SURABAYA (surabayaupdate) – Persidangan praperadilan yang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Kamis (8/10) berlangsung sedikit tegang. Selain diwarnai perdebatan kecil, pemohon praperadilan pertanyakan kredibilitas dan kritisi kualitas dua saksi ahli yang dihadirkan.
Memasuki hari ketiga sidang gugatan praperadilan yang berlangsung di PN Surabaya berlangsung cukup seru dan diwarnai sedikit perdebatan. Pada persidangan yang dipimpin hakim Maxi Sigarlaki, SH dan digelar di ruang sidang Sari 2 ini, pemohon praperadilan bereaksi sedikit lebih keras mengetahui kehadiran dua orang saksi yang didatangkan Kapolrestabes Surabaya sebagai termohon praperadilan.
Dua orang saksi ahli yang dihadirkan termohon praperadilan itu adalah Andi Yulianto, SS, Msi, seorang ahli bahasa dari Universitas Surabaya (Unesa) dan Riza Alfianto Kurniawan, SH, MTCP.
Sebagai pemohon praperadilan atau principal dan advokat yang menghadapai persidangan praperadilan, Dr. Ir. Yudi Wibowo Sukinto, SH, MH langsung bereaksi ketika Andi Yulianto usai bersaksi di muka persidangan.
Lebih lanjut Yudi mengatakan, persidangan yang digelar kali ini materinya tentang pencemaran nama baik. Apabila termohon menghadirkan saksi ahli bahasa dalam persidangan ini, hal itu tidak ada korelasinya, karena tidak bisa membuktikan atau menjelaskan tentang apa itu pencemaran nama baik.
Protes keras juga diperlihatkan Yudi Wibowo Sukinto terhadap Riza Alfianto Kurniawan, ahli hukum pidana yang juga dosen tetap Universitas Airlangga (Unair) Surabaya. Usai diminta memaparkan profilnya sebagai seorang ahli, Yudi Wibowo Sukinto mempertanyakan kredibilitas Riza sebagai seorang ahli pidana.
Apa yang membuat Riza begitu diragukan status ahli pidananya? Yudi mengatakan, berdasarkan pasal 23 angka (2) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, seorang ahli itu seharusnya bergelar doktor.
“Berdasarkan profil anda yang tertera di website Unair, anda ini belum doktor ya. Jika mengacu pada pasal 23 angka (2) Undang-Undang nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, anda seharusnya belum bisa dikategorikan sebagai seorang ahli, “ ujar Yudi.
Selain belum bergelar doktor, Yudi pun tidak setuju dengan kehadiran Riza. Mengapa? Berdasarkan data yang dimiliki pemohon praperadilan ini, dosen Ilmu Hukum Pidana di Unair sejak 2006 hingga sekarang ini, Riza belum pernah melakukan penelitian tentang pencemaran nama baik.
“Undang-Undang yang mengatur tentang ahli tersebut tidak bisa diganggu gugat. Mengapa? Undang-Undang itu mempunyai asas yaitu Lex Dura Sed Tamen Scripta yang artinya undang-undang bersifat memaksa dan tidak bisa diganggu gugat, “ paparnya.
Masih menurut Yudi, kalau diterjemahkan lagi, maka asas Lex Dura Sed Tamen Scripta ini tidak bisa dianalogikan. Apabila hal ini diuraikan lagi dengan meminta tanggapan seorang ahli bahasa, ini sama halnya dengan menggugat undang-undang, “ ujar Yudi.
Menanggapi kritikan Yudi yang menyangkut seorang ahli haruslah bergelar doktor, Riza mengatakan bahwa berdasarkan sumber-sumber hukum, seseorang itu bisa dikatakan ahli apabila ada pendapat sarjana, bukan pendapat doktor.
Kemudian, terkait tentang penelitian pencemaran nama baik yang tidak pernah dilakukannya, Riza berpendapat bahwa, hal itu ada di Tri Darma Perguruan Tinggi dimana di Tri Darma Perguruan Tinggi tersebut tegas disebutkan, salah satu syarat kompetensi seseorang menjadi seorang ahli adalah ia pernah melakukan penelitian, walaupun penelitian yang ia lakukan adalah dalam hal hukum pidana. (pay)