SURABAYA (surabayaupdate) – Selain menipu dua orang dengan modus penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS), Abdussamad juga menunggak masalah pembayaran sewa kamar hotel hingga Rp. 27 juta.
Adanya tunggakan pembayaran sewa kamar hotel tersebut terungkap dalam persidangan, dihadapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan majelis hakim.
Pada persidangan yang terbuka untuk umum, digelar secara virtual dari ruang sidang Candra Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (17/5/2021) itu, Yeni Krisnawati selaku Head Marketing Communication (Marcom) Hotel Harris juga mengungkapkan berapa lama terdakwa menginap di Harris Hotel dan berapa total tunggakan tagihan kamar terdakwa Abdusssamad selama empat bulan, mulai November 2020 hingga Maret 2021.
Lebih lanjut Yeni menjelaskan, awal menginap di Harris Hotel, terdakwa Abdussamad sangat lancar pembayarannya. Walau melakukan perpanjangan menginap, terdakwa Abdussamad langsung melunasi pembayarannya melalui transfer bank.
“Waktu melakukan reservasi, sopir terdakwa memperkenalkan terdakwa sebagai salah satu pejabat aparat negara,” ujar Yeni.
Pejabat negara, lanjut Yeni, yang dimaksud sopir pribadi terdakwa Abdussamad itu adalah jaksa yang sedang bertugas di Surabaya.
“Awalnya pembayarannya lancar, namun setelah dua bulan, mulai macet. Tiap ditagih, terdakwa selalu berdalih bahwa ia adalah anak pejabat kejaksaan,” ujar Yeni.
Begitu pembayaran mulai tersendat, lanjut Yeni, pihak manajemen hotel sebenarnya berusaha melakukan penagihan, namun terdakwa selain mengemukakan banyak alasan, juga melakukan intimidasi dan pengancaman.
“Saat ditagih, terdakwa selalu mengeluarkan tongkat komando untuk menakut-nakuti. Bahkan, kepada pihak hotel, terdakwa mengatakan, jika tongkat sudah dikeluarkan, maka Harris Hotel dalam bahaya. Bisa-bisa Hotel Haris akan ditutup,” kata Yeni, Senin (17/5/2021).
Masih menurut Yeni, kepada pihak hotel, terdakwa Abdussamad mengatakan bahwa tagihan kamar sebesar Rp. 27 juta itu akan dibayar negara.
Saat ditanya jaksa, berapa total tagihan yang harus dibayarkan terdakwa, Yeni mengatakan jumlah tagihan terdakwa sebesar Rp. 27 juta. Tagihan itu belum termasuk ganti rugi atas tv yang rusak.
Masih menurut Yeni, begitu terdakwa Abdussamad ditangkap, terdakwa kemudian melakukan sisa pembayaran sebesar Rp. 15 juta. Dan hingga kini, terdakwa sudah tidak mempunyai hutang lagi ke Hotel Harris.
Selain mendatangkan dua orang korban penipuan, seorang pria yang menjadi sopir pribadi terdakwa dan head marketing communication Harris Hotel, JPU juga menghadirkan saksi penangkap. Saksi penangkap yang dihadirkan itu bernama Candra Rizal Anggara, Kasubsi Intelijen Kejari Surabaya.
Candra mengatakan, tertangkapnya terdakwa Abdussamad itu berawal dari adanya informasi dari beberapa polisi yang bertugas di Polsek Sukomanunggal.
Informasi yang diterima intelijen Kejari Surabaya, bahwa ada oknum jaksa yang menginap di Hotel Harris yang tidak mau menyelesaikan pembayaran hotel.
“Tiap kali ditagih, terdakwa malah marah-marah dan mengancam pihak hotel. Dari laporan itu, tim intelijen kemudian melakukan pengecekan ke lokasi,” ujar Candra.
Saat tim menuju ke Hotel Harris, lanjut Candra, ternyata terdakwa tidak berada disana. Kemudian, tim berusaha memancing terdakwa dengan cara menagih pembayaran yang belum diselesaikan terdakwa.
“Ternyata, yang datang bukanlah terdakwa melainkan saksi Bagus Tri Sanjaya yang tak lain adalah sopir pribadi terdakwa,” kata Candra.
Masih menurut Candra, saat saksi Bagus Tri Sanjaya diamankan, tim intelijen Kejari Surabaya menemukan ID Card Driver yang ada tulisan Kejaksaan Tinggi Jawa Timur.
“Ketika ID Card itu ditanyakan ke saksi Bagus Tri Sanjaya, darimana ia mendapatkannya, Bagus mengatakan bahwa ia mendapatnya dari terdakwa Abdussamad langsung,” ungkap Candra.
Hakim M. Taufik Tatas Prihyantono kemudian bertanya ke saksi Candra, dimana akhirnya terdakwa Abdussamad ditangkap?
Atas pertanyaan ketua majelis ini, saksi Candra menjawab, bahwa terdakwa ditangkap tim intelijen Kejari Surabaya di Lobby Hotel Four Point Surabaya. Dan saat ditangkap, terdakwa masih mengaku sebagai jaksa yang bertugas di daerah lain.
Barang-barang itu menurut Candra, ditemukan tim intelijen Kejari Surabaya dari kamar hotel yang dipakai terdakwa. Dan ketika tim membawa terdakwa ke kamar itu, dijumpai istri terdakwa.
Masih menurut Candra, saat mengamankan terdakwa, tim intelijen Kejari Surabaya menemukan kartu PCI, pakaian dinas jaksa yang selama ini digunakan terdakwa untuk mengelabuhi korban-korbannya, atribut kejaksaan, topi dan tongkat komando.
Untuk diketahui, dalam surat dakwaan yang disusun dan ditanda tangani Jaksa Furkon Adi Hermawan ini dijelaskan, bahwa terdakwa Abdussamad didakwa melanggar pasal 378 KUHP jo pasal 65 ayat (1) KUHP.
Dalam surat dakwaan JPU itu juga disebutkan, bahwa dugaan tindak pidana yang dilakukan terdakwa Abdussamad itu terjadi sekitar September 2019 sampai November 2020, bertempat di Jalan Dukuh Kapasan No. 38 RT. 001 RW. 002 Kelurahan Sambikerep Kecamatan Sambikerep Kota Surabaya, Jalan Dukuh Sambikerep V/3 RT. 02 RW. 04 Kelurahan Sambikerep Kecamatan Sambikerep Kota Surabaya dan kantor BCA Citraland Surabaya.
Lebih lanjut dalam surat dakwaan JPU tersebut dijelaskan, bahwa awalnya sekitar September 2019, terdakwa berkenalan dengan (alm) Joyo Santoso, orang tua Deni Alam Kusum. Dalam perkenalannya dengan Joyo Santoso tersebut, terdakwa Abdussamad mengaku sebagai jaksa yang bertugas di Kejati Jawa Timur.
Kepada (alm) Joyo Santoso, terdakwa Abdussamad mengatakan bahwa, Oktober 2019 akan ada pendaftaran CPNS di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia.
Terdakwa lalu menawari (alm) Joyo Santoso maupun Deni Alam Kusuma bisa memasukkan Deni Alam Kusuma sebagai CPNS di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia untuk formasi “Calon Jaksa” dengan syarat harus melakukan pendaftaran, mengikuti ujian/test dan harus menyerahkan sejumlah uang kepada terdakwa untuk mempermudah atau memperlancar proses penerimaan CPNS itu.
Dalam beberapa kali pertemuannya dengan Deni Alam Kusuma maupun Joyo Santoso, terdakwa Abdussamad seringkali mengenakan seragam dan atribut kejaksaan dengan maksud untuk menyakinkan (alm) Joyo Santoso maupun Deni Alam Kusuma, kalau terdakwa memang seorang jaksa.
Atas rangkaian kata-kata bujuk rayu terdakwa, Deni Alam Kusuma tertarik ikut penerimaan CPNS Kejaksaan Republik Indonesia melalui terdakwa.
Sekitar Oktober 2019, setelah Deni Alam Kusuma melakukan pendaftaran CPNS di lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia, terdakwa mengatakan kepada Deni Alam Kusuma agar nomor peserta diserahkan kepada terdakwa karena akan diuruskan di Kejaksaan Agung.
Masih dalam surat dakwaan JPU disebutkan, setelah menerima uang sejumlah Rp.270,5 juta dari Deni Alam Kusuma, terdakwa menjanjikan Deni Alam Kusuma akan diterima dan diangkat sebagai CPNS di Kejaksaan Republik Indonesia pada tanggal 28 Januari 2021.
Namun, tanggal 28 Januari 2021 saat kelulusan tes CPNS Kejaksaan Republik Indonesia diumumkan, ternyata nama Deni Alam Kusuma tidak tercantum dalam pengumuman tersebut, kemudian Deni Alam Kusuma bertanya kepada terdakwa dan dijawab terdakwa memang prosedurnya seperti itu. Lalu, terdakwa mengatakan ke Deni Alam Kusuma, akan menguruskan Surat Keputusan (SK) Pengangkatan serta menjanjikan SK segera turun dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) atau Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Hingga saat ini, Deni Alam Kusuma belum diterima sebagai CPNS dan tidak mendapatkan SK, baik dari BKN maupun Kejaksaan Agung Republik Indonesia.
Ketika Deni Alam Kusuma mencoba menghubungi terdakwa, ternyata nomor HP terdakwa sudah tidak aktif.
Terdakwa dengan cara yang sama juga mengaku sebagai jaksa yang bertugas di Kejati Jawa Timur kepada Muhammad Dandi Prasetyo dan mengatakan mempunyai kenalan pejabat di Kemenkum HAM.
Kepada Muhammad Dandi Prasetyo, terdakwa juga menjanjikan bisa diterima sebagai CPNS di Kemenkumham untuk formasi Petugas Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) pada penerimaan CPNS tahun 2019 yang dilaksanakan mulai Oktober 2019.
Terdakwa mengatakan, bisa menjamin Muhammad Dandi Prasetiyo diterima sebagai CPNS namun harus menyediakan sejumlah uang untuk memperlancar proses penerimaan CPNS tersebut.
Oleh karena perkataan dan tindakan terdakwa yang sangat menyakinkan, seolah-olah terdakwa benar merupakan seorang jaksa, akhirnya Muhammad Dandi Prasetiyo tergerak untuk menyerahkan uang kepada Terdakwa yang keseluruhannya berjumlah Rp. 500 juta secara bertahap sejak tanggal 16 Desember 2019 sampai 16 November 2020.
Setelah menerima uang sebesar Rp. 500 juta, terdakwa menjanjikan Muhammad Dandi Prasetiyo akan diterima dan diangkat sebagai CPNS Kemenkumham tanggal 11 Januari 2021.
Namun, tanggal 11 Januari 2021 saat kelulusan tes CPNS diumumkan, ternyata nama Muhammad Dandi Prasetiyo tidak tercantum dalam pengumuman tersebut. Kemudian, Muhammad Dandi Prasetiyo bertanya kepada terdakwa dan dijawab terdakwa memang prosedurnya seperti itu.
Lalu terdakwa mengatakan kepada Muhammad Dandi Prasetiyo, akan menguruskan Surat Keputusan (SK) Pengangkatan serta menjanjikan SK segera turun dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) atau Kemenkumham.
Namun sampai dengan saat ini, Muhammad Dandi Prasetiyo belum diterima sebagai CPNS dan tidak mendapatkan SK baik dari BKN maupun Kemenkumham. ketika Muhammad Dandi Prasetiyo mencoba menghubungi terdakwa, nomor hp terdakwa sudah tidak aktif lagi.
Dari penyerahan uang, baik dari Deni Alam Kusuma sebesar Rp.270,5 juta maupun dari Muhammad Dandi Prasetyo sebesar Rp. 500 juta, terdakwa Abdussamad mendapatkan keuntungan total Rp.770,5 juta.
Uang itu, dipergunakan terdakwa untuk kepentingan pribadi, diantaranya untuk biaya penginapan terdakwa dan keluarganya di hotel daerah Jakarta dan Surabaya sejak akhir September 2019 sampai awal Maret 2021, kebutuhan hidup sehari-hari selama di Jakarta dan Surabaya, keperluan berobat terdakwa dan keperluan lainnya. (pay)