“Kurang Dihargai Sebagai Istri, Cenderung Diperlakukan Seperti Karyawan”
Meski saat ini Roestiawati Wiryo Pranoto sudah bisa legowo, namun wanita cantik berusia 46 tahun ini masih ingat betul bagaimana Wahyu Djajadi Kuari memperlakukan dirinya bukan sebagai seorang istri, lebih banyak diperlakukan seperti karyawan.
Perpisahan dengan Wahyu Djajadi Kuari sudah bisa dilupakan. Saat ini, Roestiawati Wiryo Pranoto berjuang menuntut haknya, pembagian harta bersama yang dikumpulkan bersama Wahyu Djajadi Kuari ketika masih berstatus suami istri.
Sebagai wanita yang lemah dan pengetahuan hukumnya yang sangat minim, membuat wanita pengusaha ini menerima begitu saja pembagian Rp. 3 miliar dari total kekayaan lebih kurang Rp. 40 miliar yang telah ia kumpulkan bersama-sama dengan Wahyu ketika masih terikat perkawinan.
Kini, wanita tangguh yang pernah merintis usaha bersama Wahyu Djajadi Kuari dan memiliki usaha sebanyak 21 toko aksesoris yang tersebar di Surabaya dan beberapa kota di Jawa Timur ini bangkit melawan.
Didampingi Dr. B. Hartono, SH., SE., SE.Ak., MH., CA yang menjadi kuasa hukumnya, ibu satu anak ini mengajukan gugatan gono gini di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Bagaimana perjuangan Roestiawati Wiryo Pranoto merebut haknya secara adil dari Wahyu Djajadi Kuari? Berikut ini kisahnya dituturkan Roestiawati Wiryo Pranoto…
Penulis : Parlin
Nokia 8110 adalah pintu pembuka Roestiawati Wiryo Pranoto dan Wahyu Djajadi Kuari untuk saling kenal dan menjalin hubungan asmara kemudian berlanjut ke perkawinan.
Saat masih tinggal di Surabaya waktu itu, Roestiawati Wiryo Pranoto ingin membeli handphone. Ditemani temannya yang telah mengenal Wahyu, Roestiawati kemudian dibawa ke tempat usaha Wahyu di Jalan Gubeng Kertajaya VI-C Surabaya yang diberi nama DK Cellcom.
Anak ke-4 dari 7 bersaudara ini menuturkan, tempat usaha Wahyu waktu itu sangat sederhana, hanya di sebuah garasi rumah orang tuanya. Usaha yang dijalankan Wahyu ketika itu adalah jual beli hp second dan service hp.
“Jaman segitu, harga sebuah hp sangat mahal, apalagi dalam kondisi baru. Akhirnya, saya ditawari hp second merk Nokia 8110” ujar Roestiawati.
Harga yang ditawarkan kala itu, lanjut Roestiawati, Rp. 1 juta. Karena memang sedang butuh hp, Nokia 8110 dengan harga Rp. 1 juta lebih akhirnya dibeli.
Kepada Roestiawati, Wahyu pun menjelaskan spesifikasi dan cara mengoperasikan Nokia 8110. Urusan membeli hp pun selesai.
Pertemuan Roestiawati dengan Wahyu bukan terjadi waktu Roestiawati membeli hp saja. Saudara Roestiawati ternyata membutuhkan voucher isi ulang buat dijual lagi. Roestiawati kemudian membeli voucher isi ulang itu dari Wahyu secara retail.
Keluarga Roestiawati adalah pengusaha. Dimasa lajangnya, wanita yang dikenal dengan panggilan Yesti ini bekerja di tempat usaha milik papanya yang bekerjasama dengan adik sang papa. Setelah lulus SMA, Yesti bekerja di toko milik keluarga itu. Yesti pun ditaruh dibagian pengadaan barang.
Adapun jenis barang yang diperjualbelikan di toko milik keluarga Yesti ini adalah pengadaan barang seperti sparepart mobil, peralatan kapal, peralatan pertanian, senapan angin dan masih banyak lagi.
Bisnis keluarga Yesti sebenarnya ada di Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT). Disana, adik papa Roestiawati lah yang dipercaya untuk mengelolanya, sedangkan papanya Yesti menjalankan dari Surabaya, bertugas untuk mencarikan barang yang bisa dijual di Kupang, NTT.
Suatu ketika, om Roestiawati meninggal. Akhirnya, Roestiawati pun dimutasi ke Kupang untuk menjalankan usaha itu, menggantikan omnya yang meninggal.
Pertemuan Roestiawati dengan Wahyu ternyata masih terus berlanjut. Selain awalnya Roestiawati hanya membeli voucher hp untuk dijual di Kupang, Roestiawati ternyata mendapat tawaran dari Wahyu untuk menjual hp juga. Namun, hp yang Roestiawati jual kala itu adalah hp second.
Sempat ada keraguan dalam benak Roestiawati ketika mendapat tawaran dari Wahyu untuk berjualan hp di Kupang, mengingat waktu itu Kupang masih sepi dan harga hp masih mahal, termasuk hp second.
Di Kupang, Roestiawati bekerja di toko yang dikelola omnya hanya sampai siang hari, setelah itu toko tutup dan baru buka lagi sore harinya. Selama Roestiawati tidak bekerja di toko, Roestiawati berjualan hp bekas dari Wahyu dengan cara diiklankan di koran.
Awalnya Roestiawati sempat kebingungan untuk memberi nama usahanya yang akan ia sebutkan di iklan koran tersebut. Atas saran Wahyu, Roestiawati pun memberi nama Roscell untuk usaha jual beli hp second dan voucher hp miliknya sendiri yang di Kupang ini.
Hasil penjualan hp bekas Roestiawati dan voucher hp berjalan pesat. Sebagai alat branding, Roestiawati juga membuat kalender dan dicantumkan nama Roscell di kalender itu.
Usaha pribadi Roestiawati dalam hal jual beli hp second, voucher hp sampai jual kartu perdana ini ternyata hasilnya melebihi pendapatan yang Roestiawati dari bekerja di toko sang paman.
Wahyu, sambung Roestiawati, sebelumnya pernah bekerja ikut orang, saat papanya meninggal, Wahyu memutuskan untuk berhenti dari pekerjaan itu dan memilih membuat usaha service hp dan pengadaan sparepart hp, dan diberi nama DK Cellcom.
Dipilihnya garasi rumah sebagai tempat usaha bagi Wahyu, selain ingin punya usaha sendiri, juga ingin tetap menjaga sang mama yang sudah lanjut usia.
Karena intensitas pertemuan yang begitu sering, pasangan ini mulai menunjukkan saling tertarik satu sama lain. Setelah berpacaran lebih kurang setahun, tanggal 25 November 2000, Roestiawati Wiryo Pranoto dan Wahyu Djajadi Kuari memutuskan mengucapkan janji setia dan mengikat hubungan mereka dengan perkawinan. Kedua pasangan ini menikah di Surabaya.
Diawal-awal pernikahannya dengan anak ke-4 dari 5 bersaudara tersebut, mereka menyewa dua kamar milik orang tua Wahyu.
Pertimbangan keduanya menyewa dua kamar kos milik orang tua Wahyu adalah untuk membantu usaha orangtuanya Wahyu yang bergerak dibidang kos-kosan. Selain itu, Roestiawati ingin, ibu mertuanya ini tetap merasakan hasilnya untuk dinikmati.
Alasan Roestiawati dan Wahyu untuk menikah cukup sederhana. Kedua pasangan ini sebelumnya sudah mempunyai usaha yang sejalan. Keduanya waktu itu pun sama-sama merintis usaha.
“Kita berdua kemudian berfikir, kalau menikah kan bisa lebih fokus lagi merintis usaha secara bersama-sama yang kami sudah bangun. Dan dengan menikah, akan jauh lebih bagus lagi hasilnya,” papar Roestiawati.
Pasca menikah, Roscell yang Roestiawati bangun secara pribadi kemudian diserahkan ke keluarga yang di Kupang untuk dikelola, sedangkan Roestiawati memilih bekerjasama dengan Wahyu membangun DK Cellcom, usaha Wahyu yang bangun sebelumnya.
Selain menyewa dua kamar milik orang tua Wahyu sebagai tempat tinggal dan tempat kerja, Roestiawati dan Wahyu menjadikan garasi rumah orang tua Wahyu yang di Jalan Gubeng Kertajaya VII-C Surabaya tersebut sebagai toko yang menjual hp second, sparepart dan ada sedikit aksesoris hp.
“Garasi rumah mertua saya, kalau pagi hari difungsikan sebagai toko sedangkan dimalam hari dipakai sebagai garasi mobil,” ujar Roestiawati.
Sebagai seorang istri, Roestiawati sangat mendukung bisnis yang dijalankan suaminya. Untuk menambah modal usaha sang suami supaya bisnis yang ia jalankan tersebut makin besar, Roestiawati sampai merelakan menjual sebagian besar perhiasan emas yang ia peroleh dari pemberian teman, keluarga ketika Roestiawati dan Wahyu menikah.
“Dalam benak saya waktu itu, sampai merelakan sebagian perhiasan emas yang saya dapat dari pemberian keluarga, kenalan saat perkawinan adalah bahwa Wahyu bukanlah tipe suami yang pelit,” kata Roestiawati.
Jika usaha Wahyu nantinya terus berkembang pesat, lanjut Roestiawati, Wahyu akan menggantinya, bahkan dengan ukuran dan model yang jauh lebih bagus.
Meski masih indekos disalah satu kamar kos milik orang tua Wahyu, pasangan ini mulai berani mengembangkan bisnisnya. Keduanya pun memutuskan untuk kontrak sebuah rumah di Jalan Anjasmoro No.3 Surabaya. Rumah yang mereka buka ini adalah cabang dari DK Cellcom, usaha mereka yang di Jalan Gubeng Kertajaya VI-C Surabaya.
“Rumah yang kami kontrak di Jalan Anjasmoro No.3 Surabaya dan kemudian kami renovasi sebagai tempat tinggal dan tempat usaha ini kami beri nama Roscell,” kata Roestiawati.
Sebenarnya, sambung Roestiawati, rumah di jalan Anjasmoro Surabaya itu tidak layak buat tempat tinggal apalagi sebagai tempat usaha.
Karena rumah itu agak besar, sambung Roestiawati, dan memiliki tiga ruangan, dua ruangan kecil dan satu ruangan besar, akhirnya rumah itu direnovasi supaya layak sebagai tempat tinggal dan tempat usaha.
Roestiawati juga menuturkan, tekadnya bersama suami yang begitu besar untuk terus mengembangkan bisnis yang saat itu sedang mereka tekuni, membuat pasangan ini memberanikan diri membuka cabang kedua setelah di Jalan Anjasmoro No. 3 Surabaya.
Tahun 2001, dengan tabungan yang mereka miliki, Roestiawati dan Wahyu kemudian mencoba peruntungan mereka dengan menyewa stand di Pasar Atum.
Harga sewa yang ditawarkan untuk pasangan ini waktu itu lumayan murah, Rp. 1,5 juta perbulan. Namun sebelumnya, mereka mendapatkan gratis menempati stand yang mereka sewa itu selama tiga bulan.
Usaha yang mereka rintis di Pasar Atum ini tidak berlangsung lama. Sepinya pengunjung dan pembeli di Pasar Atum membuat Roestiawati dan Wahyu menutup usaha mereka.
Sebelum usaha di Pasar Atum itu gagal, Roestiawati dan Wahyu kembali mencoba membuka toko cabang yang baru di World Trade Centre (WTC) Surabaya, yang letaknya ada di lantai lima.
Hanya satu counter yang bisa disewa Roestiawati dan Wahyu kala itu di WTC lantai lima. Di WTC ini, Roestiawati dan Wahyu memberi nama Roscell untuk tempat usahanya.
Keberuntungan ternyata berpihak pada Roestiawati dan Wahyu. Ketika usaha mereka yang di Pasar Atum mengalami penurunan hasil, usaha yang mereka rintis di WTC lantai lima yang Roestiawati dan Wahyu sewa hanya satu stand malah berkembang sangat pesat hingga akhirnya pasangan ini mampu menyewa beberapa stand lagi.
Tahun 2006, dengan pengalaman berdagang hp dan aksesorisnya tersebut, Roestiawati dan Wahyu mencoba peruntungannya kembali dengan membuka usaha mereka di Ramayana Mall Sidoarjo. Tidak tanggung-tanggung, Roestiawati dan Wahyu langsung menyewa empat stand di Ramayana Mall Sidoarjo.
Empat stand yang disewa pasangan suami istri ini, yang berjumlah empat stand kemudian direnovasi dan dijadikan satu. Untuk namanya, pasangan suami istri tersebut memberi nama Roscell.
DK Cellcom akhirnya menjadi pusat usaha. Jika suplier akan mengirim barang, maka barang-barang itu akan ditaruh di DK Cellcom yang beralamat di Jalan Gubeng Kertajaya Surabaya.
Karena usaha Roestiawati dan Wahyu makin lama makin berkembang, maka kedua orang ini bilang ke ibunya Wahyu tidak usah jualan lagi. Bangunan kecil yang selama ini dipakai sebagai toko klontong tersebut disewa Roestiawati dan suaminya untuk dipakai gudang.
Bukan hanya itu, seluruh kamar-kamar di rumah orang tua Wahyu yang selama ini disewakan sebagai tempat kos, juga mereka sewa. Kamar-kamar itu akan dipakai sebagai ruangan admin dan masih banyak lagi.
Karena usaha Roestiawati dan Wahyu makin lama makin berkembang dan mereka butuh tempat lagi yang permanen, maka Roestiawati dan Wahyu mencari rumah.
Akhirnya, sekitar 2004, Roestiawati dan Wahyu menemukan sebuah rumah di Jalan Ngagel Jaya Barat I Surabaya. Rumah ini pun dibeli dengan harga Rp. 700 juta. Oleh Roestiawati dan suaminya, rumah berukuran 10×25 meter itu direnovasi.
Yang awalnya satu lantai dijadikan dua lantai. Untuk lantai satu, dipakai sebagai ruang para karyawannya bagian admin, sedangkan di lantai dua dipakai sebagai gudang tempat menyimpan stok-stok barang.
Roestiawati dan Wahyu selama perkawinannya juga berhasil membeli beberapa property diantaranya sebuah rumah di Jalan Ngagel Jaya Selatan No. 83 Surabaya yang akhirnya direnovasi menjadi toko aksesoris, kemudian membeli dua property dengan dua sertifikat di Jalan KH Mukmin, Sidoarjo.
Pasangan yang pernah menjadi suami istri ini juga berhasil mematenkan merk dagang Lucky. Merk dagang ini kemudian mereka gunakan untuk semua produk aksesoris yang diimport dari China.
Usaha yang tekun dan sabar yang mereka lakoni ternyata membuahkan hasil. Yang awalnya hanya mampu menyewa stand satu unit di WTC, Roestiawati dan Wahyu akhirnya memiliki tiga stand di WTC, hingga totalnya 14 stand dengan omset ratusan juta rupiah tiap bulannya.
Begitu bercerai, lima tahun setelah perceraian Roestiawati dan Wahyu, stand aksesoris hp yang ada di WTC Surabaya tinggal delapan stand saja. Dan semua stand yang tersisa itu masih atas nama Roestiawati.
Begitu juga dengan pegawai. Roestiawati dan Wahyu awalnya hanya mempunyai satu orang pegawai perempuan.
Sebelum Roestiawati dan Wahyu ada masalah dengan perkawinannya dan akhirnya bercerai, pasangan suami istri yang sudah menikah selama 16 tahun ini memiliki karyawan hingga 60 orang.
Dalam hal perekrutan karyawannya, Roestiawati dan Wahyu sengaja menggunakan tenaga yang lulusan SMA, bukan sarjana. Alasannya, karyawan dengan ijasah SMA itu, saat digaji, tidak semahal mereka yang lulusan sarjana.
Meski seluruh karyawannya hanya lulusan SMA, namun skill para karyawannya itu, khususnya beberapa karyawan Roestiawati yang diposisikan sebagai leader, tidak kalah dengan mereka yang lulusan S1, apalagi dalam hal penjualan atau marketing.
Roestiawati pribadi sengaja ikut pelatihan dan kursus-kursus marketing di lembaga pelatihan ternama. Hal ini Roestiawati lakukan, selain untuk menambah ilmu pengetahuan dagangnya, strategi pemasarannya, manajemen gudang hingga ilmu Sumber Daya Manusia (SDM) yang akan dipakai ketika melakukan rekruitmen karyawan baru, juga akan Roestiawati ajarkan ke para karyawannya
Para karyawan Roestiawati tersebut, ia training langsung hingga benar-benar mahir dan cekatan. Tak heran, banyak diantara para karyawan Roestiawati dan Wahyu kala itu, sangat pandai memasarkan barang yang dijual Roestiawati, baik kepada toko-toko aksesoris lain yang disuplai maupun penjualan langsung ke konsumen.
Dalam merintis usahanya, Roestiawati dan Wahyu tidak selalu berjalan mulus dan lancar-lancar saja. Acapkali mereka menemukan kendala, mulai dari ditipu teknisi hingga membuat banyak pelanggan yang marah-marah, uang setoran hilang, staf admin yang melakukan penggelapan uang setoran.
“Karena sering ditipu teknisi, divis sparepart yang dulu sempat kami geluti, akhirnya kami tutup. Selain itu, dalam menjalankan usaha, kami juga pernah mengalami penggelapan nota yang dilakukan sales. Ada juga sales yang sampai membawa kabur uang tagihan,” ujar Roestiawati, sambil mengingat-ingat masa sulit itu.
Lalu, lanjut Roestiawati, kami pernah mengalami kerugian yang sangat besar karena barang-barang banyak yang hilang saat di stok opname, barang-barang yang datang dari China ada yang tidak sesuai pesanan. Itu belum termasuk barang-barang yang gagal retur. Jumlahnya sangat banyak sekali.
Sebagai seorang pengusaha, masa-masa sulit seperti itu tidak membuat Roestiawati kapok untuk melanjutkan usaha yang telah ia rintis.
Wanita pengusaha ini juga bercerita, untuk membangun usahanya, sudah banyak karyawan yang ia bina, ia ajari termasuk dibidang marketing atau penjualan.
“Tapi ya gitu. Begitu karyawan binaan saya itu sudah pandai dan menguasai dunia marketing, ada diantara mereka yang dibajak toko lain, ada juga yang memutuskan untuk berhenti dan membuka toko aksesoris sendiri,” jelas Roestiawati.
Pesatnya perkembangan bisnis yang digeluti Roestiawati dan Wahyu tidak diikuti dengan keharmonisan rumah tangga mereka. Pasangan suami istri ini baru dikaruniai seorang anak perempuan, setelah usai perkawinan mereka berumur sembilan tahun.
November 2016, Roestiawati Wiryo Pranoto dan Wahyu Djajadi Kuari memutuskan untuk menyudahi perkawinan yang telah mereka jalani selama 16 tahun. Yesti dan Wahyu akhirnya resmi bercerai di PN Surabaya, karena tidak ada lagi keharmonisan dalam rumah tangga mereka.
Lalu, apa yang membuat Roestiawati Wiryo Pranoto dan Wahyu Djajadi Kuari bercerai? Jawabnya kurang kasih sayang.
“Saya butuh diperhatikan, saya butuh disayang. Kurangnya kasih sayang dalam rumah tangga itulah yang menyebabkan biduk rumah tangga kami pecah,” tandas Roestiawati.
Menjalani rumah tangga bersama Wahyu, tidak dirasakan Roestiawati sebagai seorang istri, namun sebagai karyawan.
Dari seluruh hasil kerja keras yang sudah mereka lakukan selama pernikahan, Roestiawati mengaku tidak mempunyai hak pakai. Seluruh masalah keuangan dan pengelolaannya, Wahyu yang mengaturnya.
Yang membuat Roestiawati kecewa akan sikap Wahyu selama menikah adalah sikap Wahyu yang sangat perhitungan terhadap sang istri.
Dikisahkan Roestiawati, selama menikah dengan Wahyu Djajadi Kuari, sang suami tidak pernah menyampaikan ke dirinya, berapa jumlah saldo tabungan yang diperoleh dari menjalankan bisnis secara bersama-sama..
Ironisnya, sampai mereka berdua bercerai, Roestiawati hingga saat ini tidak mengetahui berapa jumlah uang di rekening bank, dari hasil kerja kerasnya bersama Wahyu selama menikah. Yang Roestiawati tahu, jumlah uang di rekening tabungan ketika awal-awal menikah, yaitu berkisar Rp. 50 juta.
Roestiawati ketika masih menjadi istri Wahyu, sangat mendambakan dihargai hak-haknya sebagai istri, diberi perhatian, bukan dianggap sebagai karyawan apalagi partner bisnis.
Sebagai seorang istri, sambung Roestiawati, saya ingin disayang seperti para istri diluar sana, mendapatkan kasih sayang yang banyak khususnya dari suami.
“Pernah suatu ketika, saat usaha kami sudah berkembang sangat pesat dengan omset sampai ratusan juta per bulan, saya ulang tahun namun lupa ulang tahun ke berapa,” cerita Roestiawati.
Sebagai seseorang yang sedang berulangtahun, lanjut Roestiawati, ingin mendapat barang yang spesial, apalagi dari orang yang kita sayangi.
“Wahyu memang ada tanya ke saya, ingin hadiah apa di ulangtahun saya nanti. Kemudian, saya bilang kalung emas. Untuk harga sebuah kalung yang pernah saya idam-idamkan, Wahyu membatasi budget pembelian kalung untuk ulangtahun saya, hanya sebesar Rp. 4 juta,” papar Roestiawati.
Roestiawati sempat melakukan negosiasi dengan suaminya itu supaya budget untuk beli kalung ditambahi menjadi Rp. 5 juta. Wahyu kemudian menambah dana yang disediakan untuk pembelian kalung itu menjadi Rp. 4,5 juta. Roestiawati pun setuju dan menerimanya.
Ternyata, harga kalung yang ia idam-idamkan itu seharga Rp. 6 juta. Melihat hal ini, Wahyu tetap membelikan Roestiawati kalung itu, namun selisih atau kekurangan uang untuk membeli kalung seharga Rp. 6 juta tersebut yakni Rp. 1,5 juta, menjadi piutang Roestiawati dan harus dicicil Roestiawati Rp. 250 ribu tiap bulan sampai lunas.
Bukan hanya itu saja yang membuat Roestiawati kecewa akan perilaku Wahyu yang sangat perhitungan. Masalah Roestiawati ingin membeli hp di sebuah pusat perbelanjaan di Surabaya, juga menjadi kenangan pahit bagi Roestiawati.
Hp yang diinginkan Roestiawati seharga Rp. 4,5 juta kemudian dibayar menggunakan kartu kredit Wahyu. Tiap bulan, Wahyu menuntut Roestiawati menyicil pembelian hp itu Rp. 250 ribu sampai lunas.
Keinginan Roestiawati untuk membuka usaha baru dibidang kuliner, yaitu berjualan soto, juga menjadi kenangan buruk bagi Roestiawati. Mengapa? Untuk membangun bisnis jualan soto itu, tentu Roestiawati butuh uang untuk membuat rombong atau gerobak soto.
Menanggapi keinginan istrinya waktu itu yang ingin berjualan soto sehingga butuh uang untuk bikin rombong soto, direspon Wahyu. Uang pun diberikan Wahyu ke Roestiawati sehingga bisa dipakai untuk membuat rombong soto. Namun setelah itu apa uang terjadi? Roestiawati tetap diminta mengganti uang itu dengan cara mencicil tiap bulannya.
Dari semua perlakuan Wahyu terhadap Roestiawati selama menikah, dirasakan Roestiawati bukan sebagai istri Wahyu Djajadi Kuari. Roestiawati malah merasa bahwa ia kerja ikut orang lain.
Sikap Wahyu yang sangat perhitungan kepada istri itu sebenarnya sudah terlihat diawal-awal pernikahan. Saat itu, Roestiawati hanya mendapat jatah Rp. 2,5 juta perbulan. Uang sebesar itu dipakai Roestiawati belanja kebutuhan bulanan Roestiawati.
Karena protes dengan jumlah yang dinilai kecil, beberapa bulan kemudian uang sebesar Rp. 2,5 juta itu tidak diterima Roestiawati dan ia minta ditambah lagi jumlahnya. Dengan negosiasi yang cukup alot, Wahyu akhirnya mengalah, jatah bulanan Roestiawati dinaikkan menjadi Rp. 5 juta hingga akhirnya naik lagi menjadi Rp. 7 juta perbulannya.
Sebelum menikah, Wahyu Djajadi Kuari memberi uang pembagian hasil usaha selama menikah kepada Roestiawati sebesar Rp. 3 miliar. Tidak ada pikiran jelek dalam benak Roestiawati dengan pemberian itu, walaupun ketika uang akan diberikan, Roestiawati mengaku sedikit ditekan.
Tidak ingin ribut, juga menjadi alasan Roestiawati menurut saja, walaupun jumlah segitu tidak sebanding dengan total kekayaan yang telah ia kumpulkan bersama Wahyu, saat masih menikah dulu.
“Saat ini saya harus melawan. Saya harus minta bagian yang sudah menjadi hak saya. Yang saya minta tidak banyak, sama rata yaitu 50 persen
Mengapa saya menuntut pembagian yang sama besar dengan Wahyu? Karena sejak awal, saya juga ikut berjuang bersama-sama dengan Wahyu, membesarkan perusahaan itu.
Dua bulan setelah bercerai dengan Wahyu, Roestiawati sempat ditanya kakak kandung Wahyu, kenapa tidak buka toko aksesoris hp lagi, seperti yang dijalankan Wahyu saat ini?
Kepada kakak iparnya itu, Roestiawati menjelaskan bahwa ia tidak ingin berkonflik dengan mantan suaminya itu. Selain itu, beberapa mantan karyawannya yang sekarang menjadi pegawai Wahyu, akan ketakutan karena merasa tersaingi sebab selama ini yang terjun ke lapangan langsung dan yang menguasai medan adalah Roestiawati.
Saat ini, Roestiawati tinggal di daerah Bratang Surabaya dan Wahyu bersama istri barunya, tinggal didaerah Manyar Surabaya.
Apakah tidak ada sikap untuk rujuk kembali, walaupun Roestiawati telah mengajukan gugatan perceraian di pengadilan, baik dari Wahyu Djajadi Kuari maupun Roestiawati Wiryo Pranoto?
Menurut Roestiawati, perlakuan Wahyu Djajadi Kuari selama menjadi suami bahkan ketika awal-awal sudah bercerai yang masih tetap perhitungan pada dirinya, membuat Roestiawati makin teguh untuk menggugat gono gini Wahyu Djajadi Kuari. Mengapa?
Roestiawati pun bercerita, ketika masih menjadi istri Wahyu Djajadi Kuari, Roestiawati tidak bisa menikmati hasil kerja kerasnya bersama sang suami. Bahkan, uang yang telah dikumpulkan kedua pasangan suami istri itu, lebih banyak dinikmati Wahyu.
“Saya masih sakit hati, ketika suatu ketika saya minta kabel charge hp ke Wahyu, padahal harga kabel charge itu tidak seberapa, bagi seorang Wahyu,”tandasnya.
Harga kabel charge itu sangat murah, lanjut Roestiawati. Wahyu tinggal ambil dari salah satu toko aksesoris yang saat ini ia kelola.
“Tapi Wahyu waktu itu langsung bilang ke saya, mulai saat ini kamu tidak boleh lagi minta-minta ke saya. Itu kata Wahyu,” kata Roestiawati.
Wahyu, lanjut Roestiawati, keberatan membayar sebuah kabel charge hp yang sedang saya butuhkan, padahal uang penghasilan dari kerja keras kami selama 16 tahun, untuk saat ini masih dalam penguasaannya.
“Saya sejak bercerai tidak mendapatkan apa-apa, hanya uang Rp. 3 miliar, itupun masih di cicil Wahyu hingga berapa kali. Dengan keadaan seperti ini, apakah saya harus tetap mengalah dan tidak usah meminta bagian saya ke Wahyu?,” tanya Roestiawati.
Itikad tidak baik Wahyu untuk bersikap tidak adil pada saya, sambung Roestiawati, makin terlihat ketika Wahyu berusaha menggeser nama dan keberadaan saya sebagai orang yang masih punya hak pakai untuk beberapa stand di WTC yang saat ini dipakai untuk toko aksesoris.
Masih menurut penjelasan Roestiawati, karena sifat jahat yang diperlihatkan Wahyu itu yang berusaha menyingkirkannya dari kepemilikan stand di WTC, membuat Roestiawati berkonsultasi dengan pengacara, hingga akhirnya timbul niat untuk meminta harta bersama selama perkawinan secara adil.
Roestiawati juga menuturkan, walaupun sudah banyak ketidakadilan yang ia terima dari Wahyu, namun secara pribadi Roestiawati dapat memaafkannya.
Namun, Roestiawati tetap menuntut haknya, hasil kerja kerasnya bersama Wahyu ketika masih menikah dulu. Dan, Roestiawati tidak mau menuntut yang bukan haknya, apalagi meminta pembagian harta bersama yang dikumpulkan ketika masih terikat perkawinam dengan porsi atau bagian yang lebih banyak.
Roestiawati juga menambahkan, hasil pembagian harta bersama yang ia kumpulkan bersama Wahyu selama menikah itu sangat bermanfaat buat kehidupannya selanjutnya.
Selain untuk modal usahanya yang baru, tidak lagi didunia aksesoris hp, Roestiawati ingin membantu pengobatan sang ayah yang saat ini sedang sakit parah dan butuh banyak biaya.
Roestiawati juga menuturkan, sebagai seorang anak, ia tidak mungkin bisa dan tega melihat kondisi ayahnya seperti sekarang ini karena, ketika masih merintis usaha aksesoris bersama Wahyu Djajadi Kuari, apalagi harus mencari barang sampai ke China, ada peran sang ayah disitu.
Sang ayahlah yang membantu komunikasi dengan orang-orang di China karena sang ayah mahir berbahasa China, sehingga kedua pasangan ini lebih mudah mencari barang di China untuk dipasarkan di Surabaya.
Roestiawati hanya berharap ada keadilan bagi dirinya. Roestiawati juga berharap, hakim yang memeriksa perkaranya ini dapat obyektif, dan memperhatikan betul semua bukti-bukti yang dilampirkan dalam gugatan gono gini ini, sehingga putusan yang diambil majelis hakim benar-benar dirasa adil bagi kedua belah pihak. (*)