SURABAYA (surabayaupdate) – Tak juga mengeluarkan penetapan untuk memanggil saksi yang ada dalam Berita Acara Penetapan (BAP), tiga hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY).
Tiga orang hakim ini adalah hakim PN Surabaya yang mendapat tugas sebagai majelis hakim untuk memeriksa dan memutus perkara dugaan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan yang menjadikan Christian Halim sebagai terdakwa.
Pelaporan ke KY itu dilakukan dua orang penasehat hukum terdakwa Christian Halim, Jaka Maulana dan Natalia Manafe, Senin (29/3/2021).
Lebih lanjut Jaka Maulana menjelaskan, Christian Halim harus melaporkan majelis hakim yang menyidangkan perkaranya ini ke KY, karena majelis hakim tersebut tidak juga mengeluarkan penetapan untuk memanggil Mohammad Gentha ke persidangan, guna didengar kembali kesaksiannya.
“Padahal, dalam persidangan sebelumnya, berdasarkan keputusan ketua majelis hakim sebelumnya, Tumpal Sagala memberikan perintah pada JPU untuk mendatangkan Gentha,”ujar Jaka, Senin (12/4/2021).
Oleh karena itu, lanjut Jaka, pada persidangan dengan majelis hakim yang baru ini, kita ingin Gentha dihadirkan kembali, menindaklanjuti perintah yang sudah dikeluarkan ketua majelis sebelumnya.
“I Made Purnami sebagai ketua majelis yang baru, malah tidak mau memanggil Gentha. Lucunya lagi, ketua majelis yang baru ini malah menyerahkan pemanggilan Gentha ke kuasa hukum terdakwa,” papar Jaka.
Masih menurut advokat yang tergabung dalam LQ Indonesia Law Firm ini, secara formal, kewajiban jaksa untuk memanggil saksi ke persidangan.
“Kalau penasihat hukum terdakwa disuruh panggil saksi BAP, kenapa tidak sekalian saja Penasehat Hukum (PH) juga yang bikin tuntutannya,” sindir Jaka.
Dengan adanya hal itu, lanjut Jaka, menjadi dasar bagi terdakwa Christian Halim melalui penasehat hukumnya, untuk melapor ke KY atas dugaan adanya pelanggaran kode etik yang sudah dilakukan majelis hakim, khususnya ketua majelisnya.
Jaka juga menambahkan, apa yang sudah menjadi hak terdakwa, haruslah diberikan, apalagi hal pemanggilan ulang saksi Mohammad Gentha tersebut, sebenarnya sudah diakomodir majelis hakim yang sebelumnya.
“Secara formal pun, pemanggilan saksi bisa kembali dilakukan berdasarkan permintaan penasehat hukum. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 160 KUHAP,” ungkap Jaka, Senin (12/4/2021).
Lalu, seberapa pentingkah kehadiran kedua Mohammad Gentha di persidangan perkara ini? Jaka menandaskan, bahwa dari keterangan Gentha-lah kita bisa mendapatkan gambaran yang jelas dan terang soal perkara ini.
Hal lain yang membuat tim penasehat hukum terdakwa ingin Mohammad Gentha dihadirkan kembali adalah adanya keterangan beberapa saksi yang sudah didatangkan dan didengar kesaksiannya, tidak bersesuaian satu dengan yang lain.
“Ada juga fakta yang terungkap di persidangan, bahwa Gentha ini bukan pemilik IUP. Padahal keseluruhan cerita ini kan Cristian bekerja untuk pemilik IUP,” kata Jaka.
Gimana ceritanya, sambung Jaka, kalo orang yang membuat perjanjian ini, ternyata bukan pemilik, kalo faktanya ternyata dia baru menjadi pemilik setelah Cristian diberhentikan pada Februari 2020.
“Surat dakwaan sebagai akta otentik, haruslah disusun berdasarkan fakta, yang kemudian fakta-fakta itu diuji di muka persidangan. Makanya menjadi sangat penting untuk penuntut umum bersikap teliti dan cermat,” jelasnya.
Jaka juga mempertanyakan surat dakwaan yang disusun Jaksa Penuntut Umum (JPU), bagaimana bisa dakwaan disusun berdasarkan kebohongan yang diselundupkan.
“Ini kan artinya jaksa sendiri tidak cermat dan tidak teliti dalam memeriksa perkara ini. Buat apa kita capek-capek sidang untuk mengejar kebenaran materiil kalo sedari awal sudah didasarkan pada kepalsuan.” ujar Jaka.
Saat perjanjian dibuat, tambah Jaka, nama Gentha ini tidak ada di dalam akta PT Trinusa Dharma Utama, bahkan setelah diteliti ulang, akta pendirian PT CIM dengan tanggal perjanjian kerjasama yang dijadikan salah satu bukti di dalam perjanjian ini dibuat pada hari dan tanggal yang sama.
“Bagaimana bisa dia berada di dua tempat yang berbeda pada hari yang sama? Satu di Malang, satu di Surabaya. Padahal, berdasarkan keterangan saksi, proses penyusunan perjanjian di Pakuwon itu dimulai siang sampai malam. Terus siapa yang tandatangan akta di Malang?” tanya Jaka penuh keheranan.
Terlebih lagi, sambung Jaka, selama ini, Gentha memgaku sebagai pemilik IUP, dan keterangan itu dibenarkan saksi-saksi lain.
“Saat kita cek profil perusahannya di Ditjen AHU, tidak ada nama Gentha tercantun pada saat perjanjian itu dibuat. Jadi pengakuan sebagai pemilik IUP itu dasarnya dari mana?,” tanya Jaka untuk kedua kalinya.
Makanya, lanjut Jaka, inilah kenapa, tim penasehat hukum terdakwa Christian Halim merasa perlu menghadirkan Gentha kembali.
Cukup jaksa aja yang jadi korban martabat palsunya Gentha. Kalau tidak boleh dibilang sengaja, tapi majelis hakim harus tahu fakta sebenarnya, biar persidangan ini bisa sama-sama mendapatkan penjelasan soal apa dasarnya dia meminta jaminan tambang untuk pemilik IUP padahal dia bukan pemilik IUP.
Sementara Humas PN Surabaya Martin Ginting saat dikonfirmasi terkait laporan ini menyatakan pihaknya sudah bertanya kepada majelis hakim yang menyidangkan tentang saksi yang dimaksud, dan ternyata sudah pernah dihadirkan Jaksa dan telah didengar keterangannya dibawah sumpah.
“ Nah, kalau diminta dihadirkan lagi, sudah diminta kepada JPU tapi tidak berhasil dihadirkan kembali. Kalau pengacara mau menghadirkan kembali, kan tidak dilarang. Jaksa sudah merasa cukup keterangan saksi tersebut,” ujar Ginting, Senin (12/4/2021).
Ginting juga menegaskan bahwa hakim tidak bisa dikendalikan pengacara, hakim yang memimpin persidangan. Jadi, apabila saksi diperiksa dua kali dimuka persidangan hal itu berlebihan.
Masih menurut Ginting, kalau hakim di laporkan pengacara kemana mana maka kita tunggu saja hasilnya. Silahkan bikin saja laporan, itu hak mereka. (pay)