SURABAYA (surabayaupdate) – Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap Novi Rahman Hidhayat selama sembilan tahun penjara, dinilai diluar batas kewajaran.
Selain dinilai diluar batas kewajaran, penasehat hukum Novi Rahman Hidhayat pun bertanya-tanya, apa yang mendasari penuntut umum mengajukan tuntutan sembilan tahun penjara, sementara tidak satupun dakwaan penuntut umum terbukti.
Menanggapi tingginya tuntutan yang diterima terdakwa Novi Rahman Hidhayat tersebut, selain menangkap ada yang janggal dalam perkara ini, penasehat hukum terdakwa secara tegas menyatakan, bahwa Bupati Nganjuk non aktif ini sepertinya telah dikriminalisasi.
Penilaian ini diungkapkan salah satu tim penasehat hukum Novi Rahman Hidhayat, Ari Hans Simaela usai mendampingi Novi Rahman Hidhayat dari persidangan virtual di Rutan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jatim, Kamis (30/12/2021).
Lebih lanjut Arie menjelaskan, ada beberapa alasan mengapa tim penasehat hukum Novi Rahman Hidhayat ini menilai bahwa tuntutan sembilan tahun penjara yang dimohonkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Eko Baroto dari Kejaksaan Agung RI dan Andie Wicaksono serta Sri Hani Susilo masing-masing dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Nganjuk untuk Bupati Nganjuk non aktif tersebut diluar batas kewajaran.
Berdasarkan saksi-saksi yang sudah diperiksa dipersidangan, termasuk lima orang Camat yang ikut jadi terdakwa dan sudah diputus bersalah, tidak ada satupun kesaksian yang menyatakan bahwa Novi Rahman Hidhayat menerima uang suap jual beli jabatan dilingkungan Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Nganjuk.
“Tuntutan penuntut umum untuk terdakwa Novi Rahman Hidhayat itu dzalim. Mengapa? Sepanjang pemeriksaan saksi-saksi yang dihadirkan penuntut umum sendiri, tidak ada satupun yang melihat, meyaksikan pihak-pihak tertentu memberikan sejumlah uang kepada Bupati Novi Rahman Hidhayat sebagai uang suap,”ujar Ari.
Yang mengherankan lagi, lanjut Ari, uang sebesar Rp. 11 juta yang dulu pernah disita dari Jumali, penuntut umum meminta kepada majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini, dalam amar putusannya, untuk mengembalikan uang itu kepada Jumali.
Masih menurut penjelasan Ari, uang Rp. 11 juta inilah yang menjadi awal mula timbulnya perkara dugaan suap yang menjadikan Novi Rahman Hidhayat sebagai terdakwa.
Mencermati permintaan penuntut umum tersebut, tim penasehat hukum terdakwa Novi Rahman Hidhayat menilai bahwa perkara yang menjadikan Bupati Nganjuk sebagai terdakwa dugaan tindak pidana korupsi ini sangat aneh.
“Bukan hanya aneh. Semenjak terdakwa Novi Rahman Hidhayat ditangkap dirumahnya kemudian dibawa tanpa prosedur yang benar mengindikasikan ada pihak-pihak tertentu yang bersemangat ingin menghancurkan karir politiknya serta memenjarakan terdakwa Novi Rahman Hidhayat,” ungkap Ari.
Sebagai salah satu penasehat hukum terdakwa Novi Rahman Hidhayat, Ari kemudian membeberkan kejanggalan demi kejanggalan dari kasus Bupati Nganjuk ini.
Kejanggalan pertama yang diungkap Ari adalah Jumali tidak dijadikan terdakwa dalam perkara ini, padahal dari awal kasus ini terjadi, ada uang sebesar Rp. 11 juta yang disita dari Jumali.
“Patut diingat bahwa uang Rp. 10 juta adalah hasil patungan lima kepala desa, dimana masing-masing memberikan Rp. 2 juta dan Sugeng Purnomo masuk didalamnya. Dialah yang memprakarsai atau menjadi inisiator,” beber Ari.
Kepada para kepala desa tersebut, lanjutnya, Sugeng Purnomo lah yang mengumpulkan dari kelima kepala desa tersebut. Kemudian, dari uang yang sudah terkumpul itu akan diberikan Sugeng Purnomo ke Jumali yang waktu itu menjabat sebagai Camat Pace.
“Uang sebesar Rp. 10 juta yang ketika itu dalam penguasaan Jumali kemudian disita. Dari sinilah akhirnya berkembang sampai kepada penangkapan Bupati Novi Rahman Hidhayat dan para camat yang lain,” kata Ari
Dengan dikembalikan uang Rp. 10 juta yang dikumpulkan Sugeng Purnomo ditambah uang transport sebesar Rp. 1 juta, Ari menilai bahwa dalam perkara yang menimpa Novi Rahman Hidhayat ini, tidak ada unsur pidananya.
Yang lebih ironis lagi menurut Ari, uang sebesar Rp. 647.900.000 yang juga disita dari brankas rumah dinas Bupati Nganjuk ketika itu, hingga saat ini, tidak ada satu saksipun yang dapat memberikan keterangan yang benar, bahwa uang tersebut hasil pemberian suap pihak-pihak tertentu, termasuk para camat atau kepala desa yang ingin naik jabatan atau pindah tugas ke tempat yang ia inginkan.
“Berdasarkan saksi fakta yang dihadirkan penuntut umum dipersidangan sebelumnya, saksi Riana yang bekerja diperusahaan Novi Rahman Hidhayat sebagai tenaga accounting menerangkan, bahwa uang sebesar Rp. 647.900.000 tersebut adalah keuntungan atau deviden dari perusahaan yang mengelola SPBU milik terdakwa,” papar Ari
Polisi yang melakukan penggeledahan dan turut dijadikan saksi, sambung Ari, kemudian dihadirkan dipersidangan, tidak bisa membuktikan, bahwa uang sebesar Rp. 647.900.000 adalah uang hasil suap.
“Padahal, saksi ini ikut membuka brankas dari rumah dinas Bupati Nganjuk dan melihat uang sebanyak Rp. 647.900.000 didalam brankas,” kata Ari.
Masih menurut Ari, polisi yang dihadirkan dipersidangan itu, makin tidak bisa menjawab apa-apa ketika ditanya, apakah uang sebanyak Rp. 647.900.000 itu berada dalam amplop, atau diikat karet atau ditumpuk menjadi beberapa tumpukan uang atau bagaimana? Yang jelas, saat brankas dibuka, terlihat tumpukan uang pecahan Rp. 50 ribu dan pecahan Rp. 100 ribu didalam brankas tersebut.
Penasehat hukum terdakwa Novi Rahman Hidhayat ini mengatakan bahwa uang itu baru diambil dari bank, untuk dipakai membeli parcel dan kebutuhan zakat untuk Lebaran.
Ari kemudian memberikan ilustrasi tentang dugaan suap yang diterima terdakwa Novi Rahman Hidhayat. Menurut Ari, jika dibandingkan dengan pendapatan terdakwa Novi sebagai seorang pengusaha dengan pendapatan pertahun Rp. 5-6 miliar, kemudian dibandingkan dengan barang bukti uang sebesar Rp. 10 juta yang dikatakan sebagai uang suap, apakah hal itu masuk akal?
“Hakim dalam suatu persidangan, sempat menanyakan ke terdakwa, berapa pendapatan terdakwa dalam satu tahun. Terdakwa Novi Rahman Hidhayat pun menjawab Rp. 5-6 miliar,” cerita Ari.
Kemudian, jika Novi sampai mau menerima uang Rp. 10 juta sebagai uang suap, sambung Ari, apakah ini sepadan dengan resiko yang akan ia rasakan atau terima?
Tidak dijadikannya Jumali sebagai tersangka upaya dugaan penyuapan, menambah kecurigaan tim penasehat hukum terdakwa Novi Rahman Hidhayat.
Menurut Ari, dalam UU Tindak Pidana Korupsi, menjanjikan saja sudah bisa dipidana. Dengan adanya keinginan jaksa mengembalikan uang yang disita dari Jumali sebesar Rp. 10 juta bagi Ari akan menimbulkan tanda tanya, ada apa dengan jaksa?
Hal janggal lain dalam pengungkapan kasus yang menimpa Bupati Nganjuk non aktif ini adalah tidak diseretnya mantan ajudan Novi Rahman Hidhayat yang bernama Izza Muhtadin.
Lebih lanjut Ari pun mengatakan, pada persidangan sebelumnya, beberapa saksi yang sudah dihadirkan dipersidangan secara jelas mengatakan bahwa Izza Muhtadin telah menyalahgunakan jabatannya untuk mencari keuntungan pribadi.
“Terkait adanya penyalahgunaan jabatan ini juga diakui Izza Muhtadin. Dia juga mengakui, yang sering meminta uang ke camat-camat. Kemudian, uangnya untuk membeli mobil, memperbaiki rumah dan foya-foya. Mengapa pengakuan Izza ini diabaikan?,”tanya Ari.
Mobil yang dibeli Izza dari meminta uang ke camat-camat itu, sambung Ari, juga tidak disita. Begitu juga uang Izza yang disimpan di bank, juga tidak dilakukan penyitaan.
Kejanggalan selanjutnya yang diungkap Ari adalah penangkapan Novi yang tidak ada surat penangkapannya. Setelah dibawa, dalam perjalanan Novi dipaksa mengakui adanya suap yang sudah ia terima sebesar Rp. 5 miliar.
Namun, jumlah uang yang dihembuskan telah diterima terdakwa Novi Rahman Hidhayat bukan lagi menjadi Rp. 5 miliiar, berubah menjadi Rp. 647.900.000 begitu tim yang menangkap Novi menemukan uang tersebut dari brankas rumah Bupati Nganjuk.
Kemudian, proses penangkapan Jumali juga sangat aneh. Ari pun menceritakan, Jumali yang menjabat sebagai Kades Joho ini ditangkap dirumahnya, bukan dalam perjalanan kerumah Dupriono seorang Camat Pace untuk mengantar uang.
Sementara itu, dari ruang sidang Pengadilan Tipikor, Kamis (30/12/2021) Tis’at penasehat hukum terdakwa Novi Rahman Hidhayat saat membacakan nota pembelaan atau pledoinya menyebutkan, pertimbangan hukum JPU dalam surat dakwaan juga terkesan kontradiktif dengan fakta persidangan yang ada.
Masih mengenai isi nota pembelaan atau pledoi terdakwa Novi Rahman Hidhayat yang dibacakan salah satu penasehat hukumnya, penangkapan terhadap terdakwa Novi Rahman Hidhayat juga sama sekali tidak memenuhi unsur tertangkap tangan, karena tidak sedang melakukan tindak pidana atau menerima uang, karena kenyataannya terdakwa Novi Rahman Hidhayat tidak pernah menerima uang dari siapapun sebagaimana didakwakan JPU. (pay)