SURABAYA (surabayaupdate) – Untuk mendukung dalil yang diungkapkan dalam gugatan gono gininya, seorang pengusaha cantik asal Surabaya yang sedang berperkara dengan mantan suaminya, datangkan dua orang saksi.
Tidak main-main. Dua orang saksi yang didatangkan Roestiawati Wiryo Pranoto pada persidangan gugatan gono gini di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya tersebut adalah Sudiman Sidabuke, seorang advokat ternama di Kota Surabaya.
Selain itu, untuk mendukung dalil-dalil yang diungkapkan dalam gugatan gono gininya, Roestiawati Wiryo Pranoto juga mendatangkan seorang ahli Hukum Perdata, yang juga dosen di Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) yaitu Dr. Ghansham Anand, S.H., M.Kn.
Pada persidangan yang terbuka untuk umum, Rabu (8/12/2021) itu, dua orang saksi yang didatangkan Roestiawati Wiryo Pranoto tersebut, dimintai keterangan secara terpisah dan bergantian.
Adalah Sudiman Sidabuke yang pertama kali didengar kesaksiannya pada persidangan yang digelar di ruang sidang Garuda I PN Surabaya tersebut.
Sudiman Sidabuke adalah advokat yang pernah mendampingi Roestiawati Wiryo Pranoto untuk perkara perceraiannya dengan Wahyu Djajadi Kuari.
Diawal kesaksiannya, Sudiman mengatakan, Roestiawati mengajukan cerai lantaran tidak tahan dengan sikap Wahyu Djajadi Kuari, seorang pengusaha aksesoris hp, yang pernah menjadi suaminya.
Selain itu, dalam kesaksian Sudiman dimuka persidangan, berdasarkan pengakuan Roestiawati kepadanya, Wahyu Djajadi Kuari ini adalah sosok suami yang temperamental dan sangat perhitungan dalam hal keuangan.
“Kepada saya, Roestiawati bersikukuh untuk bercerai dengan Wahyu Djajadi Kuari, mengingat sikap buruk yang selalu ditunjukkan Wahyu selama menjadi suami Roestiawati,” ujar Sudiman, Rabu (8/12/2021).
Meski Roestiawati sangat kuat keinginannya untuk bercerai dengan suaminya itu, lanjut Sudiman, namun Wahyu berusaha mencegah adanya perceraian diantara mereka berdua, dengan pertimbangan anak dari hasil perkawinan mereka.
Pada persidangan ini, Sudiman Sidabuke ditanya Dr.B.Hartono SH., SE.,SE.Ak.,MH.,CA, seorang advokat yang menjadi penasehat hukum Roestiawati, terkait psikologis yang diderita Roestiawati Wiryo Pranoto.
“Apakah saksi pernah melihat Roestiawati Wiryo Pranoto dalam keadaan tertekan dan kebingungan?,” tanya Hartono.
Mendapat pertanyaan ini, Sudiman kemudian bercerita, pada suatu malam, Roestiawati pernah menelepon dirinya. Sambil menangis, Roestiawati bercerita bahwa ada temannya yang dipukuli hingga mengalami luka-luka yang cukup serius.
“Kemudian, saya menyarankan kepada Roestiawati, untuk melaporkan kejadian itu ke polisi, dan dimintakan visum,” ungkap Sudiman.
Hal lain yang ditanya Hartono kepada Sudiman adalah tentang adanya surat perjanjian perdamaian antara Roestiawati Wiryo Pranoto dengan Wahyu Djajadi Kuari. Kepada Sudiman, Hartono bertanya, apakah ia mengetahui atau melihat adanya surat perjanjian perdamaian itu?
“Saya, awalnya tidak pernah mengetahui atau melihat adanya surat perjanjian perdamaian antara Roestiawati dengan Wahyu Djajadi Kuari,” jelas Sudiman.
Namun, sambung Sudiman, setelah akta perjanjian perdamaian itu dibuat dan ditanda tangani Roestiawati dan Wahyu Djajadi Kuari, barulah tahu.
“Pada waktu itu, Roestiawati Wiryo Pranoto menjelaskan, bahwa hartanya sekian sekian. Kemudian saya bilang begini, kalau hartamu sebanyak itu, kenapa kamu mau dikasih segitu ?,” tanya Sudiman kepada Roestiawati waktu itu.
Kemudian, lanjut Sudiman, Roestiawati bilang, ya sudahlah pak, yang penting urusannya sudah selesai.
Hal lain yang diterangkan Sudiman Sidabuke pada persidangan ini adalah tentang perjanjian perkawinan atau perjanjian pra nikah.
Lebih lanjut Sudiman menjelaskan, antara Roestiawati Wiryo Pranoto dengan Wahyu Djajadi Kuari, sebelum menikah, tidak pernah ada perjanjian perkawinan.
Usai mendengarkan kesaksian Sudiman Sidabuke, giliran Ghansam Anan yang memberikan penjelasan dan teori hukumnya, dimuka persidangan.
Banyak hal yang ditanyakan Dr.B.Hartono SH., SE.,SE.Ak.,MH.,CA. kepada ahli hukum perdata dari Unair ini, salah satunya tentang perjanjian yang dilakukan dibawah tekanan dan konsekuensi hukumnya.
Tentang perjanjian yang dibuat atau dilakukan dibawah tekanan, sebagaimana tertuang dalam pasal 1323 sampai 1327 KUHPerdata, Ghansam mengatakan, bahwa perjanjian itu bisa dibatalkan.
Lebih lanjut Ghansam mengatakan, Menurut ahli, suatu perjanjian, bisa dibatalkan karena seseorang dalam melakukan perjanjian tersebut, melakukan penyalahgunaan keadaan atau paksaan atau ancaman secara fisik atau psikologis, sehingga orang itu terpaksa menjalani perjanjian.
“Penyalahgunaan keadaan ini, bisa dilakukan seseorang yang mempunyai keunggulan secara psikologis, atau ekonomi, sehingga seseorang lainnya terpaksa menyetujui perjanjian tersebut,” ungkap Ghansam.
Lalu, apakah akta perjanjian bisa dibatalkan? Lebih lanjut Ghansam menjelaskan, akta hanyalah wadahnya atau bingkainya, isinya adalah perjanjian.
“Supaya akta itu bernilai otentik, maka ada syarat yang harus dipenuhi yaitu, yang membuat (akta) adalah pejabat yang berwenang,” ujar Ghansam.
Bentuk dan prosedurnya, sambung Ghansam, sebagaimana yang telah ditentukan, sebab pelanggaran bentuk dan prosedurnya, bisa menyebabkan terdegradasi. Kemudian isinya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dosen tetap Ilmu Hukum Unair ini menambahkan, karena akta ini adalah sebuah perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320, maka syarat sahnya suatu perjanjian harus dipenuhi.
Mengenai batalnya perjanjian yang tertuang dalam sebuah akta, Ghansam menjelaskan, akta perjanjian bisa saja dibatalkan, apabila tidak memenuhi syarat objektif maupun subjektif.
Lalu, apakah perjanjian perdamaian sama dengan perjanjian biasa? Terkait hal ini, Ghansam menjelaskan, perjanjian perdamaian sama dengan perjanjian biasa.
“Namun memiliki karakter yang berbeda. Secara umum memang perjanjian biasa, namun ada beberapa karakter yang membedakan. Perjanjian perdamaian diatur dalam pasal 1851 KUH Perdata,”papar Ghansam.
Tentang perdamaian, Ghansam menjelaskan, bahwa perdamaian adalah suatu perjanjian dimana salah satu pihak menjanjikan atau menahan satu barang, untuk mengakhiri suatu perkara yang berlangsung, atau mencegah timbulnya suatu perkara.
Ghansam kemudian menyebut tentang suatu pembatalan sebagaimana disebutkan dalam pasal 1322 KUH Perdata.
Dalam pasal 1322 KUH Perdata ini, Ghansam secara rinci menjelaskan, bahwa kesesatan bisa menjadi cacat kehendak atau kesesatan menjadi salah satu alasan cacat kehendak. Kesesatan ini bisa menjadi suatu gambaran yang keliru mengenai orang atau barang.
“Pasal 1322 disebutkan, jika kekhilafan terhadap objek, maka bisa terjadi suatu kebatalan. Sedangkan kekhilafan terhadap orang, tidak menjadi sebab kebatalan,” urai Ghansam.
Namun, lanjut Ghansam, dalam hal kekeliruan terhadap orang, dimana prestasi dari perjanjian khusus, hanya dapat dijalankan orang tersebut maka dapat dibatalkan.
Pada persidangan ini, ahli juga menjabarkan tentang pembatalan suatu perjanjian berdasarkan paksaan, tidak dapat dituntut lagi.
Terkait hal itu, Ghansam menyebutkan, pembatalan perjanjian diatur dalam pasal 1322-1327 KUH Perdata. Dan dalam pasal 1322-1327 KUH Perdata itu jelas ada gambaran, bahwa seseorang itu mengancam secara fisik atau secara psikologi, yang kemudian memaksa orang lain untuk menyepakati janjinya.
Ghansam kemudian menjelaskan tentang pasal 1328 KUH Perdata. Menurut Ghansam, dalam pasal 1328 KUH Perdata mengulas tentang penipuan yang menjadi alasan untuk membatalkan suatu persetujuan.
“Bila penipuan yang dipakai salah satu pihak adalah sedemikian rupa sehingga nyata, pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat” kata Ghansam.
Dipersidangan ini, Ghansam diminta untuk menjelaskan tentang penyalahgunaan kehendak. Lebih lanjut Ghansam mengatakan, seseorang dikatakan melakukan penyalahgunaan kehendak, ada tolok ukurnya, diantaranya adalah para pihak yang berkontrak dalam posisi yang sangat tidak seimbang, dalam upaya untuk menegosiasikan penerimaan dan penawaran.
“Kemudian pihak yang lebih kuat secara tidak rasional menggunakan kekuatan yang mendominasi tersebut untuk menciptakan suatu kontrak yang didasarkan pada tekanan dan ketidak seimbangan dalam melaksanakan hak dan kewajiban,”ujam Ghansam.
Bagaimana dengan pihak yang dalam posisi lemah? Ghansam pun menjelaskan, pihak yang dalam posisi lemah, tentu tidak memiliki pilihan lain selain menyetujui isi kontrak tersebut.
Bagaimana cara membuktikan ada atau tidaknya penyalahgunaan kehendak? Menurut ahli, hal itu bisa dilihat dari aspek formulasi isi perjanjian, yang mana prestasi dan kontra prestasi, yang dibebankan pada para pihak tidak berimbang secara mencolok bahkan tidak patut.
“Kemudian dari aspek proses dibuat. Hal ini bisa dilakukan karena salah satu pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih tinggi dan diuntungkan baik berupa kelebihan ekonomi, maupun psikologi,” imbuhnya.
Ghansam kembali menambahkan, dengan adanya cacat kehendak, maka suatu perjanjian dapat dibatalkan. (pay)
Post Views:
1,243