surabayaupdate.com
HEADLINE HUKUM & KRIMINAL INDEKS

Menurut Ahli Hukum Kepailitan, Debitor Yang Menjalankan Homologasi Tidak Bisa Dipailitkan Dan Tidak Boleh Diajukan PKPU Ulang

Prof. Dr. Hadi Subhan, SH., MH saat menjadi ahli dipersidangan permohonan PKPU PT CESS di PN Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

SURABAYA (surabayaupdate) – Adanya permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang diajukan PT. Cahaya Energi Semeru Sentosa (CESS) terhadap PT. Cahaya Fajar Kaltim (CFK) mendapat penilaian seorang ahli hukum ilmu kepailitan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Prof. Dr. Hadi Subhan, SH., MH., CN yang dihadirkan PT. CFK pada persidangan ini juga menegaskan, bahwa debitur yang sedang melaksanakan isi perjanjian perdamaian, tidak bisa dipailitkan, apalagi sampai diajukan PKPU ulang.

Menurut Ahli Hukum Ilmu Kepailitan dan PKPU ini, ada beberapa dasar hukum yang membuat mengapa debitur yang sedang melaksanakan isi perjanjian perdamaian tidak bisa diajukan PKPU kembali.

Diawal persidangan, Prof Hadi Subhan diminta untuk menjelaskan maksud dan tujuan dilakukannya Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Lebih lanjut ahli menjelaskan, dalam prinsip sistem hukum Eropa dan Amerika, PKPU itu disebut sebagai alat untuk menyelesaikan utang-utang debitur secara kolektif.

“Kalau kepailitan dengan pemberesan, penyelesaian utang-utang debitur dalam PKPU dengan cara restrukturisasi utang,” ujar Prof. Dr. Hadi Subhan, Selasa (6/2/2024).

Karena sifatnya kolektif, lanjut Prof. Hadi Subhan, maka semua penyelesaian yang bersifat parsial, tidak diperbolehkan

Prof. Dr. Hadi Subhan kembali menjelaskan, didalam PKPU itu restrukturisasi yang mengikat semua krediturnya.

“Sehingga, dalam PKPU itu tujuannya melakukan restrukturisasi utang secara kolektif,” papar Prof. Hadi.

Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Airlangga ini juga mengatakan, bahwa PKPU itu diberikan instrumen-instrumen kepada debitur untuk menghindari Kepailitan ataupun menghindari tagihan-tagihan yang lain.

“Jadi, kalau ada seseorang diajukan proses PKPU, maka orang itu tidak bisa dipailitkan apalagi sampai digugat lain,” ungkap Prof. Hadi.

Begitu pula jika orang itu sedang menjalankan homologasi, sambung Prof. Hadi, maka orang itu tidak bisa dipailitkan dan tidak boleh diproses ulang diajukan PKPU.

Mengapa seseorang yang sedang menjalani proses PKPU dan homologasi tidak bisa dipailitkan apalagi sampai digugat lain? Karena, menurut Prof. Hadi Subhan, PKPU itu adalah alat restrukturisasi utang secara kolektif.

Pada persidangan ini, ahli Ilmu Kepailitan ini juga diminta untuk menjelaskan syarat apa saja yang harus dipenuhi sehingga permohonan PKPU yang sedang diajukan itu dapat diterima?

Lebih lanjut ahli menjelaskan, bahwa syarat PKPU, syarat Pailit dan syarat pembatalan homologasi itu pada dasarnya sama secara substantif.

“Pertama adalah adanya utang, minimal dua kreditur dan akan dibuktikan. Hal itu berlaku untuk pailit, PKPU dan pembatalan homologasi,” ujar ahli.

Ahli juga menerangkan, bahwa semua pemohon harus mempunyai legal standing karena ada prinsip tiada gugatan tanpa kepentingan.

“Jadi orang yang boleh mengajukan gugatan adalah orang yang mempunyai kepentingan,” ujar Prof. Hadi Subhan.

Syarat kedua yang dijelaskan ahli terkait dengan permohonan Pailit, permohonan PKPU dan permohonan pembatalan homologasi adalah mempunyai persyaratan formal.

Menurut ahli, berdasarkan peristiwa yang pernah ia teliti, ada permohonan yang ditolak karena debitor yang dimohonkan pailit itu ditolak karena alamatnya tidak jelas, bukan karena utang, bukan karena pembuktian dan bukan karena kreditor.

Kasus lain yang pernah diteliti ahli, ketika ada BUMN yang diajukan Pailit dan PKPU oleh pihak yang tidak memiliki kewenangan serta tidak memiliki legal standing. Gugatan ini akhirnya juga ditolak karena bukan karena tidak terpenuhinya syarat materiil.

PKPU masih menurut ahli sifatnya haruslah mengikat semua kreditor. Berarti disini ada saling keterkaitan satu pihak dengan pihak lainnya.

Karena saling terkait maka disitu ada irisan kepentingan antara kreditor satu dengan kreditor lainnya, begitu juga dengan debitor.

Oleh karena itu, menurut ahli, karena sifatnya kolektif, maka keabsahan validitas dari piutang haruslah betul-betul presisi.

“Jika saya mengajukan utang atau piutang sebesar Rp. 10 miliar, pada hakekatnya saya memiliki hak terhadap debitor sebesar Rp. 10 miliar,” kata ahli.

Dalam Kepailitan berkaitan dengan pemberesan, sambung ahli, di PKPU berkaitan dengan suara yang akan diperoleh, begitu juga dengan restrukturisasi utang.

Masih menurut penjelasan ahli, utang yang didaftarkan kreditor yang namanya piutang kreditor, haruslah dilakukan verifikasi. Makanya, ada ancaman pidana KUHP maupun Undang-Undang Keperdataan. Karena hal itu dapat merugikan pihak lain.

Dalam PKPU, juga akan dilakukan voting terhadap proposal perdamaian. Oleh karena itu, utang tersebut harus dipastikan presisi.

Untuk menentukan besarnya utang ini, menurut penjelasan ahli, akan diadakan rapat verifikasi utang atau rapat pencocokan piutang.

Dalam rapat itu, menurut ahli, utang maupun piutang yang diajukan tidak boleh dikurangi, tidak boleh ditambah.

“Kalau utang atau piutang itu ditambah maka akan merugikan debitor atau kreditor yang lain, kalau dikurangi akan merugikan kreditor yang bersangkutan,” papar ahli.

Pertanyaan lain yang diajukan ke ahli Ilmu Kepailitan ini adalah apakah ada hak suara tanpa adanya utang?

Menanggapi pertanyaan ini, ahli mengatakan tidak mungkin ada utang tanpa ada hak suara. Dalam penjelasannya ahli mengatakan bahwa utang itu dihitung dari jumlah hak suara.

Pada persidangan ini, ahli juga menerangkan adanya perbedaan mekanisme koreksi yang ada didalam kepailitan dengan PKPU.

Johanes Dipa Widjaja saat bertanya ke ahli ilmu hukum Kepailitan. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

Terkait hal itu, ahli menjelaskan, dalam Kepailitan ada keberatan terhadap kurator kemudian renvoi ke hakim pengawas diteruskan kepada hakim pemutus, bahkan bisa kasasi ke Mahkamah Agung.

“Namun, didalam PKPU, cukup Hakim Pengawas. Mengenai jumlah suara maupun jumlah piutang. Hakim Pengawas akan mengeluarkan penetapan,” papar ahli.

Penetapan yang dikeluarkan hakim pengawas itu, sambung ahli, sifatnya final. Mengapa? Karena, didalam PKPU, waktu pengambilan keputusannya cepat, beda dengan Kepailitan yang masih menyangkut tentang pemberesan utang maupun piutang, bisa memakan waktu yang cukup lama.

Terkait pemberesan Kepailitan di Indonesia, ahli menyebutkan, lama penyelesaiannya sampai lima tahun, bahkan ada yang hanya 3,5 tahun.

Karena semua proses didalam PKPU seperti rapat pendaftaran piutang, rapat pencocokan utang, rapat kreditur, penawaran proposal perdamaian, pelaksanaan voting, semuanya telah diatur dalam proses PKPU maka semua hal tersebut diserahkan kepada Hakim Pengawas dan akhirnya hakim pengawas mengeluarkan penetapan.

Karena penetapan yang dikeluarkan hakim pengawas didalam PKPU bersifat final, maka jika ada dalam homologasi dinyatakan pailit, akan dibuka kembali pendaftaran piutang.

Dalam kepailitan, jika dirasa tidak menyetujui, maka bisa melakukan renvoi prosedur, bisa mengajukan keberatan ke hakim pemutus bahkan bisa mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

Ahli kemudian menjelaskan, dapatkan sebuah tagihan yang telah dibantah kemudian ditetapkan hakim pengawas, dijadikan dasar untuk mengajukan PKPU kembali?

Terkait hal ini, ahli kemudian menjelaskan tentang utang yang sudah definitif ditinjau dari pasal 229 UU Kepailitan.

Ahli mengatakan, bahwa penetapan yang dikeluarkan hakim pengawas itu sifatnya final. Dan berdasarkan pasal 229 UU PKPU dan Kepailitan, maka PKPU itu sifatnya restricted sehingga penetapan hakim pengawas itu adalah final.

Karena sifatnya final, maka berlaku prinsip res judicata. Karena penetapan dianggap sebagai sesuatu yang final maka haknya telah ditetapkan hakim pengawas bukan haknya sebagaimana yang diminta kreditor namun sudah dibantah itu telah dikuatkan hakim pengawas.

PKPU yang sedang menjalankan homologasi, ahli menjelaskan, ada dua penyelesaian berdasarkan kejadian yang pernah terjadi.

“Kalau piutang itu dasarnya sebelum homologasi, dimungkinkan melakukan upaya hukum apapun termasuk melakukan gugatan di pengadilan negeri,” jelas ahli.

Bagaimana jika utang itu timbul setelah homologasi? Ahli menjelaskan, ada konsensus untuk tidak melakukan PKPU jika sedang melaksanakan homologasi.

Dalam persidangan ini, ahli juga menjelaskan tentang filosofi tentang tidak diperbolehkannya dilakukan PKPU ketika sedang menjalankan proses homologasi.

Tidak ada satu ketentuan pun yang menyatakan berakhirnya penghapusan perikatan karena adanya kepailitan seseorang maupun PKPU seseorang yang ada adalah perikatan hapus karena ada pembayaran, kadaluarsa.

Masih didalam persidangan, ahli juga dimintai pendapat tentang suatu tagihan yang jumlahnya telah dibantah itu bisa dianggap sebagai tagihan yang belum pernah didaftarkan?

Secara tegas hakim menjawab tidak bisa. Alasannya, penetapan hakim pengawas terkait tagihan yang dibantah itu sifatnya final karena sudah melalui proses verifikasi utang.

Ahli dalam persidangan ini kembali mempertegas bahwa homologasi itu mengikat semua kreditor, baik kreditor yang sudah mendaftar maupun yang belum mendaftar, kreditor setuju maupun yang tidak setuju, sepanjang quorumnya memenuhi.

Ditemui usai persidangan, Johanes Dipa Widjaja, SH.,S.Psi., M.H., C.L.A, salah satu kuasa hukum PT. CFK mengatakan, sejak adanya Focus Group Discussion (FGD) di Semarang dan Surabaya, terhadap Debitur yang sedang menjalankan isi perjanjian yang telah dihomologasi, tidak bisa diajukan permohonan PKPU atau kepailitan kembali.

“Karena hal itu akan menimbulkan permasalahan hukum. Andaikata dikabulkan, maka nanti akan ada masalah dengan adanya dua perjanjian perdamaian, menimbulkan pertanyaan perjanjian perdamaian mana yang berlaku,” kata Johanes Dipa.

Atas dasar tersebut, lanjut Johanes Dipa, permohonan PKPU terhadap Debitur yang sedang menjalankan isi putusan homologasi tidak dapat dimohonkan PKPU kembali.

“Baik terhadap utang baru maupun utang lama yang belum terdaftar, karena Putusan Homologasi sebenarnya “memutihkan” utang atau perikatan yang timbul sebelum adanya Putusan Homologasi”, tandasnya.

Johanes Dipa kembali menjelaskan, dalan perkara ini, PT. CESS selaku kreditor yang telah mendaftarkan tagihannya dan ada sebagian tagihannya sebesar Rp. 29 miliar, sudah diverifikasi, sudah dibantah, sudah diajukan keberatan hingga keluar penetapan.

“Intinya, bahwa yang diakui sebesar Rp. 60 miliar sedangkan yang sebesar Rp. 29 miliar dibantah. Berdasarkan penjelasan ahli dipersidangan, tagihan yang telah ditetapkan dibantah berdasarkan penetapan hakim pengawas, dianggap tidak ada, tidak terbukti ada,” ulas Johanes Dipa.

Sehingga, lanjut Johanes Dipa, tidak dapat dipakai sebagai dasar untuk mengajukan PKPU kembali.

Johanes Dipa kembali menjelaskan, berdasarkan pasal 286 UU Kepailitan dan PKPU tegas mengatur, perjanjian perdamaian yang telah homologasi, mengikat semua kreditor.

Advokat yang juga seorang kurator ini juga melihat bahwa pengajuan permohonan PT. CESS ini ada kebohongan yang sengaja dilakukan.

Dan yang dipakai dasar PT. CESS untuk mengajukan PKPU kembali ini adalah adanya piutang sebesar Rp. 29 miliar yang belum pernah ditagihkan, belum pernah diverifikasi.

“Faktanya, tagihan sebesar Rp. 29 miliar itu yang dibantah dan kemudian ditetapkan hakim pengawas,” ulas Johanes Dipa lagi.

PT. CESS, sambung Johanes Dipa, pada PKPU sebelumnya adalah kreditur yang telah termuat didalam perjanjian perdamaian sehingga ia harus tunduk terhadap penetapan yang dikeluarkan hakim pengawas sebagaimana tertuang dalam perjanjian perdamaian.

Jika PT. CESS bersikukuh ada kesepakatan lisan, secara tegas Johanes Dipa meminta kepada pemohon PKPU ini untuk membuktikannya.

“Yang mengikat adalah perjanjian perdamaiannya, homologasinya. Jangan mendalilkan segala sesuatu yang mengada-ada,” tegas Johanes Dipa.

PT. CESS dalam pandangan dan penilaian Johanes Dipa, adalah kreditur yang beritikad buruk, beritikad tidak baik.

“Mengapa? Perjanjian perdamaian, sudah dilaksanakan debitor. Dan debitor juga bertanya ke kreditor ini tentang rekening supaya debitor bisa melaksanakan perjanjian perdamaian,” papar Johanes Dipa.

Nomer rekening sudah diberikan PT. CESS, lanjut Johanes Dipa dan debitor juga sudah melaksanakan isi perjanjian perdamaian, bahkan hingga dua kali.

Ketika debitor hendak melaksanakan kewajibannya kepada PT. CESS, tiba-tiba rekening untuk melaksanakan isi perjanjian perdamaian malah ditutup dan tidak melakukan pemberitahuan.

Ironisnya, menurut Johanes Dipa, PT. CESS ini malah mengajukan PKPU kembali. Itu artinya, PT. CESS sebagai kreditur tidak mau dibayar berdasarkan isi perjanjian perdamaian.

Johanes Dipa kembali menegaskan, apabila pengajuan PKPU PT. CESS ini sampai dikabulkan, ini merupakan pertanda lonceng kematian bagi sebuah keadilan di negeri ini.

Dan yang menjadi catatan dengan adanya permohonan PKPU ini menurut Johanes Dipa adalah, bahwa PT. CESS permohonan PKPU ini sudah dilakukan untuk ketiga kalinya.

Begitu pula dengan putusan kasasi yang diajukan PT. CESS sebelumnya, juga dinyatakan ditolak. Malah sekarang masih nekad mengajukan PKPU kembali menggunakan dasar yang telah diuji pengadilan dan Mahkamah Agung. (pay)

Related posts

Berbekal Uang Jaminan Sebesar Rp. 25 Juta Majelis Hakim PN Surabaya Tangguhkan Penahanan Terdakwa Heru Herlambang Alie

redaksi

Kasus Dugaan Penganiayaan Perempuan Tuna Netra Di Sumenep Jadi Perhatian Serius LBH LIRA Jatim

redaksi

Dosen ITS Nampak Kebingungan Saat Jadi Saksi Ahli Di Persidangan Christian Halim

redaksi