SURABAYA (surabayaupdate) – Meski persidangan gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang diajukan 44 warga Pulosari Surabaya melawan PT. Patra Jasa hingga kini selalu ditunda, namun perlahan-lahan muncul beberapa cerita menarik dibalik eksekusi 415 rumah warga Pulosari yang telah dilakukan 2018 lalu.
Selasa (10/12/2024), puluhan warga Pulosari Surabaya bersama dengan tim kuasa hukumnya kembali menghadiri persidangan gugatan PMH yang digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Namun, persidangan yang seharusnya mengagendakan verifikasi fisik bukti surat dari kuasa hukum 44 warga Pulosari Surabaya sebagai penggugat harus ditunda hingga setelah tahun baru 2025.
Penundaan ini diucapkan hakim Khadwanto, untuk memberikan kesempatan kepada tim kuasa hukum penggugat melengkapi bukti surat yang akan diajukan.
Hakim Khadwanto adalah hakim PN Surabaya yang ditunjuk sebagai ketua majelis diperkara ini menggantikan hakim Erintuah Damanik yang sedang terkena masalah hukum.
Ditemui usai persidangan, Luvino Siji Samura, SH., MH dan Ananta Rangkugo, SH mengatakan bahwa bukti-bukti yang seharusnya diserahkan pada hari ini adalah identitas para penggugat sebanyak 44 orang warga Pulosari Surabaya.
Luvino Siji Samura, salah satu kuasa hukum 44 warga Pulosari Surabaya menjelaskan, majelis hakim pemeriksa dan pemutus perkara ini meminta kepada kami untuk menyamakan antara bukti yang diajukan dalam bentuk fotocopy dengan aslinya.
Menurut Luvino Siji Samura, identitas 44 warga Pulosari yang saat ini data-datanya sedang disusun ulang dan disamakan dengan aslinya dirasa sangat penting karena 44 orang warga inilah yang rumahnya telah dirobohkan pada pelaksanaan eksekusi yang dilakukan pada tahun 2018.
“Empat puluh empat warga Pulosari ini adalah korban eksekusi yang pelaksanaannya dilakukan secara sewenang-wenang,” papar Luvino Siji Samura.
Dan yang perlu dicatat, lanjut Luvino, 44 warga Pulosari yang diperkara ini sebagai penggugat, tidak pernah diberitahu tentang akan dilakukan eksekusi.
“Delapan puluh persen warga Pulosari ini tidak pernah tahu, tidak pernah diberi tahu bahwa akan ada eksekusi. Yang mereka tahu rumah-rumah yang sudah ditempati hingga bertahun-tahun itu telah roboh dan rata dengan tanah,” cerita Luvino Siji Samura.
Mereka yang saat ini sebagai penggugat, lanjut Luvino, sebenarnya bukanlah sebagai pihak diperkara nomor 333. Wajar saja mereka tidak tahu, tidak diberi tahu bahkan tidak pernah diberi peringatan.
“Para penggugat ini telah bertahun-tahun tinggal di lokasi tanah yang telah mereka dirikan rumah. Selama menempati tanah tersebut, tidak pernah diperingati, tidak pernah ditegur atau disomasi. Ini artinya, selama bertahun-tahun bahkan ada yang puluhan tahun mendirikan rumah di Pulosari, tidak pernah ada masalah,” papar Luvino Siji Samura.
Terhadap rumah-rumah 44 warga Pulosari yang rumahnya telah dirobohkan tersebut, besarnya ganti rugi yang diminta bervariasi.
“Ganti rugi yang diterima warga itu disesuaikan dengan ukuran rumah. Jika ditotal, besarnya ganti rugi yang diminta 44 warga Pulosari ini sebesar Rp. 9 miliar,” kata Luvino.
Luvino Siji Samura kembali menjelaskan, seiring dengan berjalannya waktu, muncul sebuah fakta, diperkara nomor 333, ada orang yang sudah lama meninggal sebelum gugatan nomor 333 tersebut dimohonkan dipengadilan, namun dijadikan sebagai tergugat.
“Ini aneh dan konyol. Orangnya sudah meninggal tahun 2003, ada yang meninggal 2005 namun dijadikan tergugat. Kami memandang ini sudah by design,” papar Luvino.
Luvino Siji Samura kembali menjelaskan, atas temuan-temuan ini, akan dibuka dipersidangan selanjutnya.
Ananta Rangkugo, yang juga sebagai kuasa hukum penggugat menambahkan, dibalik pelaksanaan eksekusi tersebut nampak sekali ada abuse of power.
Bagaimana bentuk abuse of power yang terjadi, menurut Ananta Rangkugo, akan dibeberkan semuanya, pada persidangan selanjutnya.
Abuse of power sebagaimana disampaikan Amanta Rangkugo ini bukanlah satu-satunya kekuatan yang dipakai PT. Patra Jasa untuk mengeksekusi rumah warga Pulosari.
“Yang harus pula dipertanyakan adalah, apakah kegiatan eksekusi saat itu dilakukan di lokasi yang tepat atau tidak, begitu pula dengan rumah-rumah yang hendak dirobohkan,” tanya Ananta Rangkugo.
Pertanyaan ini, lanjut Ananta, sangat perlu untuk digali lebih dalam mengingat 90 persen 41 warga Pulosari yang menjadi tergugat diperkara nomor 333 tidak mempunyai rumah diatas tanah yang diklaim PT. Patra Jasa sebagai tanah mereka.
Kuasa hukum 44 warga Pulosari ini juga melihat bahwa pelaksanaan eksekusi yang dilakukan PT. Patra Jasa dengan melibatkan PN Surabaya ini telah salah alamat.
“Perlu juga dicatat, eksekusi itu bukan cuma salah alamat namun proses yang dilakukannya juga salah dan melanggar aturan serta telah mengabaikan rasa keadilan,” tegas Ananta.
Berkaitan dengan proses eksekusi yang dilakukan itu melanggar aturan, tim kuasa hukum penggugat kemudian menerangkan bahwa dasar yang dipakai untuk mengeksekusi rumah para warga Pulosari ini bukanlah berdasarkan isi putusan majelis hakim.
“Dalam putusan nomor 333 disebutkan, diperintahkan kepada tergugat 2 sampai dengan tergugat 41 dan para ahli warisnya untuk segera mengosongkan tanah obyek sengketa seluas 65.533 meter persegi yang merupakan bagian dari tanah yang tercatat dalam Hak Guna Bangunan (HGB) nomor 434 Kelurahan Gunungsari dengan luas 142.443 meter persegi, dengan gambar situasi nomor : 14755/1996 tanggal 17 Oktober 1996 dan menyerahkan kepada penggugat selambat-lambatnya tujuh hari sejak putusan ini dibacakan,” tutur Ananta mengutip isi putusan.
Menghukum tergugat 2 sampai tergugat 41, lanjut Ananta, secara tanggung renteng membayar kepada penggugat uang paksa atau dwangsom sebesar Rp. 10 juta setiap hari keterlambatan penyerahan obyek sengketa, terhitung sejak hari ke delapan setelah putusan perkara ini mempunyai kekuatan hukum tetap
“Yang membuat PT. Patra Jasa berani merobohkan rumah milik 44 warga yang dalam perkara ini sebagai penggugat adalah adanya inisiatif dari oknum yang menambahkan kalimat seluruh penghuni tanah obyek sengketa seluas 65.533 meter persegi,”ungkap Ananta.
Jadi dapat diartikan, lanjut Ananta, bahwa eksekusi yang telah dilakukan itu tidak sesuai dengan putusan pengadilan. Dan dari sini juga nampak bahwa semua aturan hukum sudah ditabrak.
“Luar biasanya lagi, dalam pelaksanaan eksekusi itu sudah melangkahi dan melebihi kewenangan majelis hakim yang memutuskan sebuah perkara,” sindir Ananta.
Ini jelas salah dan Ketua PN Surabaya waktu itu harus bertanggungjawab dengan adanya kesewenang-wenangan ini.
“Kalau memang PT. Patra Jasa berkesimpulan bahwa 41 warga Pulosari yang menjadi tergugat diperkara nomor 333 itu sudah menduduki tanah yang menjadi milik mereka, silahkan mengeksekusi rumah-rumah milik warga tersebut, tidak perlu sampai merobohkan pula rumah-rumah milik 44 warga yang dalam perkara ini sebagai penggugat,” tegas Ananta.
Dan kalaupun rumah milik 44 warga ini harus juga ikut dieksekusi dan dirobohkan karena telah berdiri diatas tanah milik PT. Patra Jasa yang luasnya 65.533 meter persegi, PT. Patra Jasa harusnya mengajukan gugatan juga, tapi harus disomasi terlebih dahulu.
“Yang terjadi adalah somasi tidak pernah ada, gugatan juga tidak pernah ada, namun PT. Patra Jasa berani mengajukan eksekusi atas bangunan milik 44 warga Pulosari ini,” kata Ananta.
Eksekusi yang dilakukan PT. Patra Jasa ini semakin terlihat kejam dan sangat tidak manusiawi karena saat pelaksanaan eksekusi waktu itu terjadi pemilik rumah sedang tidak ada.
Petugas langsung menjebol tembok rumah warga yang ada tulisannya kami menolak eksekusi. Untuk barang-barang yang ada didalamnya dikeluarkan secara paksa kemudian ditaruh begitu saja dipinggir tol. (pay)