SURABAYA (surabayaupdate) – Sidang dugaan tindak pidana penipuan dan atau penggelapan yang menjadikan Imam Santoso anak Jasin Santoso sebagai terdakwa, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Pada persidangan yang terbuka untuk umum, digelar secara virtual dari ruang sidang Sari 2 PN Surabaya, Senin (24/5/2021), Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan dua saksi, salah satunya adalah Willyanto Wijaya, yang mengaku sebagai korban penipuan Imam Santoso.
Selain Willyanto Wijaya, Jaksa Irene Ulfa dan Jaksa Zulfikar juga menghadirkan Agus Hernades, yang ikut menyaksikan pembicaraan antara terdakwa Imam Santoso dengan Willyanto Wijaya di Hotel Garden Palace.
Dalam kesaksiannya, Willyanto mengatakan tertarik berbisnis dengan terdakwa Imam Santoso anak Jasin Ssntoso karena beberapa pertimbangan.
Lebih lanjut Direktur PT. Jasa Mitra Abadi ini menjelaskan, ia tertarik menerima tawaran kerjasama dengan terdakwa Imam Santoso karena melihat bahwa terdakwa adalah seorang pengusaha hotel dan sebagai pemilik Hotel Garden Palace Surabaya.
“Alasan kedua, terdakwa Imam Santoso mengaku memiliki lahan kayu di Sulawesi Selatan yang belum dipotong, dengan menunjukan beberapa dokumen, salah satunya adalah Rencana Kerja Tahunan (RKT) pemotongan kayu sebanyak 16.000 kubik lebih,” ujar Willyanto Wijaya, Senin (24/5/2021) dimuka persidangan.
Ketiga, lanjut Willyanto, terdakwa Imam Santoso akan membuat kontrak perjanjian jual beli kayu dan memberikan keuntungan-keuntungan yang akan saya peroleh, jika melakukan kerjasama dengan terdakwa.
Dalam kesaksian Willyanto selanjutnya dimuka persidangan, ia pun merasa tertarik untuk melakukan kerjasama dengan terdakwa Imam Santoso. Proses kerjasama jual beli kayu antara Willyanto Wijaya dengan terdakwa Imam Santoso waktu itu, disaksikan Agus Hernandes dan Rendy. Penandatanganan perjanjian itu dilakukan di Hotel Garden Palace Surabaya, tanggal 21 September 2017.
Pada persidangan ini, selain menjelaskan adanya penanda tanganan kontrak kerjasama dengan terdakwa, Willyanto Wijaya juga menerangkan pemesanan kayu kepada terdakwa dan besarnya uang muka yang sudah ia transferkan ke terdakwa.
“Waktu itu, kita pesan 15 ribu kubik atau setara empat tongkang, dengan janji akan dikirim empat bulan. Untuk jenis kayunya campur,”ungkap Willyanto Wijaya.
Nilai keseluruhan kayu lanjut Willyanto, sebesar Rp. 6,1 miliar, dan sudah dibayar lunas. DP pertama Rp. 3 miliar dan sisanya akan dibayarkan bertahap,” kata Willyanto Wijaya.
Dalam persidangan ini, Willyanto Wijaya juga menjelaskan tentang indikasi penipuan yang dilakukan terdakwa Imam Santoso dalam hal jual beli kayu.
Willyanto Wijaya kemudian menceritakan, kayu yang dipesan Willyanto Wijaya ini ternyata tidak kunjung datang hingga batas waktu yang telah disepakati.
Belakangan diketahui, jika kayu-kayu pesanan Willyanto Wijaya tidak sesuai spesifikasi yang ada dalam kontrak kerjasama.
“Dalam kontrak perjanjian disebutkan, jika usia kayu yang dipesan adalah tiga bulan, sedangkan kayu yang dikirim terdakwa Imam Santoso usianya delapan bulan,” ujar Willyanto Wijaya.
Karena spesifikasi kayu yang dikirim terdakwa tidak sesuai, terdakwa Imam Santoso kemudian menghubungi Agus Hernandes, meminta bantuan untuk menjualkan kayu-kayu itu.
“Yang ditawarkan adalah kayu berusia tiga bulan, tapi terdakwa Imam Santoso punya kayu yang usianya delapan bulan. Karena tidak sama dengan apa yang diperjanjiankan, terdakwa Imam Santoso minta tolong saya menjualkan kayu itu. Kemudian saya bantu jualkan melalui teman di Samarinda,” ungkap Willyanto sambil menunjukkan beberapa foto kayu kepada majelis hakim.
Masih menurut kesaksian Willyanto Wijaya, setelah berhasil menjualkan kayu berusia delapan bulan tersebut, terdakwa mulai sulit dihubungi. Willyanto Wijaya kemudian beranggapan jika terdakwa Imam Santoso sudah berniat menipunya sejak awal.
“Sudah gak bisa dihubungi, WA nggak dibaca, niatnya abal abal aja, modus,” ungkap Willyanto.
Saksi Willyanto baru bertemu dengan terdakwa Imam Santoso setelah peristiwa jual beli kayu itu dilaporkan ke Polrestabes Surabaya. Dari laporan itulah Willyanto mengetahui jika uang pembelian kayu yang telah dibayarkan, dipakai terdakwa untuk mengurus perusahaannya dibidang pupuk.
“Uangnya dipakai mengurus PT Randoetatah, perusahaan milik Pak Imam Santoso sendiri,” terang Willyanto.
Tim penasihat hukum terdakwa kemudian bertanya ke Willyanto tentang adanya niat baik kliennya yang telah mencicil pembayaran uang kayu.
Mendengar pernyataan itu, Willyanto kemudian membantahnya. Lebih lanjut Willyanto mengatakan bahwa uang yang pernah dibayarkan terdakwa Imam Santoso waktu itu adalah uang pinjaman terdakwa untuk pembayaran tongkang, pada saat menjualkan kayu berusia delapan bulan miliknya terdakwa.
“Dia bilang kayu berusia tiga bulan sudah siap diangkut, lalu saya pesan tongkang tapi nyatanya kayu tidak ada. Lalu dia minta saya bayar dulu tongkangnya. Jadi itu uang tongkang bukan uang cicilan,” jawab Willyanto.
Keterangan saksi Willyanto ini dibantah semuanya oleh terdakwa Imam Santoso. Saksi Willyanto Wijaya pun tetap mempertahankan keterangannya.
“Semuanya tidak benar,” kata terdakwa Imam Santoso saat ditanya majelis hakim terkait keterangan saksi Willyanto.
Usai mendengar kesaksian Willyanto Wijaya, tiba saatnya untuk mendengar kesaksian Agus Hernandes. Namun pada persidangan ini, tidak begitu banyak yang diterangkan Agus Hernandes.
Agus Hernandes tidak mengetahui isi dari kontrak perjanjian yang dibuat terdakwa Imam Santoso dan Willyanto Wijaya. Namun Agus Hernandes mengetahui maksud dan tujuan pertemuan tersebut, terkait jual beli kayu.
“Tapi saya ada saat pertemuan di Garden Palace. Saya tidak tahu isi perjanjiannya, tapi setahu saya membahas soal jual beli kayu. Dan terdakwa menawarkan kayu usianya tiga bulan,” ujar Agus Hernandes.
Terkait penjualan kayu yang berada diluar perjanjian, Agus Hernandes mengakuinya. Bahkan, Agus menyebut, kayu tersebut dijual berdasarkan permintaan dari terdakwa. (pay)