SURABAYA (surabayaupdate) – Sidang laka lantas yang menyebabkan seorang pembeli STMJ di Jalan Manyar Kertoadi beberapa waktu yang lalu kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Rabu (24/2).
Dalam persidangan dengan agenda pemeriksaan saksi yang digelar di ruang sidang Sari 1 PN Surabaya ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan seorang polisi berpangkat Aiptu bernama Andi Suroso, petugas Traffic Analyst Accident (TAA) Direktortat Lalu Lintas (Ditlantas) Polda Jatim.
Pada persidangan yang terbuka untuk umum dihadapan majelis hakim yang diketuai Burhanuddin, SH ini, saksi Aiptu Andi Suroso dimintai keterangan seputar kecelakaan maut mobil Lamborghini yang dikemudikan terdakwa Wiyang Lautner.
Sebelum menjelaskan seputar kecelakaan, saksi Aiptu Andi Suroso menjelaskan terlebih dahulu seputar mekanisme penanganan kecelakaan yang menjadi standart Ditlantas Polda Jatim.
Lebih lanjut saksi Andi Suroso menjelaskan, untuk penanganan kecelakaan dalam suatu kejadian, data diambil dari kejadian laka lantas kemudian diaplikasikan dalam suatu proses analisa kejadian laka lantas sehingga didapatkan suatu sistem berdasarkan penelitian ilmiah hingga menjadi suatu kepastian sehingga mendekati situasi yang sebenarnya.
“Ilmu dasar yang dimiliki anggota TAA adalah fisik crash dan fisik rest. Foto-foto yang ada di Tempat Kejadian Perkara (TKP) diambil dengan teknik tertentu kemudian dimasukkan ke suatu program lalu dianalisa, “ ujar Andi.
Setelah dianalisa, lanjut Andi, kemudian dimasukkan dalam metode fisik crash. Dari sini kemudian dibuat simulasi tentang kejadian lalu lintas dimana dalam hal ini menggunakan ilmu science modern sehingga dalam membuat visual lalu lintas tersebut akan mendekati kejadian yang sebenarnya.
Belum sempat menjelaskan lebih banyak tentang standarisasi penanganan perkara di Ditlantas Polda Jatim, majelis kemudian memotong kesaksian Aiptu Andi Suroso. Majelis menganggap apa yang diungkapkan saksi Aiptu Andi Suroso di persidangan ini adalah sebuah teori yang seharusnya diungkapkan oleh seorang ahli, sedangkan saksi hanyalah seorang petugas laka lantas dan bukan saksi ahli.
Hakim Mangapul Girsang, salah satu hakim anggota kemudian menanyakan apakah saksi datang ke TKP pada waktu itu? Saksi kemudian menjawab turun ke TKP, namun 2 hari setelah kejadian. Ketika datang ke TKP, yang didapati saksi adalah kondisi kondisi korban yang sudah meninggal dunia.
“Berarti apa yang saudara saksi dapati kemudian disimpulkan itu adalah sebuah analisis, bukan melihat secara langsung dan dialami. Saksi hanya menggunakan ilmu-ilmu dasar dalam membuat analisis tersebut dengan menggunakan perangkat alat teknologi?, “ tanya hakim Mangapul Girsang.
Hakim kemudian diminta untuk menguraikan analisis yang sudah dibuatnya. Saksi kemudian menerangkan bagaimana kondisi korban terlempar dan gambaran korban yang terlempar berdasarkan hasil analisis yang dibuatnya tersebut mendekati sempurna.
Mendengar kesaksian ini, hakim kemudian menanyakan akurasi dari hasil analisis yang dibuatnya ini. Saksi tetap bersikukuh bahwa analisis yang dibuatnya itu mendekati sempurna tanpa bisa menyebutkan berapa persen tingkat kemelesetan dari analisis yang dibuatnya.
Hakim juga mempertanyakan masalah kecepatan yang didapati saksi berdasarkan tingkat akurasinya karena saksi menjelaskan untuk mendapati berapa kecepatan mobil Lamborghini tersebut hanya berdasarkan analisis yang dibantu perangkat-perangkat teknologi. Berarti, apa yang dikemukakan saudara saksi ini adalah keterangan ahli bukan fakta.
Dalam persidangan ini, saksi juga ditanya tentang spesialisasi yang ia miliki. Kemudian, atas spesialisasinya ini, saksi juga ditanya tentang sertifikasi atas keahlian yang dimilikinya di bidang laka lantas. Karena kesaksian yang diberikan saksi ini adalah kesaksian seorang ahli, maka di dalam persidangan ini, majelis akan melakukan pengambilan sumpah seorang ahli.
Meski sudah mengambil kesimpulan bahwa kesaksian yang diberikan Aiptu Andi Suroso ini adalah kesaksian ahli, saksi Andi Suroso tetap diminta menjelaskan bagaimana hasil kesimpulan yang ia dapatkan tentang kecelakaan ini.
Atas permintaan ini, saksi kemudian menjelaskan, berdasarkan hasil analisis yang sudah ia lakukan, kecepatan mobil Lamborghini saat itu sampai korban yang tertabrak terlempar sampai posisi akhir adalah 95,2 km/perjam.
“Kecepatan ini didapati dari foto-foto di TKP yang sudah dimasukkan ke program khusus. Posisi keep point dengan posisi korban sudah ada di program komputer yang ada di Unit TAA Ditlantas Polda Jatim, “ terang saksi.
Setelah itu, lanjut saksi dilakukan simulasi dengan memberikan kecepatan atas mobil Lamborghini secara bertahap mulai dengan kecepatan nol kemudian ditingkatkan lagi kecepatannya sehingga didapati posisi korban yang terlempar. Kalau belum sampai pada posisi jatuhnya korban, kecepatan akan ditambah lagi hingga ketemu posisi jatuhnya korban.
“ Dalam program ini sudah tersedia beberapa data seperti jenis kendaraan, termasuk kendaraan Lamborghini. Kemudian, dimasukkan pula dalam program, berat badan atau bobot korban. Untuk bobot korban dimasukkan angka 50 kg, “ papar saksi.
Sayangnya, bobot korban ini hanya berdasarkan asumsi karena saksi tidak mengetahui bobot korban yang sebenarnya. Untuk berat badan korban, hanya menggunakan perkiraan dengan melihat korban yang sudah tergeletak pada saat itu. Meski begitu, saksi juga menjelaskan, untuk berat badan korban ketika akan dimasukkan ke sistem simulasi ada pengaruhnya. Jika bobotnya di tambah, maka akan berpengaruh terhadap posisi jatuhnya korban saat itu.
“Untuk alat yang digunakan TAA Ditlantas Polda Jatim ini, di seluruh Indonesia hanya ada 5. Alat ini hanya dimiliki Ditlantas Polda Metro Jaya, Ditlantas Polda Jatim, Ditlantas Polda Jateng, Ditlantas Polda Sulawesi dan Ditlantas Polda Sumatera, “ kata saksi.
Selain menggunakan metode fisik crash, petugas TAA Ditlantas Polda Jatim juga menggunakan metode penglihatan goresan pada aspal sejauh 59 km. Metode ini disebut metode skitmart. Hasil dari metode skitmart inilah yang kemudian dibandingkan dengan hasil metode fisik crash. (pay)