
SURABAYA (surabayaupdate) – Seorang ahli hukum yang didatangkan PT. Patra Jasa sebagai pihak tergugat dalam Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya dinilai tidak obyektif.
Bukan hanya itu, didalam memberikan keterangan dan teori-teori hukum dimuka persidangan, Prof. Dr. Elfrida Ratnawati Gultom, SH., M.Hum., M.Kn., Guru Besar Ilmu Hukum Perdata Universitas Trisaksi yang didatangkan PT. Patra Jasa melalui kuasa hukumnya sebagai saksi ahli ini terlihat sangat membela kepentingan hukum pihak yang mendatangkannya.
Hal ini disebutkan tim kuasa hukum 44 warga Pulosari, dimana dalam Gugatan PMH ini, 44 warga Pulosari ini sebagai pihak penggugat yang rumahnya telah dirobohkan PT. Patra Jasa tanpa diberi ganti kerugian.
Apa yang membuat tim kuasa hukum 44 warga Pulosari ini menilai bahwa ahli ilmu hukum yang didatangkan PT. Patra Jasa ini tidak obyektif dan terlihat sangat membela kepentingan hukum pihak yang telah mendatangkannya?
Luvino Siji Samura, salah satu kuasa hukum 44 warga Pulosari menjelaskan tentang asas erga omnes yang diterangkan Prof. Dr. Elfrida Ratnawati Gultom, SH., M.Hum., M.Kn dimuka persidangan.
Kuasa hukum warga Pulosari ini tidak sependapat dengan alasan-alasan yang disampaikan ahli mengenai asas erga omnes ini.
“Ahli menerangkan bahwa erga omnes bisa dipakai dalam putusan perdata. Kami tidak setuju dengan penjelasan ahli,” tegas Luvino Siji Samura.
Putusan perdata, lanjut Luvino, bersifat relatif sehingga tidak berlaku asas erga omnes.
“Putusan perdata harusnya berdiri sendiri karena ada perbedaan antara subyek hukum dengan obyek hukumnya,” terang kuasa hukum warga.
Jika dalam putusan tersebut tidak disinggung orangnya sebagai obyek hukumnya, sambung Luvino, dan subyek hukum didalam gugatan tersebut, tidak boleh mengikat obyek hukum yang tidak ada dalam putusan tersebut.
Masih menurut Luvino, jika sebuah putusan bisa mengikat pihak lain yang tidak masuk dalam gugatan maupun putusannya, maka akan banyak orang yang menggunakan satu putusan untuk melakukan tindakan tertentu yang dapat merugikan pihak lain yang tidak masuk dalam pihak yang berperkara. Mengenai hal ini, ada Putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengatur tentang ini.
Luvino Siji Samura kembali menerangkan, dalam sebuah putusan perdata, asas yang digunakan adalah inter partes, bukan erga omnes.
Menyinggung tentang asas erga omnes, kuasa hukum warga Pulosari ini kembali menerangkan, erga omnes bersifat universal berlaku secara internasional dan disepakati seluruh negara.
“Dan erga omnes berlaku untuk adanya pelanggaran HAM berat, genosida, pembantaian dimana-mana. Kesepakatan ini disetujui semua negara,” ulas Luvino Siji Samura.
Ahli, lanjut Luvino, ingin mengarahkan bahwa asas erga omnes ini berlaku terhadap suatu putusan perdata yang telah menjadi satu entitas diputusan perdata tersebut sedangkan terhadap 44 warga Pulosari ini tidak ada dalam putusan yang sudah ada tersebut.
Jika memang asas erga omnes itu berlaku terhadap adanya putusan perdata yang sudah ada, lanjut kuasa hukum 44 warga Pulosari ini, mengapa didalam gugatannya sebelumnya, PT. Patra Jasa sampai menggugat 41 orang? Seharusnya cukup satu orang saja, dan putusannya akan berpengaruh atau mengikat 40 warga yang lain.
“Apabila hal ini dilanggar, sudah jelas bahwa tindakan tersebut telah melanggar ketentuan yang diatur dalam UU 1945. Dan jelas, bahwa masyarakat tidak ada due process of law. Lalu, apa gunanya ada kesetaraan hukum di negeri ini? Hukum itu dibentuk untuk apa?,” tanya kuasa hukum 44 warga Pulosari.
Meski ada beberapa keterangan ahli yang tidak sepakat, namun tim kuasa hukum 44 warga Pulosari sangat setuju dengan keterangan ahli yang menyinggung masalah sertifikat yang telah mati masa berlakunya tidak bisa dipakai lagi.
“Ahli juga mengakui bahwa sertifikat yang telah mati masa berlakunya dipakai sebagai alat bukti dalam gugatan, tidak bisa dikatakan sebagai personal standing judicial. Ini akan menjadi fakta hukum,” tandas kuasa hukum warga.
Kuasa hukum warga Pulosari kembali menegaskan, bahwa PT. Patra Jasa menganggap bahwa tanah seluas 65 ribu hektar itu adalah miliknya berdasarkan terbitnya putusan pengadilan.
Yang menjadi dasar putusan salah satunya adalah adanya sertifikat yang dijadikan alat bukti, padahal sertifikat itu telah mati masa berlakunya.
“Artinya, sertifikat yang telah mati masa berlakunya itu tidak bisa dipakai sebagai dasar untuk menghancurkan bangunan milik 44 warga Pulosari ini,” tegas Ananta Rangkugo, kuasa hukum 44 warga Pulosari yang lain.
Mengapa? Lanjut Ananta Rangkugo, sertifikat itu telah dihapus dan telah terbit sertifikat yang baru.
Ananta Rangkugo kembali menjelaskan, saat melakukan eksekusi terhadap rumah milik 44 warga Pulosari ditahun 2018, PT. Patra Jasa menggunakan sertifikat nomor 434 sedangkan sertifikat ini telah hapus dan terbit sertifikat baru nomor 677 sebagai alas hak yang baru.
Luasan tanah didalam sertifikat nomor 677 juga telah berubah. Dan BPN telah menghapus sertifikat 434 ini di buku tanah BPN.
Ananta Rangkugo kembali menjelaskan, bagaimana bisa sertifikat yang telah dihapus di buku tanah yang dimiliki BPN bisa dipergunakan kembali.
“Jika sertifikat yang telah hapus itu masih bisa dipergunakan untuk mengeksekusi bangunan warga, berarti ada permainan mafia tanah?,” singgung kuasa hukum warfa Pulosari ini.
PT. Patra Jasa, sambung kuasa hukum warga, saat melakukan eksekusi terhadap bangunan milik warga, berarti telah menggunakan sertifikat bodong?
Masih berkaitan dengan isi putusan diperkara perdata yang diajukan PT. Patra Jasa disebutkan bahwa yang menjadi dasar kepemilikan adalah sertifikat nomor 434 dengan luas 65 ribu meter persegi sedangkan sertifikat itu telah mati masa berlakunya dan telah terbit sertifikat baru dengan luasan yang berbeda.
Tim kuasa hukum 44 warga Pulosari kembali menerangkan, berdasarkan putusan yang telah ada dan menjadi yurisprudensi, banyak disinggung tentang adanya ganti kerugian yang harus diterima atau diberikan kepada orang yang menempati tanah dimana alas hak atas tanah itu adalah tanah negara, masih mendapat ganti kerugian.

Ahli pun mengakui hal itu dalam perkara becak kayu, dimana orang-orang yang menempati lahan tersebut mendapat ganti kerugian sebesar 40 persen.
Sementara itu, didalam persidangan sendiri, Prof. Dr. Elfrida Ratnawati Gultom, SH., Mhum., M.Kn banyak memberikan keterangan sebagai ahli dan teori-teori hukum keperdataan, mengenai status tanah dan status tanah negara.
Dari banyaknya teori hukum, baik berupa asas dan pandangan hukum yang disampaikan ahli dimuka persidangan, terlihat beberapa kali terjadi perdebatan antara ahli dengan tim kuasa hukum 44 warga Pulosari sebagai pihak penggugat.
Perdebatan ini dimulai dari pembahasan mengenai hak prioritas dimana hak prioritas itu masih diberikan kepada pihak atau seseorang pemegang Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) yang telah mati atau habis masa berlakunya.
Sebelum terjadi perdebatan, Ananta Rangkugo salah satu kuasa hukum 44 warga Pulosari bertanya tentang
adanya Warga Negara Indonesia (WNI) mendirikan bangunan diatas tanah negara, secara hukum WNI tersebut tidak memiliki hak kepemilikan atas tanah.
Lalu bagaimana status bangunan yang didirikan diatas tanah negara itu, apakah menjadi pemilik tanah ataukah WNI sebagai pemilik bangunan?
Ahli menjawab, yang menjadi pertanyaan kemudian, apakah negara memberikan ijin atau hak kepada masyarakat tersebut untuk mendirikan bangunan diatas tanah negara tersebut?
“Jika negara membiarkan warga negara itu mendiami tanah tersebut dalam kurun waktu tertentu, misalnya dua puluh tahun, ada kemungkinan orang warga negara ini mendapatkan hak melalui BPN, untuk mendapatkan tanah itu,” ujar ahli.
Namun, lanjut ahli, orang itu harus membuktikan bahwa daerah tersebut sudah menjadi pemukiman, ketika diajukan ke BPN ada surat dari RT, RW. Ini terhadap kepemilikan tanah.
Lalu, bagaimana dengan bangunan yang berdiri diatas tanah negara tersebut, padahal warga negara ini tidak pernah sama sekali melakukan pengurusan surat-surat kepemilikan tanah ke BPN?
“Kedepannya pasti ada tindakan hukum berupa penertiban. Siapa pihak yang akan melakukan penertiban atas berdirinya bangunan itu?,” tanya Ananta Rangkugo kepada ahli.
Ahli kembali menjawab, kalau negara mau menggunakan tanah itu namun negara keberatan dengan keberadaan bangunan-bangunan tersebut, maka yang melakukan penertiban adalah negara.
Kuasa hukum 44 warga Pulosari ini kembali bertanya, jika SHGB milik suatu badan hukum telah hapus karena tidak diperpanjang, telah berakhir masa berlakunya, apakah benar atas tanah itu akan kembali menjadi tanah negara?
Ahli lalu menjawab, apabila SHGB itu belum diperpanjang, misalnya sampai 10 tahun lamanya, negara masih tetap menunggu badan hukum pemegang SHGB tersebut untuk melakukan perpanjangan.
“Mengapa bisa demikian? Karena, badan hukum pemegang hak SHGB ini memiliki hak prioritas,” jawab ahli.
Berkaitan dengan hak prioritas ini, berdasarkan peraturan pemerintah. Sedangkan ada pernyataan dari BPN bahwa SHGB atas tanah itu sudah hapus dan kembali menjadi tanah negara.
Meski SHGB atas tanah itu sudah hapus dan ada pernyataan dari BPN bahwa tanah itu kembali menjadi tanah negara, menurut keterangan ahli, tanah itu tidak bisa langsung beralih menjadi tanah negara. Masih diberi kesempatan kepada pemegang SHGB. Inilah yang disebut hak prioritas.
Atas jawaban ahli ini, Ananta Rangkugo, salah satu kuasa hukum 44 warga Pulosari lalu bertanya, apakah hak prioritas ini statusnya sama dengan alas hak?
“Berarti hak priority ini hak exclusivitas? Lalu apa gunanya SHGB kalau masih ada hak prioritas yang begitu eksklusif? Pemikiran seperti ini sama halnya dengan jaman kolonial,” tanya Ananta Rangkugo.
Kepada ahli, Ananta Rangkugo kembali bertanya, status fisik, status SHGB, status fisik yang sudah mati apakah lebih tinggi dari buku tanah yang ada di buku pertanahan di BPN.
Untuk menjawab pertanyaan salah satu kuasa hukum 44 warga Pulosari yang mengajukan gugatan PMH ini, Prof. Dr. Elfrida Ratnawati Gultom, SH., M.Hum., M.Kn kemudian merujuk pada Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Atas Tanah.
Meski telah menunjukkan pasal 19 dan pasal 20 Peraturan Pemerintah nomor 40 tahun 1996, apa yang ditanyakan kuasa hukum 44 warga Pulosari ini masih belum terjawab.
Dipasal 19 maupun dipasal 20 PP Nomor 40 tahun 1996 itu hanya menjelaskan tentang siapa pihak yang berhak menjadi pemegang Hak Guna Bangunan, yaitu WNI serta badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Untuk pasal 20 ayat (1) PP nomor 40 tahun 1996 yang dibacakan Elfrida Ratnawati Gultom dimuka persidangan menjelaskan, pemegang Hak Guna Bangunan yang tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 dalam jangka waktu satu tahun, wajib melepaskan atau mengalihkan hak atas tanah tersebut kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Kemudian, pasal 20 ayat (2) PP nomor 40 tahun 1996 menyatakan, apabila dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) haknya tidak dilepaskan atau dialihkan, hak tersebut hapus karena hukum.
Pasal selanjutnya yang dibaca ahli dimuka persidangan adalah pasal 26 PP Nomor 40 tahun 1996. Namun pasal ini juga masih belum bisa menjawab Ananta Rangkugo salah satu kuasa hukum 44 warga Pulosari.
Kepada ahli, tim kuasa hukum 44 warga Pulosari kembali bertanya, bagaimana jika pemilik SHGB menelantarkan tanahnya, tidak pernah merawat tanahnya, tidak pernah dipagar, apakah pemegang SHGB itu masih dimungkinkan mendapat hak prioritas?
Atas pertanyaan tim kuasa hukum penggugat ini, ahli pun menjawab apabila ada bukti-buktinya maka pemegang SHGB itu tidak akan pernah mendapat hak prioritas.
Pada persidangan ini, Prof. Dr. Elfrida Ratnawati Gultom, SH., M.Hum., M.Kn diminta untuk menerangkan tentang horizontale scheiding beginsel atau asas pemisahan horisontal.
Terhadap SHGB yang telah hapus, ahli mengatakan bahwa SHGB itu sudah tidak dapat lagi dipergunakan.
Dalam persidangan ini sempat terjadi perdebatan antara kuasa hukum 44 warga Pulosari dengan Prof. Dr. Elfrida Ratnawati Gultom, SH., M.Hum., M.Kn yang didatangkan sebagai saksi ahli.
Perdebatan itu berkaitan dengan adanya rekening listrik dan rekening PDAM yang menurut pendapat tim kuasa hukum penggugat, adanya listrik dan air disuatu kawasan itu adalah sebuah eksistensi bahwa kawasan itu bukanlah kawasan liar.
Kuasa hukum penggugat dalam argumennya menyebutkan bahwa selama menempati lahan yang selama ini tidak pernah diurus itu, tidak pernah mendapat teguran, tidak pernah mendapat somasi, dan yang paling penting adalah ketika memasuki kawasan itu tidak pernah melihat sama sekali adanya resplang yang isinya peringatan untuk tidak memasuki kawasan tersebut.
Sementara itu, Prof. Dr. Elfrida Ratnawati Gultom dalam closing statementnya menyatakan orang yang mengambil hak orang lain tanpa alas hak yang jelas, orang tersebut tidak berhak.
Bahkan dalam persidangan ahli secara tegas menerangkan, jika ada bangunan berdiri diatas lahan yang tidak ada alas haknya, bisa langsung dihancurkan tanpa harus melakukan upaya hukum gugatan terlebih dahulu di pengadilan.
Statement ahli inilah yang kembali mendapat perdebatan dari tim kuasa hukum penggugat. Ananta Rangkugo salah satu tim kuasa hukum 44 warga Pulosari kemudian bertanya, apakah dengan langsung menghancurkan bangunan-bangunan itu tidak menimbulkan pidana, yaitu pengerusakan. (pay)
