Jabbaru Eletrodaya Telematika yang beralamat di Jalan Gayung Kebonsari V/7 Surabaya.
Bersama dengan Andre, Immanuel, Nikson, Frans, La Sandri Letsoin datang ke Surabaya untuk meminta pertanggung jawaban pembayaran atas proyek di Papua yang sudah dilakukan Ruben, warga Papua yang mengerjakan proyek PT. Jabbaru Elektrodaya Telematika di Papua.
Proyek yang dikerjakan Ruben ini nilainya Rp. 66 miliar. Begitu selesai dikerjakan, perusahaan milik Ruben tak kunjung menerima pembayaran dari PT. Jabbaru Elektrodaya Telematika, pun tidak dari Farida selaku Direktur di perusahaan itu.
Karena tidak dibayar, pihak Ruben kemudian melaporkan kejadian tersebut ke kepolisian setempat, mulai dari Polsek Papua hingga ke Polres Sorong.
Saat dilaporkan ke kepolisian setempat, Farida akhirnya bersedia menunaikan kewajibannya. Namun, pembayaran atas proyek yang telah dikerjakan Ruben ini tidak langsung dibayar lunas. PT. Jabbaru Elektrodaya Telematika mencicil biaya pengerjaan proyek senilai Rp. 66 miliar tersebut secara bertahap, hingga akhirnya utang PT. Jabbaru Eletrodaya Telematika tinggal Rp. 7,932 miliar.
Namun, sisa hutang yang tinggal Rp. 7,932 miliar tersebut tidak langsung dilunasi Farida selaku pemilik dan Direktur di PT. Jabbaru Elektrodaya Telematika. Farida lebih memilih menghindar dan tidak mau melanjutkan kewajibannya untuk melunasi hutang-hutangnya tersebut.
“Sejak tahun 2001, Farida mulai menghilang dan sulit sekali dihubungi. Pembayaran sisa hutang tidak pernah Farida lakukan,” cerita La Sandri Letsoin saat ditemui di PN Surabaya, beberapa menit sebelum dihadirkan dimuka persidangan.
Karena menghilang dan sangat sulit dihubungi, lanjut La Sandri Letsoin, proses pencarian pun dilakukan. Ruben yang masih keluarga dekat, kemudian meminta bantuan untuk mencari Farida.
Berdasarkan informasi yang diperoleh La Sandri Letsoin akhirnya diketahui bahwa Farida berada di Surabaya dan ada di Jalan Gayung Kebonsari Surabaya. La Sandri Letsoin dan empat orang penagih hutang kemudian berangkat ke Surabaya untuk mencari Farida.
Setelah melakukan pengamatan dan memastikan bahwa benar Farida berada di Jalan Gayung Kebonsari V Surabaya, La Sandri Letsoin dan empat orang tim penagihan, kemudian berkoordinasi dengan kepolisian Polsek Gayungan Surabaya. Tim yang dipimpin La Sandri Letsoin ini meminta petunjuk polisi termasuk Kapolsek Gayungan yang saat itu dijabat Kompol Trie Sis Biantoro, S.Pd., S.I.K., M.H.
Dalam ceritanya, La Sandri Letsoin juga mengatakan, kepada pihak kepolisian Polsek Gayungan, tim penagihan ini minta didampingi polisi untuk mendatangi kantor PT. Jabbaru Elektrodaya Telematika yang beralamat di Jalan Gayung Kebonsari V/7 Surabaya. Akhirnya, ada empat orang polisi ikut dengan tim penagihan, datang ke kantor PT. Jabbaru Elektrodaya Telematika.
Ketika tim penagihan sampai ke kantor PT. Jabbaru Elektrodaya Telematika bersama dengan empat orang polisi, kedatangan La Sandri Letsoin dan polisi ini diketahui Farida yang hendak masuk ke mobil Mitsubishi Expander Ultimate yang siap membawanya pergi.
Namun, niat Farida untuk meninggalkan kantornya itu diurungkan. Farida memilih masuk ke kantornya.
Melihat hal itu, La Sandri Letsoin kemudian menghampiri driver mobil tersebut. Kepada sopir Farida itu, La Sandri Letsoin meminta supaya memanggilkan Farida untuk menemuinya karena ada hal yang perlu dibicarakan terkait pembayaran utang PT. Jabbaru Elektrodaya Telematika yang belum diselesaikan.
“Namun, Farida tak mau menemui kami. Lama ditunggu akhirnya kami memutuskan untuk mengambil mobil Mitsubishi Expander Ultimate milik Farida yang hendak dipakai keluar tersebut,” jelas La Sandri Letsoin.
Kepada driver mobil itu, lanjut La Sandri Letsoin, kami meminta supaya kunci mobil diserahkan karena mobil akan dijadikan jaminan pembayaran utang yang belum diselesaikan.
Masih menurut cerita La Sandri, proses negosiasi meminta kunci mobil dari driver Farida itu juga disaksikan beberapa polisi Polsek Gayungan termasuk Kapolsek Gayungan Kompol Trie Sis Biantoro, S.Pd., S.I.K., M.H.
“Kepada driver, kami juga mengatakan, jika Farida ingin mengambil mobilnya, bisa mendatangi Polsek Gayungan dengan menyelesaikan pembayaran utang,” kata La Sandri Letsoin.
Mobil pun dibawa tim penagihan ke Polsek Gayungan. Sesampainya di polsek, masih cerita La Sandri, Kapolsek Gayungan masih berusaha menghubungi Farida melalui ponsel.
“Pak Trie ingin membantu menyelesaikan perkara ini secara damai dan kekeluargaan. Namun, panggilan telepon pak Kapolsek ini tidak direspon Farida,” ungkap La Sandri Letsoin.
Karena tidak mendapat kepastian dari Farida, lanjut La Sandri, atas petunjuk Kapolsek Gayungan, mobil Mitsubishi Expander Ultimate itu diserahkan ke tim penagihan.
“Namun Kapolsek berpesan, nanti suatu saat ketika mobil ini diperlukan, tim harus bisa menghadirkannya. Kami pun menyetujui permintaan Kapolsek Gayungan dan membawa mobil itu,” ujar La Sandri Letsoin.
Oleh La Sandri, mobil kemudian dibawa dan dipakai selama dua hari ke Bogor karena waktu itu Lebaran.
Meski mobil dibawa tim penagihan, La Sandri melanjutkan, proses negosiasi untuk memediasi kasus pembayaran utang itu terjadi hingga beberapa kali. Bahkan sampai dua bulan lamanya namun tak menemukan jalan penyelesaian. Dan ketika proses mediasi terjadi, mobil tetap didatangkan dan dihadirkan tim penagihan.
La Sandri Letsoin juga bercerita, saat proses negosiasi tidak menemukan penyelesaian, dirinya pernah diminta untuk bertemu dengan Farida, pengacaranya dan paman Farida di Hotel Alana Surabaya.
Dihotel itu, La Sandri mengaku, Farida berusaha menego dirinya secara pribadi untuk tidak melanjutkan masalah pembayaran utang ini. Bahkan, Farida memberikan kompensasi uang jika La Sandri Letsoin bersedia tidak melanjutkan kasus ini.
“Namun, tawaran Farida, pengacara dan pamannya itu saya tolak. Kepada Farida, saya bersikukuh, urusan pembayaran utang harus tetap dilakukan, walaupun dengan cara dicicil,” papar La Sandri.
Saat negosiasi untuk menyuap La Sandri Letsoin ini direkam La Sandri Letsoin. Dan rekaman itu masih ada.
Karena tidak menemukan penyelesaian, kasus ini jadi menggantung. Namun tiba-tiba, tanggal 8 Mei 2024, beberapa polisi yang mengaku dari Unit Resmob Polrestabes Surabaya mendatangi rumah La Sandri Letsoin di Bogor.
Begitu datang kerumah La Sandri, polisi kemudian masuk ke rumah dan menuju lantai dua rumah La Sandri. Polisi kemudian membawa paksa La Sandri dari rumahnya sekitar pukul 02.00 Wib.
Saat penangkapan dirinya, La Sandri Letsoin mengatakan, ia tidak ditunjukkan surat penangkapan. Dan yang membuat La Sandri bersedih, ia tidak diijinkan polisi untuk berpamitan dengan sang istri yang ketika itu baru keluar dari opname di rumah sakit tiga hari yang lalu.
Begitu tiba di Polrestabes Surabaya, La Sandri kembali bercerita, ia langsung dimasukkan ke ruang penyidik kemudian diperlihatkan berkas Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang sangat tebal.
“Salah satu penyidik Resmob yang dipanggil Pak Jangkung kemudian memaksa saya untuk menandatangani BAP yang sudah jadi itu. Tentu saja saya menolak,” papar La Sandri.
Dan kepada penyidik, sambung La Sandri, saya minta untuk didampingi pengacara mengingat ancaman hukumannya diatas lima tahun. Namun permintaan itu langsung ditolak penyidik.
La Sandri kembali bercerita, jika ia menolak untuk menandatangani BAP, maka dirinya akan dibuat susah selama ditahan di tahanan Polrestabes Surabaya.
Karena merasa belum pernah diperiksa dan di-BAP, La Sandri Letsoin memutuskan untuk tidak menandatangi BAP tersebut.
Benar saja. Saat La Sandri dijebloskan ke tahanan Polrestabes Surabaya, ia tidak mendapatkan fasilitas apapun.
“Semua tahanan di Polrestabes Surabaya mendapat fasilitas seperti menggunakan HP untuk menghubungi pihak keluarga. Dan, para tahanan itu juga bebas untuk belanja, sedangkan saya tidak. Saya tidak diperbolehkan menggunakan HP untuk menghubungi pihak keluarga,” tutur La Sandri.
La Sandri juga mengatakan, ada beberapa alasan ia tidak mau menandatangani BAP. Yang paling La Sandri ingat adalah isi daripada salah satu pernyataan yang sudah tertuang di BAP tersebut.
“Saya waktu disodori BAP sempat membaca sebuah halaman BAP yang menerangkan bahwa kedatangannya ke kantor PT. Jabbaru Elektrodaya Telematika tersebut untuk mencuri mobil. Dan jawaban saya di BAP itu adalah ya,” papar La Sandri.
La Sandri Letsoin kembali menerangkan, selama ditahan di blok F Polrestabes Surabaya, ia tidak pernah dikunjungi penyidik. Ia juga tidak pernah dibon untuk dilakukan pemeriksaan.
Yang membuat La Sandri Letsoin semakin terheran-heran, bahwa berkas perkaranya sudah dinyatakan P21. La Sandri pun dipaksa untuk menandatangani BAP itu.
Meski awalnya menolak, La Sandri tidak bisa berbuat apa-apa karena dibawah tekanan. Segala argumen telah disampaikan ke penyidik, namun tak dihiraukan. Penyidik hanya mengatakan, supaya La Sandri menurut saja.
Kali ini, raut wajah La Sandri terlihat sangat sedih. Matanya mulai berkaca-kaca. Suaranya langsung berubah parau saat ini menceritakan tentang kematian istri tercintanya yang tidak diketahuinya.
Dengan ekspresi wajah sedih yang sangat mendalam, La Sandri Letsoin kembali menceritakan kisah pilunya ini.
Tanggal 20 Juli 2024 adalah hari ulangtahunnya. Entah mengapa, ia tiba-tiba teringat dengan istri tercintanya. La Sandri kemudian meminta tolong pengacaranya untuk mengambil ponsel miliknya yang ada di penyidik.
Begitu ponsel diaktifkan, tiba-tiba didalam notifikasi pesan terlihat tulisan Innalillahiwainnailaihirojiun. La Sandri Letsoin bergegas membuka pesan itu. Dari pesan itulah akhirnya diketahui jika istri tercintanya telah meninggal dunia.
“Hari itu adalah hari kebahagiaan untuk saya karena saya berulang tahun. Namun, kebahagiaan itu berubah jadi kesedihan dengan adanya kabar duka tersebut,” kata La Sandri.
La Sandri hanya bisa bersabar dan merasakan kesedihan. Ketika ia dipindahkan penahanannya dari tahanan Polrestabes Surabaya ke Rutan Medaeng, ia mendapat kabar istri tercintanya telah meninggalkannya untuk selama-lamanya dan kepergian sang istri itu sudah 40 hari lamanya.
Kini, yang bisa La Sandri Letsoin lakukan hanya kemurahan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkaranya ini. Kepada majelis hakim, La Sandri Letsoin menaruh harapan ada keadilan untuk dirinya.
Namun, La Sandri pesimis hakim akan bertindak adil kepada dirinya. Selama persidangan, hakim sudah menunjukkan gelat tidak adil.
Upaya La Sandri Letsoin untuk membela diri dan membuktikan bahwa ia tidak bersalah, bahwa ia telah dikriminalisasi dan bahwa proses pemidanaan terhadap dirinya sangat tidak adil, begitu juga usahanya untuk membela diri bahwa mobil Mitsubishi Expander Ultimate yang ia bawa dari kantor PT. Jabbaru Elektrodaya Telematika bukanlah mobil curian melainkan sebagai jaminan pembayaran utang-utang Farida yang belum diselesaikan, tidak ditanggapi majelis hakim.
Didalam persidangan, majelis hakim bahkan menolak permintaan La Sandri Letsoin supaya rekaman CCTV dikantor PT. Jabbaru Elektrodaya Telematika diputar dipersidangan.
“Kami orang Papua. Kami sudah beri hati dan sudah bersikap baik kepada Farida, namun saya dan empat rekan saya malah dikriminalisasi. Semua proses pemidanaan kami termasuk penetapan DPO untuk empat teman saya, penuh rekayasa dan tidak rasional,” tegas La Sandri.
Farida, lanjut La Sandri, seharusnya dapat kooperatif dan mengakui semua kesalahannya. Dari semua pembayaran cicilan utang yang sudah dilakukan Farida, selalu mendapat potongan harga.
“Sebagai contoh. Ketika ada tagihan yang harus dibayarkan sebesar Rp. 6,4 miliar, Farida mengatakan bahwa ia hanya sanggup membayar Rp. 6 miliar. Karena iba, Pak Ruben kemudian menghapus nominal Rp. 400 juta. Farida diperbolehkan membayar utangnya hanya Rp. 6 miliar,” sebut La Sandri.
La Sandri juga tak akan melupakan bagaimana seorang polisi dari Polsek Gayungan yang ikut ke kantor PT. Jabbaru Elektrodaya Telematika waktu itu. Polisi yang akhirnya dijadikan saksi dipersidangan tersebut kemudian bersaksi bahwa proses meminta kunci mobil Expander Ultimate milik Farida kala itu, tidak menggunakan kekerasan, tidak dirampas. Kunci itu diserahkan secara sukarela dan disaksikan pengacara PT. Jabbaru Elektrodaya Telematika.
Sebagai orang yang telah direkayasa proses hukumnya, dan dikriminalisasi, La Sandri Letsoin masih menaruh harapan, ada keadilan untuk dirinya. Majelis hakim akan terketuk hatinya dan membebaskan dirinya dari dakwaan dan tuntutan JPU yang mendakwanya dengan pasal pencurian disertai dengan kekerasan sebagaimana dijelaskan dalam pasal 365 KUHP. (pay)