
SURABAYA (surabayaupdate) – Komnas HAM datangi kampus Ubaya. Kedatangan Komnas HAM ini untuk mengkonsultasikan draf rancangan RUU KUHAP berbasis HAM.
Acara yang dilaksanakan dalam bentuk konsultasi publik ini digelar selama dua hari mulai Rabu (21/5/2025) hingga Kamis (22/5/2025).
Selain Komnas HAM, perhelatan ini juga dihadiri organisasi masyarakat (Ormas), aparatur pemerintah dan akademisi.
Kegiatan itu menghadirkan empat narasumber, yaitu Wakil Ketua Komnas HAM RI, Abdul Haris Semendawai; Dr. Freddy Poernomo, SH,. MH,. Wakil Dekan 1 FH Ubaya, Peter Jeremiah SH,. MH,. Dr. Freddy Poernomo, SH,. MH,. dan Dr. Sonya Claudia Siwu, SH,. MH,. LL.M.
Peter Jeremiah yang didaulat sebagai pemantik dalam diskusi ini mengatakan, tujuan diadakannya kegiatan ini untuk menggali pandangan masyarakat sipil, lembaga hukum, dan aparat penegak hukum tentang rencana revisi KUHAP.
Lebih lanjut Peter Jeremiah menerangkan, di kegiatan konsultasi publik ini juga dilakukan. Identifikasi permasalahan HAM dan keadilan dalam sistem hukum acara pidana saat ini, serta memberikan masukan konstruktif terhadap penyusunan RUU KUHAP agar lebih inklusif, transparan, dan melindungi kelompok rentan.
“Tujuan akhirnya adalah memberikan masukan yang kemudian dirangkum dalam suatu kajian RUU KUHAP yang baru,” kata Peter Jeremiah.
Hasilnya, lanjut Peter Jeremiah, akan diserahkan ke DPR RI, untuk disusun menjadi RUU KUHAP.
Dalam diskusi dua hari itu, ada tujuh isu yang sedang mereka bicarakan, mulai dari kewenangan penyelidikan dan penyidikan, restoratif justice, perlindungan kelompok rentan, bantuan hukum.
“Serta hak atas peradilan yang adil dan transparan, pembuktian dan digital evidence, dan peran lembaga negara,” papar Peter Jeremiah.
Peter kembali menjelaskan, dari isu-isu tersebut, ada beberapa hal yang menjadi point perhatian didalam konsultasi publik dalam bentuk diskusi.
“Ada 11 poin terkait dengan penyidikan dan penyelidikan. Utamanya, ada upaya paksa, praperadilan, mekanisme RJ (keadilan restoratif), serta perlindungan terhadap hak tersangka, terdakwa, saksi ahli dan korban,” ungkap Peter Jeremiah.
Peter Jeremiah kembali menerangkan, dari RUU KUHAP sebelumnya, ditemukan tahap yang hilang, kemudian dalam rancangan yang baru ini tahap tersebut kembali dimunculkan.
“Misalnya terkait dengan ada penyelidikan yang hilang dan ini muncul lagi. Jadi sebelumnya ada tahap penyelidikan itu dihilangkan, namun sekarang materi yang membahas tentang tahapan penyelidikannya muncul lagi,” kata Peter Jeremiah.
Di konsultasi publik ini juga dibahas soal durasi dalam penyidikan. Ini dianggap sangat penting supaya kasus yang sedang ditangani aparat tidak mangkrak. Ada batas waktunya, termasuk dalam penetapan tersangka.
“Ada beberapa kasus penetapan tersangka dalam jangka waktu yang lama tidak segera diproses, sehingga kepastian hukumnya terkatung-katung. Sehingga ada konsekuensi terhadap penyidikannya dan penyidik yang melakukan,” tambah Peter Jeremiah.
Adapun catatan yang masuk dalam pembahasan tersebut adalah pertama berkaitan dengan dominasi polisi dalam proses penyidikan.
Dipembahasan ini, RUU KUHAP dinilai masih memberi wewenang besar kepada kepolisian, khususnya dalam penggunaan upaya paksa seperti penangkapan dan penyadapan. Komnas HAM menekankan pentingnya pengawasan eksternal.
“Tidak bisa semua diserahkan ke penyidik. Harus ada mekanisme kontrol yang jelas agar wewenang itu tidak disalahgunakan,” tegas Abdul Haris Semendawai, Wakil Ketua Komnas HAM RI.
Pembahasan kedua adalah berkaitan dengan Restorative Justice (RJ). Di RJ ini harus mengedepankan pemulihan korban.
Mekanisme keadilan restoratif (RJ) belum berpihak kepada korban, terutama dalam kasus kekerasan seksual dan kekerasan terhadap anak.
“Keadilan restoratif tidak boleh jadi alat pemaksaan damai. Korban harus mendapatkan pemulihan yang seutuhnya,” tandas Abdul Haris Semendawai.
Point ketiga adalah Kelompok Rentan Belum Terlindungi. Dalam penjelasannya, disabilitas, perempuan, anak, dan lansia masih kurang mendapat perlindungan dalam proses hukum.
Abdul Haris Semendawai pun mengatakan, RUU KUHAP perlu mengatur fasilitas seperti penerjemah, ruang pemeriksaan khusus, dan pendamping hukum.
“Jika KUHAP ingin inklusif, ia harus berpihak pada kelompok rentan,” kata Abdul Haris Semendawai.
Point ke empat adalah Akses Bantuan Hukum Masih Terbatas. Pasal bantuan hukum dalam RUU KUHAP hanya menyebut advokat.
Peran paralegal belum diakui, padahal mereka sering menjadi garda terdepan dalam memberikan bantuan hukum, terutama di daerah terpencil.
Selanjutnya, pembahasan mengenai Hak atas Peradilan yang Adil Belum Dijamin. Banyak aduan soal ketidakadilan dalam pra-peradilan dan penahanan. RUU KUHAP juga belum mengatur dengan jelas soal hak atas sidang yang cepat dan transparan.
“Asas fair trial dan transparansi harus menjadi roh dari hukum acara pidana yang baru,” ungkap Abdul.
Keenam, pembahasan mengenai pengakuan terhadap bukti digital masih lemah. RUU KUHAP belum menjabarkan legalitas alat bukti elektronik, termasuk hasil cloning data. Selain itu, perlu pengaturan soal kesaksian dari penyandang disabilitas mental agar tidak merugikan terdakwa.
Hal terakhir atau ketujuh yang jadi pembahasan adalah berkaitan dengan peran Komnas HAM perlu diperkuat.
Komnas HAM mengusulkan agar lembaga ini diberi kewenangan formal dalam penyidikan dan pelaksanaan restorative justice.
“Kami tidak hanya ingin jadi penonton. Komnas HAM harus dilibatkan aktif dalam penegakan hukum dan pemantauan pelanggaran HAM,” tutur Abdul Haris Semendawai.
Dengan tujuh catatan tersebut, Komnas HAM berharap revisi RUU KUHAP ke depan mampu menjadi instrumen hukum yang lebih adil, transparan, dan melindungi seluruh lapisan masyarakat. (pay)