surabayaupdate.com
HEADLINE HUKUM & KRIMINAL INDEKS

Semakin Menguat, Penyebab Traumatik dr. Maedy Dan Tiga Anaknya Karena Tindakan KDRT Lettu Laut (K) dr Raditya Bagus Kusuma Eka Putra

Tiga saksi yang dihadirkan dipersidangan dugaan KDRT Lettu Laut (K) dr Raditya Bagus Kusuma Eka Putra di Mahmil Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

SURABAYA (surabayaupdate) – Semakin menguat, rasa trauma begitu mendalam yang dialami dr. Maedy Christiyani Bawoljie dan ketiga anaknya karena tindakan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan Lettu Laut (K) dr. Raditya Bagus Kusuma Eka Putra.

Pada persidangan lalu, Selasa (15/10/2024), Mayor Chk Sahroni Hidayat, SH yang ditunjuk sebagai Oditur Militer, mendatangkan beberapa saksi, mereka adalah dr. I Ketut Tirka Nandaka, SPKJ(K).,SH.,CPht.,CI, dr. Maedy Christiyani Bawoljie, dua anaknya hasil pernikahan sebelumnya dan Nathalia Christiyana.

Dalam keterangannya dimuka persidangan, dr. I Ketut Tirka Nandaka, SPKJ (K), SH., CPht.,CI yang dihadirkan sebagai saksi ahli forensik psikiatri yang berdinas di Rumah Sakit Pusat Angkatan Laut (RSPAL) dr. Ramelan Surabaya menjabarkan, bahwa dr. Maedy Christiyani Bawoljie dan anak-anaknya mengalami depresi dan traumatik yang sangat mendalam.

Penyebab adanya depresi dan trauma yang dialami ibu dan anak-anaknya itu pemicunya adalah sikap Lettu Laut (K) Raditya Bagus Kusuma Eka Putra yang menjadi terdakwa dalam perkara ini.

Hasil pemeriksaan psikologi dan psikis yang sudah dilakukan ahli kemudian dibacakan dimuka persidangan tersebut juga sama serta bersesuaian dengan hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan psikolog forensik dan psikiatri yang didatangkan pada persidangan Selasa (22/10/2024) ini.

Pada persidangan Selasa (22/10/2024) ini, Oditur Militer mendatangkan seorang psikolog dan ahli kejiwaan dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Perwakilan Jawa Timur.

Ahli yang didatangkan Oditur Militer itu bernama Riza Wahyuni, S.Psi., M.Si, yang berprofesi sebagai Psikolog Forensik. Selain Riza, ada dua saksi fakta yang hadir dipersidangan. Mereka bernama Djunaedi dan Hoesniati.

Djunaedi dan Hoesniati adalah saksi yang didatangkan penasehat hukum terdakwa Lettu Laut (K) dr. Raditya Bagus Kusuma Eka Putra. Dua saksi ini adalah adik kandung dari Idayati, ibu kandung dr. Maedy Christiyani Bawoljie.

Sebagai ahli Psikologi Forensik dan Kejiwaan, Riza Wahyuni menyatakan, bahwa penyebab timbulnya rasa trauma dan depresi sangat mendalam yang dialami dr. Maedy Christiyani Bawoljie dan anak-anaknya itu pemicunya berasal dari sikap dan perilaku terdakwa Lettu Laut (K) dr. Raditya Bagus Kusuma Eka Putra.

Pada persidangan ini, Riza Wahyuni kemudian membacakan hasil pemeriksaan kejiwaan dan psikiatri yang sudah dilakukan kepada dr. Maedy Christiyani Bawoljie dan ketiga anaknya.

Lebih lanjut Riza menerangkan, setelah menerima surat penugasan dari LPSK tentang adanya permohonan untuk memeriksa kondisi kejiwaan dr. Maedy Christiyani Bawoljie dan ketiga anaknya, akhirnya dilakukan wawancara terhadap dr. Maedy Christiyani dan ketiga anaknya.

“Kami melakukan wawancara tanggal 1 September 2024 kepada dr. Maedy Christiyani dan anak-anaknya,” ujar Riza Wahyuni dimuka persidangan.

Lalu, lanjut Riza, dilakukan pemeriksaan psikologi kepada dr. Maedy dan anak-anaknya ditanggal 7 September 2024. Pemeriksaan ini untuk mengetahui bagaimana kondisi psikologi dr. Maedy dan anak-anaknya.

Untuk mengetahui bagaimana kondisi psikologi yang dialami dr. Maedy dan ketiga anaknya itu, sambung Riza Wahyuni, dilakukan observasi dan wawancara kognitif.

“Observasi dan wawancara kognitif yang dilakukan kepada dr. Maedy, adalah sebuah metode pemeriksaan yang dilakukan untuk korban, untuk mengetahui bagaimana kondisi kejiwaan orang yang sedang diperiksa,” kata Riza Wahyuni.

Tahap selanjutnya, lanjut Riza, dilakukan pemeriksaan psikologi untuk memastikan kondisi apa yang dialami orang itu.

“Hal ini berkaitan permintaan LPSK untuk pendampingan serta pemulihan diperkara yang sedang ditangani LPSK. Tahapan ini adalah standart prosedur yang dilakukan LPSK,” terang Riza Wahyuni.

Ketua Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) Perwakilan Jawa Timur ini kembali menerangkan, dalam observasi itu, metode yang digunakan adalah wawancara kognitif.

“Pada observasi ini, kami mengimpulse semua kejadian yang terjadi pada dr. Maedy dan anak-anaknya. Dan kami mendapat informasi dari LPSK bahwa dr. Maedy dan anak-anaknya adalah korban kasus KDRT yang dilakukan suami dan ayah tiri anak-anak dr. Maedy,” kata Riza.

Kami, sambung Riza, juga mendapat informasi tentang adanya pelecehan seksual dimana yang melakukan adalah seorang anggota dan dokter yang bertugas di RSAL Ewa Pangalila Surabaya.

Riza Wahyuni, Ketua Asosiasi Psikologi Forensik (APSIFOR) Perwakilan Jawa Timur yang dihadirkan sebagai ahli diperkara dr. Raditya Bagus Kusuma Eka Putra. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

Usai menerangkan latar belakang yang dialami dr. Maedy dan anak-anaknya, Riza dimuka persidangan juga diminta untuk menjelaskan hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan.

Berdasarkan hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan kepada dr. Maedy dan anak-anaknya, untuk dr. Maedy Christiyani memiliki kepribadian cenderung agresif, dominan, berani menghadapi realitas, serius, cenderung kaku, ketergantungan kepada peraturan, disiplin, sosialisasi mudah beradaptasi terhadap sesuatu yang nyata, mampu menempatkan diri dilingkungan, bisa menyeimbangkan antara ego dan kebutuhan super ego yaitu norma sosial.

“Emosi dr. Maedy sangat labil serta sulit diduga, cenderung impulsif artinya sering bertindak tanpa pertimbangan, sering mengalami kemarahan yang hebat, merasa hidup kosong dan membosankan, relasi dengan orang lain cenderung tidak stabil, terdapat tindakan menciderai dirinya sendiri, tampak murung, terlalu serius, pasif, fokus pada hal-hal negatif,” papar Riza.

Masih berkaitan dengan perilaku dr. Maedy berdasarkan hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan, dr. Maedy mempunyai perilaku sering memiliki perilaku kurang layak, harga diri yang rendah, sering mengkritik diri sendiri bahkan tampak sedih terus menerus, mencari kesalahan walaupun dikondisi yang tidak ada masalah.

Untuk kondisi klinis yang dialami dr. Maedy, Riza menerangkan bahwa dr. Maedy mengalami depresi berat disertai rasa putus asa, tidak berguna, rasa bersalah, tidak bersemangat, kehilangan gairah hidup, tidak nafsu makan, berat badan menurun, cepat tidur, cepat lelah, kehilangan nafsu seksual, ada keinginan bunuh diri, sering mengeluh sakit-sakitan fisik, tegang, khawatir, meminta dirawat dirumah sakit walaupun dalam kondisi sakit ringan, sering mengalami rasa cemas, gelisah, tegang, gugup, rasa tidak nyaman, insomnia, otot merasa kaku,

“Dari hasil pemeriksaan yang telah dilakukan tersebut, akhirnya disimpulkan bahwa dr. Maedy Christiyani memiliki kondisi psikologi menurun, stress berat,” ungkap Riza.

Bahkan saat ini, lanjut Riza, dr. Maedy Christiyani mempunyai masalah pola perilaku dan pemikiran kehidupan sehari-hari sangat berat, mengalami PTSD sangat berat dengan kondisi depresi berat disertai perasaan putus asa.

Dan masih menurut penjelasan Riza, kondisi ini disebabkan pengalaman kehidupan yaitu KDRT, pencetusnya adalah KDRT yang dilakukan suaminya saat ini.

“Dampaknya, dr. Maedy harus mendapatkan perawatan psikiatri sehingga mempengaruhi aktivitas termasuk pekerjaan,” ungkap Riza lagi.

Yang dibutuhkan saat ini, sambung Riza, pendampingan psikologi dalam proses hukum serta intervensi psikologi agar dapat menjalani kehidupan layaknya normal supaya bisa beraktivitas normal untuk mendampingi anak-anaknya.

Pada persidangan ini, Riza Wahyuni juga membacakan kesimpulan hasil pemeriksaan yang sudah dilakukan terhadap anak-anak dr. Maedy Christiyani.

Kesimpulan hasil pemeriksaan yang dilakukan terhadap anak pertama dr. Maedy, Riza Wahyuni mengatakan bahwa putri pertama dr. Maedy ini memiliki fungsi psikologi yang kurang, mengalami stress berat, kurang bisa membina hubungan interpersonal, kurang bisa mengembangkan potensi diri, mempunyai masalah perubahan perilaku yang mengganggu kehidupan yang sangat berat.

Riza kembali menjelaskan bahwa Christia menghadapi PTSD dengan level berat dengan kondisi depresi, putus asa, perasaan mudah tersinggung, emosional, ada traumatis dan histeris.

“Kondisi ini dialami karena adannya kekerasan yang dialami. Pencetusnya adalah KDRT yang dilakukan ayah tirinya,” papar Riza.

Dampaknya, sambung Riza, harus mendapatkan perawatan psikiatri dan perawatan dari dokter spesialis saraf karena kondisi kejangnya.

“Yang dibutuhkan adalah intervensi psikologi, agar bisa menjalankan kehidupan layak dan normal serta upaya mencegah masalah kesehatan mental,” tutur Riza.

Untuk putri kedua dr. Maedy, Riza melanjutkan, bahwa anak ini memiliki fungsi psikologi sedang, mengalami stres berat, kemampuan membina hubungan interpersonal kurang, kemampuan mengembangkan potensi diri kurang, mempunyai masalah kepribadian yang mengganggu kehidupan sehari-hari.

“Klien mengalami PTSD level berat dengan kondisi depresi disertai dengan perasaan dendam, permusuhan, mudah stres, berusaha menyakiti diri sendiri, pikiran kacau, tidak jelas tujuannya, jijik, malu ketika mengingat pelecehan seksual yang dialaminya, menyaksikan KDRT yang dialami mama dan kakaknya,” papar Riza lagi.

Dampaknya, sambung Riza, harus mendapatkan perawatan psikiatri, merubah seluruh penampilannya seperti laki-laki. Yang dibutuhkan adalah pendampingan psikologi dalam proses hukum, intervensi psikologi agar bisa menjalani kehidupan normal.

Untuk kondisi anak ketiga dr. Maedy, Riza menerangkan bahwa putranya ini mengalami kondisi labil dengan PTSD, dikuasai emosi tidak stabil, bermusuhan, berpotensi agresif, pikiran kacau, tidak mempunyai kemauan. Semua itu disebabkan kejadian melihat apa yang dialami mamanya.

Terdakwa KDRT Lettu Laut (K) Raditya Bagus Kusuma Eka Putra. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

Riza kembali menjelaskan, berdasarkan pemeriksaan yang sudah dilakukan, memang ada permasalahan yang terjadi antara dr. Maedy dengan orang tuanya. Tetapi, dr. Maedy masih bisa menjalani kehidupan sehari-hari.

“Artinya, yang bersangkutan bisa menyelesaikan kuliah kedokterannya, masih bisa bekerja sebagaimana mestinya,” kata Riza.

Tetapi, lanjut Riza, ketika dr. Maedy kehilangan ayahnya, ia membutuhkan sosok figur, membutuhkan seseorang yang bisa melindunginya dan anak-anaknya.

“Saat itu, sosok tersebut diharapkan ada pada dr. Raditya. Seiring berjalannya waktu, dr. Maedy merasa tersakiti, bingung dan pada prosesnya, dr. Maedy sempat mempunyai keinginan untuk tidak melanjutkan hubungan dengan dr. Raditya,” jelas Riza.

Riza kembali melanjutkan, dr. Maedy harus melanjutkan hubungannya dengan terdakwa karena adanya ancaman.

“Kalau kamu tidak mau melanjutkan hubungan ini sampai pernikahan, kamu akan mati. Itu yang membuat dr. Maedy harus bertahan. Selama ini, dr. Maedy tidak pernah menceritakan hal itu,” ungkap Riza.

Riza juga menjelaskan bahwa kondisi yang dialami dr. Maedy saat ini adalah memang seperti itu, benar-benar kacau. Dan yang menjadi pencetus trauma yang dialami dr. Maedy adalah saat ia mengalami kejadian dibulan April tersebut.

Sementara itu, pada persidangan ini, selain mendengarkan keterangan Riza Wahyuni yang dihadirkan sebagai ahli, juga didengarkan penjelasan Djunaedi dan Hoesniati.

Dua saksi yang dihadirkan tim pembela terdakwa Lettu Laut (K) dr. Raditya Bagus Kusuma Eka Putra yang panjang lebar itu akhirnya diakuinya hanya berdasarkan cerita yang mereka terima dari ibu kandung dr. Maedy.

Pada saat kejadian, dimuka persidangan, saksi Djunaedi mengatakan memang ditelpon Idayati ibu kandung dr. Maedy dan diceritakan apa yang terjadi di rumah Jalan Semolowaru Surabaya.

Bukan hanya itu, saksi Djunaedi didalam persidangan juga menceritakan bahwa saat kejadian ditanggal 29 April 2024 itu, Idayati yang tak lain adalah kakaknya, juga ada dirumah itu dan melihat apa yang terjadi.

Namun, ekspresi Djunaedi langsung berubah dan tidak bisa memberikan penjelasan ketika Oditur Militer menanyakan kembali kepadanya, apakah benar ibu kandung dr. Maedy ada dirumah Jalan Semolowaru dan melihat sendiri apa yang sedang terjadi.

Djunaedi semakin tak berkutik ketika Oditur Militer Mayor Chk Sahroni Hidayat mengatakan, berdasarkan keterangan saksi yang sudah didatangkan pada persidangan sebelumnya, ibu kandung dr. Maedy tidak berada di rumah Jalan Semolowaru dan melihat langsung kejadian tersebut.

Kedua saksi ini dimuka persidangan juga diingatkan hakim Letkol Chk Arif Sudibya, SH, MH yang ditunjuk sebagai Ketua Majelis.

Kepada saksi Djunaedi dan Hoesniati, hakim Arif Sudibya mengatakan bahwa yang dimaksud dengan saksi adalah orang yang melihat, mendengar dan menyaksikan secara langsung apa yang sedang terjadi.

Begitu pula dengan kesaksian Hoesniati dimuka persidangan yang mengatakan bahwa terdakwa Lettu Laut (K) dr. Raditya Bagus Kusuma Eka Putra yang saat itu membawa pisau, bukan untuk mengancam dr. Maedy dan anak-anaknya melainkan sebagai peringatan kepada keempat orang itu bahwa terdakwa hendak menghunuskan pisau yang ia bawa tersebut ke perutnya sendiri.

Usai persidangan, May Cendy Aninditya, salah satu kuasa hukum dr. Maedy Christiyani mengatakan, Djunaedi dan Hoesniati belum bisa dikatakan sebagai saksi.

“Dua saksi yang didatangkan terdakwa itu bukan saksi karena tidak melihat dan mengalami sendiri apa yang terjadi ditanggal 29 April 2024, dirumah yang ditempati dr. Maedy, anak-anaknya dan terdakwa,” kata May Cendy.

Kesaksian Djunaedi dan Hoesniati, kata May Cendy, hanyalah sebuah tindakan untuk mengaburkan tindak pidana yang sudah dilakukan terdakwa Raditya kepada dr. Maedy dan anak-anaknya.

May Cendy bahkan secara tegas menilai, saksi yang dihadirkan terdakwa itu sebagai upaya pencitraan untuk menunjukkan bahwa terdakwa dr. Raditya Bagus Kusuma Eka Putra sebagai sosok menantu yang baik, ayah dan suami yang baik dan bukanlah sebagai biang permasalahan yang terjadi di rumah tangga dr. Maedy dan terdakwa.

Selain itu, dalam tanggapannya, May Cendy Aninditya juga menyatakan, berdasarkan dua ahli yang sudah dihadirkan dipersidangan, dapat dipakai majelis hakim sebagai pertimbangan hukumnya untuk menyatakan bahwa terdakwa Lettu Laut (K) dr. Raditya Bagus Kusuma Eka Putra terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), bukan hanya kepada dr. Maedy, juga kepada ketiga anaknya. (pay)

Related posts

IOH Dukung Pemerintah Indonesia Diajang G20 Dengan Cara Pengembangan Talenta Digital

redaksi

Kisah Pilu La Sandri Letsoin, Penagih Utang Yang Mendapat Kabar Istrinya Sudah Meninggal 40 Hari Lamanya Saat Ia Ditahan

redaksi

Ada Oknum Polisi Yang Ikut Mem-Back Up Di Perkara Sengketa Tanah Istri Orang Terkaya Di Indonesia

redaksi