SIDOARJO (surabayaupdate) – Sidang dugaan tindak pidana Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang menjadikan Lettu Laut (K) dr. Raditya Bagus Kusuma Eka Putra sebagai terdakwa di Pengadilan Militer III-12 Surabaya kembali dilanjutkan.
Namun pada persidangan yang digelar Rabu (4/12/2024) ini, digelar dengan agenda permohonan pengajuan restitusi yang dimohonkan dr. Maedy Christiyani Bawoljie sebagai korban dugaan KDRT melalui kuasa hukumnya, Mahendra Suhartono.
Dalam persidangan permohonan pengajuan restitusi yang dimohonkan dr. Maedy Christiyani Bawoljie ini, kuasa hukum dr. Maedy Christiyani Bawoljie sebagai korban dan pemohon restitusi menghadirkan Syahrial Martanto, SH, Ahli Penilai Restitusi dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
Awal persidangan, Syahrial Martanto diminta Mahendra Suhartono untuk menjelaskan seputar restitusi mulai dari pengertian restitusi, Undang-Undang atau peraturan yang mengatur tentang restitusi, siapa yang berhak mengajukan restitusi hingga apa sanksinya jika restitusi itu tidak dilaksanakan.
Terkait dengan restitusi, Syahrial Martanto mengatakan, bahwa masalah pengajuan restitusi ini diatur dalam pasal 4 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 tahun 2022.
Lebih lanjut Syahrial Martanto menjelaskan, dalam pasal 4 Perma nomor 1 tahun 2022 itu disebutkan, korban berhak mengajukan restitusi berupa ganti kerugian atas kehilangan kekayaan, ganti kerugian berupa materil maupun imateriil yang timbul akibat penderitaan tidak langsung karena tindak pidana lain untuk penggantian biaya perawatan medis maupun biaya perawatan psikologis.
Selain menjelaskan tentang restitusi dan siapa saja yang berhak menerima atau mengajukan restitusi, ahli kemudian diminta untuk menjelaskan tentang siapa saja yang dimaksud dengan korban.
Korban yang dimaksud itu, lanjut Syahrial Martanto, berhak untuk mengajukan permohonan restitusi. Selain itu, yang dimaksud korban menurut ketentuan pasal 4 Perma nomor 1 tahun 2022 ini adalah mereka yang mengalami tindak pidana lain sebagaimana ditetapkan atau diputuskan dalam UU LPSK.
Masih menurut Syahrial Martanto, semua itu merujuk pada pasal 7 (a) UU Nomor 31 tahun 2014. Dipasal ini disebutkan, korban suatu tindak pidana berhak mengajukan restitusi, dan komponen-komponen pengajuan restitusi sebagaimana diatur dalam pasal 4 ayat 1 Perma nomor 1 tahun 2022.
Lalu, apakah korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) juga berhak mengajukan restitusi? Ahli kembali menyebutkan, berdasarkan pasal 4 Perma nomor 1 tahun 2022 tentang tindak pidana lain, maka korban KDRT masuk dalam kategori perkara tindak pidana lain.
Ahli kembali menerangkan, dalam perkara KDRT, kerugian yang dialami biasanya konkrit sehingga dari sekian banyak permohonan restitusi yang diajukan, akan dikabulkan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara tersebut.
Yang menjadi pertanyaan lagi, apakah Pengadilan Militer juga masuk dalam lingkup peradilan yang bisa diajukan atau dimohonkan restitusi?
Syahrial Martanto kembali menjelaskan, meski sering mendapatkan pengajuan permohonan restitusi dari korban KDRT yang disidangkan diperadilan umum, untuk peradilan militer, ahli mengaku jarang sekali menanganinya.
Mahendra Suhartono sebagai Kuasa hukum dr. Maedy Christiyani Bawoljie kembali bertanya, apakah Perma nomor 1 tahun 2022 itu hanya mengikat untuk peradilan umum saja ataukah termasuk peradilan militer?
Ahli kemudian menjawab, Perma nomor 1 tahun 2022 ini adalah mandat dari UU Nomor 31 tahun 2012.
“Berdasarkan Undang-Undang tersebut, ketentuan tentang perlindungan anak dan korban itu mengikat untuk semua peradilan, bukan hanya peradilan umum,” papar Syahrial Martanto.
Pada persidangan ini pula, ahli diminta untuk menjelaskan urut-urutan mulai dari pengajuan permohonan perlindungan korban hingga akhirnya ada pendampingan dari LPSK
Sebelum menjawab pertanyaan ini, ahli kemudian menyebutkan adanya peraturan berupa PP nomor 7 tahun 2018 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi dan Bantuan Kepada Saksi dan Korban, serta adanya PP nomor 43 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi Bagi Anak Yang Menjadi Korban Tindak Pidana, yang juga khusus mengatur tentang pemberian restitusi bagi anak yang menjadi korban tindak pidana.
“Untuk Perma nomor 1 tahun 2022 itu merupakan pedoman teknis yang dianut LPSK dalam hal restitusi,” kata ahli
Dan masih berdasarkan Perma nomor 1 tahun 2022 itu, sambung ahli, disebutkan bahwa korban dapat mengajukan restitusi melalui LPSK, penyidik maupun penuntut umum atau Oditur Militer.
“Hal itu diatur dalam pasal 8 ayat 1, yang mana mekanisme permohonan restitusi ada dua, yaitu belum mempunyai kekuatan hukum tetap, yang menjadi pemohon adalah korbannya sendiri, pengajuan restitusinya melalui LPSK, penyidik, maupun penuntut umum atau oditur,” ulas Syahrial Martanto.
Masih menurut penjelasan ahli, berkaitan dengan prosedur pengajuan restitusi, korban menyampaikan permohonan tertulis kepada ketua LPSK untuk diajukan permohonan kepada majelis hakim yang memeriksa perkara.
Begitu menerima permohonan tertulis dari korban sebagai pemohon restitusi, LPSK lalu menelaah permohonan tersebut.
“Korban sebagai pemohon saat mengajukan permohonan kepada LPSK, harus pula mencantumkan informasi tentang korbannya, informasi tentang siapa tersangka atau terdakwanya, menceritakan pula uraian kronologis peristiwanya, menguraikan pula besarnya kerugian yang timbul dan yang terakhir adalah tentang berapa besar restitusi yang diminta,” tutur ahli.
Surat permohonan pengajuan restitusi yang berisikan data-data tersebut, lanjut ahli, kemudian diserahkan kepada tim penilai di LPSK untuk dilakukan telaah.
“Jika permohonan yang diajukan itu disetujui, ketua LPSK kemudian menerbitkan sebuah surat keputusan yang isinya tentang identitas korban sebagai pemohon restitusi lalu tentang besarnya restitusi yang diminta beserta dengan rinciannya,” ujar ahli.
Usai menjawab pertanyaan ini, ahli juga menjelaskan tentang apa yang harus dilakukan LPSK setelah turunnya surat keputusan dari Ketua LPSK sampai akhirnya surat itu diberikan kepada majelis hakim pemeriksa perkara.
Dalam persidangan ini, ahli juga ditanya tentang ketentuan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 8 ayat 10 Perma Nomor 1 tahun 2022 yang mana isinya penuntut umum wajib mencantumkan permohonan restitusi dalam tuntutan pidananya.
Ahli dalam penjelasannya juga menyinggung tentang besarnya restitusi yang diajukan korban, tidak selalu akan disetujui seluruhnya LPSK.
LPSK akan melakukan kajian jumlah besarnya restitusi yang dianggap wajar.
Pada persidangan ini, ahli juga diminta untuk menjabarkan berapa besarnya restitusi yang dimohonkan dr. Maedy Christiyani Bawoljie
Ahli melanjutkan, untuk besarnya restitusi yang dimohonkan dr. Maedy Christiyani Bawoljie, ada empat komponen, sebagaimana diatur dalam Perma nomer 1 tahun 2022.
Yang pertama dimohonkan dr. Maedy Christiyani Bawoljie berkaitan dengan hilangnya penghasilan.
Lebih lanjut ahli menerangkan, berkaitan dengan hilangnya penghasilan dr. Maedy Christiyani Bawoljie itu berupa hilangnya gaji dan tunjangan bekerja di klinik dr. Eko.
Untuk nominal restitusi yang diajukan dr. Maedy Christiyani Bawoljie sebesar Rp. 20.826.487. Dan setelah dilakukan pengkajian maka jumlah restitusi yang wajar menurut LPSK besarnya Rp. 17.516.487.
Komponen kedua dalam hal restitusi yang diajukan dr. Maedy Christiyani Bawoljie berkaitan ganti kerugian materiil serta imateriil sebagai akibat menjadi korban tindak pidana.
“Didalam komponen kedua ini juga dijabarkan tentang sebagai korban tindak pidana yang menjalani perawatan baik medis maupun psikologis hingga ke taraf pemulihan,” ungkap ahli lagi.
Untuk restitusi terhadap komponen kedua yang diajukan dr. Maedy Christiyani Bawoljie ini besarnya restitusi yang diminta adalah Rp. 26.600.000.
Berkaitan dengan ganti kerugian secara imateriill yang diakibatkan dari pemberitaan, LPSK tidak melakukan penilaian terkait hal ini.
Komponen ketiga yang diminta dr. Maedy Christiyani Bawoljie adalah berkaitan dengan biaya perawatan medis dan psikologis yang nilainya Rp. 8.157.339.
Dan setelah dilakukan pengecekan berdasarkan bukti-bukti yang dimiliki LPSK, maka nilai restitusi yang wajar untuk ditagihkan sebesar Rp. 7.652.989.
Untuk kerugian terhadap perawatan psikologis yang diajukan dr. Maedy Christiyani Bawoljie sebagai restitusi nilainya Rp. 3.150.000. Sedangkan nilai kewajarannya Rp. 2.700.000.
Komponen keempat sebagai bentuk restitusi yang dimohonkan dr. Maedy sebagai korban. Dan berdasarkan Perma nomor 1 tahun 2022, yang dimaksud dengan biaya lain-lain itu seperti biaya advokasi, biaya penasehat hukum atau pengacara dan beberapa kerugian lain yang relevan.
Untuk biaya restitusi yang diminta besarnya Rp. 3.600.000. Untuk biaya pengacara atau penasehat hukum nilainya Rp. 83.300.000. Sedangkan biaya-biaya yang dibutuhkan selama proses hukum yang berjalan, nilai restitusi yang diminta sebesar Rp. 7.605.634.
“Sehingga total restitusi yang diajukan LPSK dengan batas kewajaran nilainya Rp. 158.170.150,” papar ahli.
Pada persidangan ini, Mayor Laut Teguh Iman salah satu penasehat hukum terdakwa Lettu Laut (K) dr. Raditya Bagus Kusuma Eka Putra bertanya ke ahli tentang besarnya restitusi yang dimohonkan itu apakah hanya mempertimbangkan faktor pengeluaran yang sudah dikeluarkan pemohon tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial termohon.
Menjawab pertanyaan Mayor Laut Teguh ini, ahli menjawab, tentang pertimbangan kemampuan finansial termohon restitusi, diakui ahli tidak ada dalam variabel penghitungan restitusi.
LPSK sendiri menurut ahli tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan pemeriksaan keuangan termohon restitusi, sehingga LPSK tidak bisa mem-profiling tersangka maupun terdakwa tentang kemampuan itu.
Berkaitan dengan dasar pengajuan permohonan restitusi, ahli kemudian ditanya, apa yang menjadi dasar pengajuan restitusi, apakah bukti-bukti yang dikeluarkan pemohon atau cukup dengan permohonan saja? Menurut ahli, dua-duanya bisa dijadikan dasar mengajukan permohonan restitusi.
Kemudian mengenai eksekusi pelaksanaan putusan pengadilan yang mengabulkan permohonan restitusi.
“Apakah seorang terdakwa atau orang yang dimohonkan restitusi bisa mengingkarinya atau tidak menjalankan putusan pengadilan tersebut?,” tanya kuasa hukum dr. Maedy Christiyani Bawoljie sebagai pihak pemohon restitusi.
Menanggapi pertanyaan kuasa hukum dr. Maedy ini ahli menjawab, bahwa hal itu juga diatur dalam Perma Nomor 1 tahun 2022 pasal 30 diatur tentang pelaksanaan eksekusi.
Lebih lanjut ahli menerangkan, setelah pembacaan putusan, 30 hari terdakwa menerima putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib melaksanakan isi putusan.
Jika terpidana atau terdakwa tetap tidak mau melakukan pembayaran restitusi maka korban selaku pemohon maupun kuasa hukumnya, LPSK, dapat melaporkannya ke penuntut umum ataupun oditur militer.
Menanggapi aduan dari korban maupun tim kuasa hukumnya itu, jaksa maupun Oditur Militer lalu membuatkan semacam surat teguran yang ditujukan kepada terdakwa atau terpidana supaya segera melaksanakan atau membayarkan restitusi itu paling lambat selama 14 hari.
Jika dalam tempo 14 hari terdakwa atau terpidana tidak melaksanakan restitusi tersebut maka berdasarkan Perma nomor 1 tahun 2022 ada mekanisme yang namanya penyitaan dan melakukan lelang bahkan melakukan penjualan untuk membayar restitusi tersebut.
Lalu, bagaimana jika pembayaran restitusi itu tidak mencukupi walaupun sudah menjual atau melelang semua harta terdakwa atau terpidana? Ahli pun menjawab, bahwa masih ada hukuman subsider.
Artinya, terdakwa atau terpidana dapat menggantinya dengan hukuman penjara selama satu tahun. Untuk terdakwa atau terpidana kasus terorisme bisa menjalankan hukuman subsidernya selama empat tahun. (pay)