SURABAYA (surabayaupdate) – Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang memeriksa dan memutus perkara pasal 263 ayat (1) terkait dengan diterbitkannya cover notes, melakukan akrobatik hukum terhadap pengalihan penahanan Prof. DR. Lanny Kusumawati Dra SH Mhum.
Jika sebelumnya, Guru Besar Fakultas Ilmu Hukum Universitas Surabaya (Ubaya) ini sudah dialihkan status penahanannya dari tahanan kota menjadi tahanan rumah tahanan negara (rutan), namun pada persidangan Selasa (27/2) di ruang sidang Candra PN Surabaya, majelis hakim kembali mengubah status penahanan Prof. DR. Lanny Kusumawati Dra SH Mhum.
Untuk sementara waktu, Prof. DR. Lanny Kusumawati Dra SH Mhum yang menjadi terdakwa dalam perkara dugaan tindak pidana pemalsuan surat atau membuat surat palsu berupa cover notes ini bisa bernafas lega dan tidak perlu menggunakan rompi tahanan, karena sejak hakim Maxi Sigarlaki, hakim PN Surabaya yang ditunjuk sebagai ketua majelis membacakan penetapan pengalihan penahanan untuk terdakwa Prof. DR. Lanny Kusumawati Dra SH Mhum, maka status penahanan terdakwa Prof. DR. Lanny Kusumawati Dra SH Mhum beralih menjadi tahanan kota kembali.
Apa yang membuat majelis hakim secepat itu mengalihkan kembali status penahanan terdakwa Prof. DR. Lanny Kusumawati Dra SH Mhum, dari tahanan rutan kini menjadi tahanan kota?
Hakim Maxi Sigarlaki mengatakan, setelah majelis hakim mengeluarkan penetapan pengalihan status penahanan terdakwa Prof. DR. Lanny Kusumawati Dra SH Mhum, Selasa (23/2) usai mendengarkan pembacaan dakwaan dari Jaksa I Gusti Putu Karmawan, jaksa Kejaksaan Negeri (Kejari) Surabaya yang ditunjuk sebagai Jaksa Penuntut Umum (JPU), majelis hakim menerima surat permohonan pengalihan penahanan untuk Prof. DR. Lanny Kusumawati Dra SH Mhum.
“Ada enam permohonan surat resmi yang diteriman majelis hakim. Surat permohanan itu berasal dari Ikatan Notaris Indonesia (INI) yang ditanda tangani ketua dan sekretaris INI, Alumni Ubaya yang berjumlah 21 orang dan mereka membubuhkan tanda tangannya, Dekan Fakultas Hukum Ubaya, suami dan surat permohonan dari anak-anak terdakwa,” ungkap Maxi, Selasa (27/2).
Khusus untuk surat yang dibuat dan ditanda tangani suami Prof. DR. Lanny Kusumawati Dra SH Mhum, lanjut Maxi, disana dijelaskan bahwa suami Prof. DR. Lanny Kusumawati Dra SH Mhum tersebut sedang mengalami stroke sehingga membutuhkan kehadiran seorang istri. Begitu juga dengan anak-anaknya. Dalam surat permohonan itu, anak-anak terdakwa bersedia sebagai penjamin.
Pertimbangan lain yang diungkap Maxi Sigarlaki terkait dengan disetujuinya pengalihan status penahanan Prof. DR. Lanny Kusumawati Dra SH Mhum adalah saat ini bulan ajaran baru bagi mahasiswa.
“Di Ubaya, terdakwa ada jadwal mengajar untuk para mahasiswa baru. Jika Prof. DR. Lanny Kusumawati Dra SH Mhum ditahan, maka hal itu akan membuat mahasiswanya menjadi terlantar. Dengan pertimbangan kehadiran terdakwa sangat dibutuhkan mahasiswa baru, hakim kemudian menjadikan hal ini masuk dalam pertimbangan hukumnya,” jelas Maxi.
Masih tentang pengalihan status penahanan, waktu awal dikelurkannya penetapan penahanan Prof. Lanny, Maxi berdalih bahwa majelis hakim belum mengetahui adanya permohonan pengalihan. Majelis hanya melihat berkas bahwa terdakwa ini layak untuk ditahan, tidak melihat kenapa harus ditahan.
“Untuk menahan seseorang kan harus ada alasan subyektif dan obyektif. Aspek yuridis memenuhi syarat untuk dilakukannya penahanan. Persoalannya, setelah dilakukan penahanan, ada permohonan ke majelis dan itu akhirnya yang dipertimbangkan majelis,” pungkas Maxi.
Saya, lanjut Maxi, tidak akan menjilat ludah saya sendiri, jika majelis tahu adanya permohonan dari pihak-pihak itu. Dalam aturannya sangat bisa, mau sepuluh kali pun bisa jika itu menyangkut kewenangan. Hal ini diatur dalam pasal 21 KUHAP. Namun, praktiknya tidak akan mungkin
“Tidak menutup kemungkinan terdakwa akan saya tahan lagi, jika terdakwa tidak mentaati persyaratan. Undang-Undang jelas menyatakan itu. Jika terdakwa tidak mentaati persyaratan, misalnya mengulangi perbuatannya menghilangkan barang bukti, maka terdakwa bisa ditahan lagi, begitu juga jika terdakwa tidak memperlancar persidangan, bisa ditahan lagi,” papar Maxi
Maxi tidak setuju jika majelis hakim sedang melakukan akrobat hukum. Seharusnya, dalam menyikapi perkara ini, harus menggunakan persepsi Undang-Undang. Hakim bertindak bukan karena kemauannya, harus ada dasarnya. Kalau tidak ada dasarnya, maka keliru hakimnya.
Selain menjelaskan tentang kewenangan seorang hakim ketika melakukan penahanan, Maxi juga menjelaskan bahwa penahanan Prof. DR. Lanny Kusumawati Dra SH Mhum ini dialihkan bukan ditangguhkan. Hakim di dalam proses penahanan, akan melihat urgensinya.
“Kalau cuma dalam permohonan itu hanya disebutkan mohon dialihkan, maka hakim akan mengabaikannya karena tidak ada alasan penting. Namun, dalam permohonan yang diajukan ke majelis hakim disebutkan bahwa suaminya dalam kondisi stroke, dua anaknya bersedia sebagai penjamin, maka hal ini akan menjadi pertimbangan hakim. Untuk menjawabnya, hakim haruslah mengeluarkan penetapan,” dalihnya.
Sementara itu, dalam putusan sela yang dibacakan Maxi Sigarlaki dinyatakan, majelis hakim secara tegas menolak nota keberatan atau eksepsi baik yang diajukan tim penasehat hukum Prof. DR. Lanny Kusumawati Dra SH Mhum maupun eksepsi yang dibuat dan dibacakan Prof. DR. Lanny Kusumawati Dra SH Mhum sendiri.
Menurut majelis hakim, eksepsi kuasa hukum terdakwa tidak membahas syarat materiil sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 143 ayat (2), begitu juga dengan syarat formilnya. Yang dibahas dalam eksepsi kuasa hukum terdakwa hanya perbuatan terdakwa. Jika menyangkut perbuatan terdakwa, harus perlu pembuktian di persidangan.
Untuk diketahui, terkait penahanan terdakwa Prof. DR. Lanny Kusumawati ini, berdasarkan surat penetapan pengalihan status penahanan dari tahanan kota menjadi tahanan Rutan yang dibacakan hakim Maxi Sigarlaki pada persidangan sebelumnya, Selasa (23/1) dinyatakan, terdakwa ditetapkan sebagai tahanan kota oleh JPU sejak 27 Nopember 2017 sampai 16 Desember 2017, kemudian dilakukan perpanjangan oleh Ketua PN Surabaya mulai 17 Desember 2017 sampai 15 Januari 2018. Terdakwa dilakukan penahanan hakim sejak 9 Januari 2018 sampai 7 Februari 2018.
Dalam sidang lanjutan yang digelar di ruang sidang Cakra PN Surabaya, Selasa (6/2), tim penasehat hukum terdakwa yang berjumlah enam orang, secara bergantian membacakan nota keberatan atau eksepsi. Pada persidangan yang terbuka untuk umum tersebut, Prof. DR. Lanny Kusumawati juga membacakan nota keberatan atau eksepsi yang ditulisnya sendiri.
Dalam nota keberatan atau eksepsi yang dibacakan penasehat hukum Prof. DR. Lanny Kusumawati yang terdiri dari Rizal Haliman, Alexander Arif, dan Poerwanto secara bergantian itu dinyatakan, perihal penjelasan cover note nomor : 35/LK/III/2012 tanggal 16 Maret 2012 dan copy surat dari Menkumham RI, Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Nomor : AHU.2-AH.0I.099815 tangal 3 Oktober 2012 yang ditujukan kepada Ketua PN Surabaya, pada inti dan isi serta penjelasannya tidak disampaikan sesuai fakta hukum yang sebenarnya, sebagaimana yang dimuat dalam Surat Dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Lebih lanjut dalam eksepsi itu dijelaskan, bahwa surat dakwaan yang disusun JPU, tidak berdasarkan pada penyidikan yang sah. Ada beberapa point yang dijabarkan dalam eksepsi tersebut, mengapa surat dakwaan tersebut tidak berdasarkan pada penyidikan yang sah.
Rizal Haliman, salah satu penasehat hukum terdakwa Prof. DR. Lanny Kusumawati saat membacakan nota keberatan menyatakan, terdakwa tidak pernah diperiksa sebagai saksi dalam proses penyidikan, namun langsung ditetapkan sebagai tersangka.
“Terdakwa dilakukan pemeriksaan tambahan dalam proses penyidikan sebagai tersangka berdasarkan surat panggilan kedua nomor : SP.Pgl/3899/VIII/2017/Satreskrim tanggal 29 Agustus 2017 untuk kehadiran tanggal 4 September 2017 sebagai tersangka dan diperiksa dalam Berita Acara Pemeriksaan Tambahan tersangka, tanpa didampingi penasehat hukum,” ujar Rizal.
Selain itu, dalam nota keberatan atau eksepsi yang disusun dan ditandatangani Muljo Hardijana, Alexander Arif, Rizal Haliman, Saiful Fachrudin, Poerwanto dan Abdullah Aziz Balmar itu juga disebutkan, surat dakwaan JPU obscur libel atau kabur dan tidak jelas serta tidak lengkap.
“Dengan adanya ketidak jelasan atau kabur di surat dakwaan yang disusun JPU itu mengakibatkan tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa bukan lagi merupakan tindak pidana mengingat terdakwa atas surat dakwaan ini menimbulkan kerugian bagi kepentingan terdakwa dalam mempersiapkan pembelaan,” jelas Alexander Arif saat membacakan nota keberatan. (pay)