surabayaupdate.com
HEADLINE HUKUM & KRIMINAL INDEKS

Ada Fakta Yang Disembunyikan Jaksa Dan Terungkap Dipersidangan Dugaan Korupsi Pemberian Dana BOP Di Kabupaten Bojonegoro

Salah satu saksi meringankan yang dihadirkan dipersidangan Sodikin. (FOTO : parlin/surabayaupdate com)

SIDOARJO (surabayaupdate) – Selain adanya pernyataan saksi yang telah dipaksakan, adanya saksi yang diperiksa dibawah ancaman, dalam persidangan dugaan korupsi pemberian dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) di Kabupaten Bojonegoro ini juga terungkap dugaan adanya fakta yang disembunyikan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Dugaan adanya fakta yang disembunyikan penuntut umum pada persidangan korupsi dana BOP Kabupaten Bojonegoro tersebut terungkap saat tim penasehat hukum terdakwa Sodikin menghadirkan tiga orang saksi.

Tiga orang saksi meringankan yang dihadirkan tim penasehat hukum terdakwa pada persidangan Selasa (22/3/2022) di Pengadilan Tipikor Surabaya yang berada di Kabupaten Sidoarjo tersebut bernama M. Chosbaliyah, Ketua Kortan Kecamatan Kapas Bojonegoro; Fatkhurrahman, Ketua TPQ Alrosyid Desa Wedi Kecamatan Kapas dan Cipto selaku Ketua TPQ Dari Mukminin Dusun Sugih Desa Malo Kecamatan Malo Bojonegoro.

Secara bergantian, tiga orang saksi meringankan itu menerangkan banyak hal, termasuk adanya dana bantuan yang telah diterima lembaga pendidikan yang dikelola masing-masing saksi.

Namun, ketika persidangan memasuki penggalian fakta tentang adanya surat pernyataan yang mereka buat didepan jaksa penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri (Kejari) Bojonegoro, baik saksi Chosbaliyah, saksi Fatkhurrahman dan saksi Cipto, sama-sama mengakui bahwa mereka membuat surat pernyataan bahwa benar memang ada pemotongan dana bantuan sebesar Rp. 1 juta tersebut, telah diarahkan jaksa penyidik Pidsus Kejari Bojonegoro yang saat itu memeriksa mereka.

Secara bergantian, saksi Chosbaliyah dan saksi Fatkhurrahman mengatakan, mereka dipaksa untuk menyalin ulang surat pernyataan yang draftnya telah dipersiapkan penyidik.

Dihadapan majelis hakim yang diketuai I Ketut Suarta, JPU dan tim penasehat hukum terdakwa Sodikin, saksi Fatkhurrahman menyebutkan, ia bersama beberapa orang yang saat itu diminta hadir dikantor Kejari Bojonegoro, diminta untuk membuat surat pernyataan.

“Jika ada kata-kata yang tidak sesuai, kami diminta untuk menghapusnya dan menyalin ulang kalimat pernyataan yang sama persis dengan pernyataan yang telah disiapkan jaksa,”kata Fatkhurrahman di ruang sidang Pengadilan Tipikor Surabaya, Selasa (22/3/2022).

Kesaksian yang sama juga dinyatakan saksi Chosbaliyah. Kedua saksi ini kemudian ditanya tim penasehat hukum terdakwa, apakah isi dari surat pernyataan itu memang benar faktanya?

“Faktanya tidak benar. Yang benar adalah, tidak ada pemotongan dari pemberian dana bantuan tersebut,”ujar Chosbaliyah.

Pinto Utomo, SH., M.H, salah satu penasehat hukum terdakwa kemudian bertanya, jika faktanya tidak benar, mengapa Chosbaliyah dan dua saksi lainnya yang dihadirkan didalam persidangan kali ini, mau menandatangani surat pernyataan yang sudah mereka buat.

“Kami dipaksa dan mejanya digedor-gedor. Kami juga diancam tidak boleh pulang, jika kami tidak menulis seperti yang diminta kepada kami,”tandas Chosbaliyah.

Selain terungkapnya kembali adanya pembuatan surat pernyataan yang dibuat para saksi dibawah ancaman dengan draft yang sudah dipersiapkan tersebut, pada persidangan ini terjadi perdebatan sengit antara jaksa Tarjono dengan Johanes Dipa Widjaja, SH.,S.Psi., M.H., C.L.A, salah satu penasehat hukum terdakwa.

Perdebatan yang membuat hakim I Ketut Suarta harus menengahi dengan memukulkan palu tersebut terjadi karena adanya surat pernyataan dari salah satu saksi yang telah diperiksa penyidik Pidsus Kejari Bojonegoro.

Isi dari surat pernyataan saksi yang ditunjukkan jaksa Tarjono dimuka persidangan itu adalah dalam pemberian dana bantuan dari Kementerian Agama (Kemenag) RI tersebut, tidak ada potongan.

Johanes Dipa Widjaja yang mengetahui surat pernyataan tersebut langsung bereaksi dan menegur penuntut umum tersebut.

Ketua Bidang Pembelaan Profesi Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Kota Surabaya menilai bahwa ada fakta yang menyatakan bahwa terdakwa tidak melakukan pemotongan dana bantuan, namun sengaja disembunyikan penyidik, dengan cara tidak memasukkan surat pernyataan tersebut dalam berkas perkara dan tidak ada dalam BAP.

Menyikapi jalannya persidangan yang berlangsung kali ini, Pinto Utomo saat ditemui usai persidangan menilai bahwa perkara dugaan korupsi yang menjadikan Sodikin sebagai terdakwa semakin terang benderang.

Lebih lanjut Pinto menjelaskan, dari sekian banyak saksi yang dihadirkan, hingga tiga saksi meringankan yang dihadirkan tim penasehat hukum terdakwa Sodikin, semuanya mengaku dipaksa untuk membuat surat pernyataan yang formatnya telah dipersiapkan penyidik.

“Pada persidangan ini kembali terbongkar, bagaimana penyidik Pidsus Kejari Bojonegoro ketika memperoleh alat bukti, dilakukan dengan cara-cara tidak benar dan melawan hukum,” ujar Pinto.

Tiga saksi yang dihadirkan pada persidangan ini, lanjut Pinto, juga mengakui, ketika mereka diminta untuk menyalin ulang isi surat pernyataan yang isinya bahwa memang benar ada pemotongan dalam pemberian dana bantuan kepada lembaga-lembaga pendidikan agama di Kabupaten Bojonegoro, harus menyalin ulang dan isinya harus sama persis dengan surat pernyataan yang draftnya telah dipersiapkan penyidik Pidsus Kejari Bojonegoro.

“Jika para saksi ini membuat surat pernyataan yang kalimatnya tidak sama dengan surat pernyataan yang formatnya telah disiapkan penyidik kejaksaan, para saksi itu disuruh untuk menghapusnya dan mengganti dengan yang telah dipersiapkan penyidik,”ungkap Pinto.

Saat para saksi ini diperiksa, sambung Pinto, juga tidak wajar. Sebagaimana diucapkan saksi Chosbaliyah dimuka persidangan, ia bersama 22 orang saksi yang diperiksa saat itu dihari yang sama, diperiksa mulai pukul 09.00 Wib sampai pukul 01.00 Wib.

“Dibawah tekanan, Ketua Kortan Kecamatan Kapas Bojonegoro ini diminta mengaku diperintah terdakwa Sodikin untuk meminta uang Rp. 1 juta ke lembaga-lembaga penerima bantuan. Dari uang Rp. 1 juta itu, yang Rp. 600 ribu supaya diserahkan ke terdakwa Sodikin, yang Rp. 400 dikelola sendiri,” papar Pinto.

Karena faktanya tidak benar dan keterangan yang dibuat dikejaksaan dibuat dibawah tekanan dan intimidasi, Pinto kembali menjelaskan, pada persidangan ini, saksi Chosbaliyah akhirnya mencabut isi BAP yang telah ia buat sebelumnya.

“Saksi Chosbaliyah tak kuasa mengakui adanya pemotongan dana bantuan dari Kemenag RI itu karena diintimidasi tidak boleh pulang dan akan dijerat korupsi juga, jika tidak menuruti permintaan penyidik,”tandasnya.

Pinto kembali mengkritik model pemeriksaan yang dilakukan penyidik Pidsus Kejari Bojonegoro kepada para saksi yang tidak wajar dan bertentangan dengan undang-undang.

Lebih lanjut Pinto menyatakan, pemeriksaan yang dilakukan mulai pukul 09.00 Wib sampai pukul 01.00 Wib, meja yang digebrak-gebrak untuk mempengaruhi mental psikologis para saksi yang diperiksa saat itu, telah melanggar hukum.

Pinto kembali menjelaskan, berdasarkan pasal 117 KUHAP, perolehan alat bukti yang didapatkan dari pemeriksaan saksi, pemeriksaan terdakwa, tidak boleh dengan cara dibawah tekanan, intimidasi, ancaman maupun paksaan. Harus dilakukan dengan cara yang bebas.

“Jika perolehan alat bukti yang dituangkan dalam BAP dilakukan dengan cara-cara intimidasi, dibawah tekanan, paksaan apalagi sampai ada pengancaman, maka pemeriksaan itu menjadi tidak sah, sehingga surat dakwaan penuntut umum tersebut haruslah dibatalkan,” kata Pinto.

Kebenaran lain yang terungkap dalam persidangan ini adalah adanya surat pernyataan dari salah seorang saksi yang bunyinya bahwa dalam pemberian dana bantuan bagi lembaga pendidikan agama di Kabupaten Bojonegoro tersebut, memang tidak ada potongan.

Terkait adanya fakta ini, Pinto pun bereaksi dan mempertanyakan alat bukti itu. Dengan adanya surat pernyataan tidak ada potongan tersebut, Pinto menyatakan, hal ini menunjukkan bahwa jaksa telah menyembunyikan fakta.

Surat pernyataan tidak ada potongan tersebut, adalah pengakuan para penerima bantuan yang pencairannya bukan di tahap I. Untuk pencairan bantuan di tahap I, semua dipaksa untuk menyatakan bahwa memang ada potongan.

Masih berkaitan dengan adanya surat pernyataan saksi yang menyebutkan, dalam pemberian dana bantuan dari Kemenag ini memang tidak ada potongan, Johanes Dipa Widjaja, SH.,S.Psi., M.H., C.L.A menambahkan, hal itu bertentangan dengan ketentuan pasal 75 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Lebih lanjut Johanes Dipa menjelaskan, dalam ketentuan pasal 75 ayat (1) ini menyebutkan, semua model pemeriksaan yang dilakukan penyidik, harus dituangkan dalam BAP.

“Sebagaimana ketentuan pasal 75 KUHAP, setiap pemeriksan yang telah dilakukan penyidik, harus dibuatkan berita acara pemeriksaan dan ditandatangani penyidik,”jelas Johanes Dipa.

Dengan adanya surat pernyataan tidak ada pemotongan sebagaimana ditunjukkan penuntut umum dimuka persidangan, sambung Johanes Dipa, dimana berita acaranya? Inikan juga alat bukti.

“Apakah alat bukti yang diperoleh penyidik kejaksaan yang telah disita ini boleh tidak ada berita acaranya atau tidak dibuatkan berita acaranya?,”tanya Johanes Dipa.

Kalau penyidik Pidsus Kejari Bojonegoro telah melakukan pemeriksaan, lanjut Johanes Dipa, buatlah berita acara pemeriksaannya dan ditanda tangani.

Begitu juga jika penyidik telah melakukan penyitaan alat bukti, haruslah dibuatkan berita acara penyitaan. Hal itu untuk menjamin adanya kepastian hukum terhadap pemeriksaan yang telah dilakukan penyidik.

Dengan adanya surat pernyataan dari salah seorang saksi yang ditunjukkan penuntut umum dimuka persidangan ini, Johanes Dipa meyakini bahwa benar ada rekayasa yang membuat Sodikin harus diadili dan dianggap sebagai pihak yang harus bertanggungjawab dengan adanya pemotongan tersebut.

“Persidangan ini bertujuan untuk menguji dakwaan yang disusun JPU berdasarkan bukti yang dimiliki penyidik dan tertuang dalam BAP,”papar Johanes Dipa.

Berkas perkara yang ada pada tim penasehat hukum terdakwa, sambung Johanes Dipa, tidak ada surat pernyataan yang bunyinya tidak ada potongan, sebagaimana yang telah ditunjukkan penuntut umum dimuka persidangan.

Dengan ditunjukkannya adanya surat pernyataan dari salah seorang saksi dimuka persidangan ini, Johanes Dipa makin meyakini adanya pelanggaran hukum dalam hal perolehan alat bukti.

“Karena cara pembuatannya tidak benar, maka hasilnya juga tidak benar dan tidak sesuai dengan fakta,” ujar Johanes Dipa.

Jika proses pemeriksaannya dilakukan dengan cara tidak benar, apalagi melanggar hukum, lanjut Johanes Dipa, maka hasilnya tidak bisa digunakan sebagai alat bukti.

Proses pembuatan BAP yang tidak benar dan jelas-jelas melanggar hukum tersebut, menurut Johanes Dipa, terlihat dari pengakuan banyak saksi, termasuk saksi-saksi yang dihadirkan penuntut umum dipersidangan, dimana saksi-saksi yang telah dihadirkan dipersidangan itu mengakui bahwa surat pernyataan bahwa memang ada potongan dana bantuan kepada lembaga-lembaga penerima bantuan, dibuat berdasarkan arahan jaksa.

“Mereka dipaksa untuk membuat surat pernyataan yang formatnya telah dipersiapkan jaksa. Para saksi itu dipaksa untuk menyalin ulang dan menandatanganinya,”papar Johanes Dipa.

Apabila para saksi itu tidak menuruti apa yang jaksa penyidik minta, sambung Johanes Dipa, para saksi tersebut diancam tidak boleh pulang. Bahkan ada saksi yang mengaku akan digantung dan ditembak.

“Ada saksi dalam kesaksiannya bahwa menceritakan, ketika dimintai keterangan, mejanya digebrak. Mereka diancam, jika tidak menuruti apa yang diminta jaksa, saksi itu akan dianggap ikut korupsi,”kata Johanes Dipa

Johanes Dipa menambahkan, kebanyakan para saksi ini adalah orang desa dengan pengetahuan hukum yang kurang.

Karena diancam akan dijerat korupsi, mereka menjadi takut dan menuruti apa yang diperintahkan kepadanya.

Dengan makin terlihatnya rekayasa hukum yang telah dilakukan penyidik dan hal itu terungkap dipersidangan, Johanes Dipa berharap, majelis hakim yang memeriksa perkara ini dapat melihatnya secara utuh dan bijaksana, tidak hanya melihat fakta-fakta yang ditunjukkan penuntut umum saja.

“Majelis hakim harus jeli dan mempertimbangkan banyaknya fakta hukum yang direkayasa dan dibuat dibawah tekanan. Hal itu telah terlihat dari surat pernyataan para saksi yang isinya sama. Kemudian, pernyataan para saksi yang dihadirkan penuntut umum dipersidangan juga sama, seperti paduan suara,” papar Johanes Dipa.

Dengan melihat fakta-fakta tersebut, lanjut Johanes Dipa, majelis hakim sudah sepatutnya mencurigai, ada rekayasa fakta dengan cara-cara telah melawan hukum.

Untuk diketahui Terdakwa Shodikin merupakan Ketua Forum Komunikasi Pendidikan TPQ (FKPQ) Bojonegoro. Diduga melakukan pungutan liar terhadap lembaga TPQ penerima BOP TPQ masa pandemi Covid-19 pada 2020 lalu.

Berdasar penyidikan kejari, pemotongan masing-masing lembaga TPQ sebesar Rp 1 juta dari total Rp 10 juta. Dana BOP seharusnya dimanfaatkan untuk operasional, honor guru ngaji, dan pengadaan alat pelindung diri (APD).

Potongan tersebut dalihnya untuk infak. Selanjutnya, hasil audit dan penghitungan dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Jatim, ditemukan total kerugian negara sebesar Rp 1,007 miliar. Namun, selama penyidikan sudah ada pengembalian kerugian negara sebesar Rp 384,8 juta.

Namun oleh para saksi dibantah semua, bahkan berapa saksi lainya juga mencabut pernyataannya saat di BAP di penyidikan Kejaksaan Negeri Bojonegoro. Alasan mereka pada saat menjalani pemeriksaan merasa tertekan dengan ancaman tidak diperbolehkan pulang. (pay)

Related posts

Lewat Aplikasi Alodokter, dr. Robby Hermawan, SpOG Berhasil Membangun Komunikasi Dengan Para Pasiennya

redaksi

Jumlah Pengunjung Masih Tetap Tinggi Pada Hari Terakhir GIIAS Surabaya 2022

redaksi

Tiga Polisi Yang Tertangkap Saat Pesta Sabu Dituntut Pidana Penjara Yang Berbeda

redaksi