SURABAYA (surabayaupdate) – Notaris Edhi Susanto dan Feni Talim yang menjadi terdakwa dugaan tindak pidana membuat surat palsu dan dugaan tindak pidana menggunakan surat palsu ajukan nota pembelaan atau pledoi dipersidangan.
Nota pembelaan atau pledoi yang diajukan pasangan notaris itu dibacakan tim penasehat hukum kedua terdakwa Kamis (6/10/2022) di ruang sidang Garuda 2 Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Selain nota pembelaan atau pledoi dalam perkara Edhi Susanto dan Feni Talim, dipersidangan hari ini, terdakwa Feni Talim, SH., M.Kn juga membacakan nota pembelaan atau pledoi pribadi.
Berdasarkan nota pembelaan atau pledoi untuk perkara nomor : 911/Pid.B/2022/PN.Sby itu, terdakwa Edhi Susanto dan dinomor perkara : 912/Pid.B/2022/PN.Sby, terdakwa Feni Talim meminta kepada majelis hakim yang memeriksa dan memutus kedua perkara tersebut supaya membebaskan kedua terdakwa dari segala dakwaan hukum atau vrijspraak.
Kedua terdakwa dalam nota pembelaannya itu juga meminta kepada majelis hakim supaya melepaskan mereka berdua dari segala tuntutan hukum atau onslag van rechtsvervolging.
Masih berdasarkan nota pembelaan yang dibacakan tim penasehat hukumnya, terdakwa Edhi Susanto dan Feni Talim juga meminta supaya majelis hakim dalam putusannya juga menetapkan rehabilitasi atau memulihkan nama baik kedua terdakwa.
Berdasarkan nota keberatan atau pledoi sebanyak 68 halaman itu juga dijelaskan, atas prinsip due process of law, kedua terdakwa melalui tim penasehat hukumnya berharap majelis hakim dalam mengelaborasi fakta-fakta hukum guna sampai pada legal reasoning, tetap mengedepankan nurani keadilan dan kepastian hukum atau legal certainty diperkara ini.
“Terdakwa Edhi Susanto dan terdakwa Feni Talim tidak terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana membuat surat palsu dan atau menggunakan surat palsu, sebagaimana dakwaan Penuntut Umum,” ujar M. Churniawan, SH salah satu tim penasehat hukum kedua terdakwa, saat membacakan nota pembelaan atau pledoi dipersidangan.
Masih menurut Churniawan saat membacakan nota pembelaannya, terdakwa Edhi Susanto dan terdakwa Feni Talim tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana karena tidak terdapat kesalahan yang dilakukan terdakwa Edhi Susanto, begitu pula dengan terdakwa Feni Talim.
Tim penasehat hukum terdakwa Edhi Susanto dan terdakwa Feni Talim kemudian mengutip pendapat M. Yahya Harahap, SH dalam bukunya “Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP Penyidikan Dan Penuntutan ” edisi ke-2 yang diterbitkan Sinar Grafika tahun 2001, halaman 95.
Berdasarkan buku itu dijelaskan, dalam menangani tindak pidana, tidak seorangpun berada atau menempatkan diri diatas hukum ( no one is above the law) dan hukum harus diterapkan kepada siapapun berdasarkan prinsip perlakuan yang adil dan dengan cara yang jujur (faith manner).
“Esensi due process dalam setiap penegakan dan penerapan hukum, harus mentaati hukum. Oleh karena itu, due process tidak memperbolehkan pelanggaran terhadap suatu bagian ketentuan hukum dengan dalil menegakkan bagian hukum lain,” jelas Churniawan mengutip isi nota pembelaan yang dibacakannya dimuka persidangan.
Tim penasehat hukum terdakwa Edhi Susanto dan Terdakwa Feni Talim dalam nota pembelaan atau pledoinya juga menerangkan, bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam tuntutannya, nampak hanya bersandar pada apa yang dikatakan Hardi Kartoyo sebagai pelapor.
“Pelapor menyebutkan, bahwa ia mengalami kerugian Rp. 16 miliar. Klaim kerugian Hardi Kartoyo sebagai pelapor adalah sebuah ilusi belaka dan tidak realistis, mengingat nilai tersebut adalah nilai jual tanah penjual kepada pembeli,” kata Churniawan saat membacakan nota pembelaan terdakwa Edhi Susanto.
Sedangkan tanahnya, lanjut Churniawan, tidak terjadi jual beli karena pelapor tidak pernah mau menghadirkan istrinya yang namanya tercatat dalam sertifikat serta merubah komitmen awal kesepakatan jual beli.
Masih berdasarkan isi nota pembelaan terdakwa Edhi Susanto yang dibacakan Churniawan dimuka persidangan, batalnya jual beli tanah karena keinginan Hardi Kartoyo, sedangkan pembeli menghendaki dilanjutkannya jual beli.
Dalam nota pembelaan atau pledoi yang dibuat dan ditanda tangani Pieter Talaway, SH., CN., MBA., Ronald N Talaway, SH., M. Churniawan, SH., Dona A. Timisela, SH., Jhony Loppies, SH., Dia Pradana Saleh, SH., Saiful Fachrudin, SH., MH., Winston R. Patty, SH dan Theresia Halim, SH ini juga dijelaskan, akibat batalnya jual beli, pelapor memperoleh keuntungan yang kongkrit berupa uang muka atau DP pembeli sebesar Rp. 500 juta ditambah uang PBB.
Pajak tanah selama 10 tahun tersebut belum dibayar Hardi Kartoyo sebagai pelapor, namun dibayar Tiono Satria Dharmawan terlebih dahulu sebagai pembeli terlebih dahulu sebesar Rp. 151.468.623.
Tim penasehat hukum terdakwa Edhi Susanto dan terdakwa Feni Talim dalam nota keberatan atau pledoi terdakwa Edhi Susanto juga menerangkan, bahwa Hardi Kartoyo sebagai pelapor, sengaja merekayasa (fabricate) dan men-tersangka-kan Tiono Satria Dharmawan sebagai pembeli serta terdakwa Edhi Susanto dan terdakwa Feni Talim, dengan memasalahkan tanda tangan pada surat-surat untuk pengurusan pengukuran ulang dan penggantian sertifikat adalah palsu karena bukan tanda tangan istrinya.
“Hal itu tentunya bertujuan supaya Hardi Kartoyo tidak perlu mengembalikan uang DP dan uang pajak serta memperoleh sertifikat baru dengan blanko Garuda, dan pengukuran ulang luas tanah yang sebenarnya,” ungkap Churniawan saat membacakan nota pembelaan atau pledoi terdakwa Edhi Susanto.
Churniawan saat membacakan nota pembelaan terdakwa Edhi Susanto juga menyatakan, jika Hardi Kartoyo ingin menjual tanahnya menjadi lebih mudah tanpa hambatan persyaratan pengukuran ulang luas tanahnya dan blangko sertifikat lama berlogo Bola Dunia. Ini membuktikan itikad buruk pelapor.
Dengan adanya uraian tersebut, maka tim penasehat hukum terdakwa Edhi Susanto dan terdakwa Feni Talim mengatakan bahwa unsur dapat menimbulkan kerugian tidak terpenuhi secara sah dan meyakinkan. (pay)