SURABAYA (surabayaupdate) – Terjerat kasus dugaan tindak pidana penipuan, seorang ayah disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya. Dalam waktu dekat, anak kandungnya bakal mengalami nasib yang sama, diajukan ke persidangan atas perkara dugaan penipuan bernilai miliaran rupiah.
Untuk melihat dan memantau jalannya persidangan, beberapa orang yang menjadi korban tersebut, mendatangi PN Surabaya, Kamis (2/6). Namun sayang, persidangan itu tidak jadi dilaksanakan karena terdakwa mengaku sakit dan tidak sanggup untuk menjalani persidangan itu.
Kekecewaan itu dirasakan Farouk, warga Bondowoso yang mengaku menjadi korban penipuan Helito Tjongro alias Abraham (50) warga Surabaya yang menjadi terdakwa dalam dugaan tindak pidana penipuan.
Farouk yang sudah mendatangi PN Surabaya sejak pagi, hanya bisa memendam kekecewaannya begitu mengetahui majelis hakim menunda persidangan yang seharusnya mengagendakan pembacaan dakwaan di ruang sidang Garuda PN Surabaya, Kamis (2/6). Pada persidangan ini, Ferdinandus yang menjadi ketua majelis terpaksa menunda persidangan karena mendapat laporan terdakwa mendadak sakit.
Ditundanya persidangan ini mendapat tanggapan dari Farouk. Bersama dengan beberapa orang yang ikut menjadi korban penipuan terdakwa Helito Tjongro alias Abraham, Farouk meminta kepada majelis hakim yang memeriksa dan menyidangkan perkara ini supaya lebih obyektif, adil dan bijaksana dalam menjalankan persidangan ini.
“Saya memohon kepada hakim yang menyidangkan perkara ini supaya bertindak adil dan bijaksana. Kami juga memohon supaya hakim bersikap netral dan pada akhirnya dapat memberikan hukuman yang setimpal untuk terdakwa Helito alias Abraham ini, “ ujar Farouk.
Terdakwa ini, lanjut Farouk, sudah merugikan banyak orang. Ketika penyidik Kepolisian Polda Jatim melakukan penahanan, jaksa penuntut dari Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim malah mengalihkan status penahanannya menjadi tahanan kota. Mengapa bisa begitu?
“Kami mohon kepada hakim supaya bertindak tegas dan jujur. Jangan sampai berpihak kepada penipu nasional ini. Saya melihat dimana-mana, penipu kelas kecil yang jumlahnya satu koma sekian miliar, hukumannya luar biasa. Lha kok si Abraham ini ditahan menjadi tahanan kota, “ pungkas Farouk.
Usai menyampaikan keluh kesahnya, Farouk kemudian menceritakan bagaimana awalnya hingga akhirnya ia tertipu hingga Rp. 3,4 miliar. Hal ini berawal dari keinginannya untuk membangun mall, waterboom dan hotel diatas lahan miliknya sangat luas. Pada saat itu, Farouk sudah mengantongi ijin. Yang menjadi kendala adalah pendanaan yang tidak cukup besar untuk membangun mega proyek di Bondowoso tersebut.
Melalui seorang temannya, Farouk kemudian dikenalkan dengan terdakwa Helito Tjongro. Kepada semua orang, terdakwa Helito mengaku sebagai pemilik puluhan perusahaan property yang sangat dekat dengan Presiden Joko Widodo. Untuk menunjukkan kedekatannya dengan Presiden Joko Widodo dan para pejabat negara yang lain, terdakwa menunjukkan sebuah foto bersama dengan Presiden Joko Widodo dan para pejabat negara itu.
Selain itu, terdakwa Helito juga mengaku sebagai pendana untuk pembangunan Bandara Juanda 2, yang saat itu melakukan BOT dengan Angkasa Pura. Supaya Farouk dan beberapa orang lainnya menjadi yakin, terdakwa kemudian menunjukkan Memorandum of Understanding (MoU) yang ia tanda tangani untuk pembangunan Bandara Juanda 2.
Begitu yakin dengan penampilan terdakwa, Farouk kemudian memasukkan terdakwa Helito ke susunan pengurus PT. Gumuk Mas milik Farouk. Di perusahaan ini, terdakwa Helito menjabat sebagai Direktur Utama sedangkan Farouk menjadi Direktur. Adapun pembagian yang disepakati adalah 30 untuk terdakwa Helito dan 70 untuk Farouk.
Kepada Farouk, terdakwa Helito mengatakan, untuk pembangunan mall, waterboom dan hotel di Bondowoso itu membutuhkan anggaran antara Rp. 150 miliar hingga Rp. 600 miliar. Tanggal 9 Desember 2014, Farouk mengaku dipanggil terdakwa Helito di salah satu hotel di Batu. Disana terdakwa mengaku bahwa kondisi keuangannya sedang ada masalah, untuk itu harus meminjam dana ke bank.
Mendengar penjelasan itu, Farouk tidak mau. Namun, terdakwa Helito mengatakan yang akan berurusan dengan bank termasuk masalah pembayarannya adalah dia sendiri karena pinjaman itu menjadi tanggungjawabnya. Namun, terdakwa mengaku untuk bisa mendapat pinjaman senilai Rp. 150 miliar itu, harus ada biaya administrasi sebesar Rp. 5 miliar. Karena tidak punya uang sebanyak itu, Farouk kemudian menawarkan Rp. 3,4 miliar. Akhirnya tawaran itu disetujui terdakwa dan terdakwa kemudian diberi selembar cek yang isinya Rp. 3,4 miliar.
Karena cek itu belum mendapat pengesahan dari Farouk sehingga tidak bisa dicairkan, terdakwa Helito kemudian menghubungi Farouk tanggal 11 Desember 2014. Saat itu, terdakwa mengatakan jika dana pinjaman dari bank itu bisa dicairkan tanggal 12 Desember 2014, namun uang administrasinya harus segera diserahkan.
Termakan bujuk rayu terdakwa, Farouk kemudian membawa notaris untuk mengesahkan cek senilai Rp. 3,4 miliar itu. Begitu cek bisa dicairkan terdakwa, pinjaman dari bank yang dijanjikan tidak juga terlaksana. Terdakwa pun berusaha memberikan alasan mengapa dana itu tidak bisa dicairkan. Menurut terdakwa, dana pinjaman sebesar Rp. 150 miliar ini tidak bisa dicairkan karena ada pergantian direksi di bank tersebut.
Usai memberikan alasan tentang dana pinjaman yang tidak bisa dicairkan, terdakwa yang awalnya sering muncul di Bondowoso, tiba-tiba tidak pernah muncul. Terdakwa sulit dihubungi. Melihat gelagat terdakwa yang tidak baik itu, Farouk kemudian melaporkan kasus ini ke Polda Jatim. (pay)