MATARAM (surabayaupdate) – Terlambat mendapatkan pertolongan saat akan melahirkan, seorang ibu muda harus kehilangan bayinya. Penyebabnya, Rapid Test.
Gusti Ayu Arianti (23) hanya bisa bersedih begitu mengetahui pujaan hatinya yang ada dalam kandungannya selama sembilan bulan sepuluh hari akhirnya meninggal dunia.
Bagaimana peristiwa itu terjadi? Dikutip dari kompas.com, diantar Yudi Prasetya Jaya (24) suaminya dan Jero Fatmawati ibunya, warga Pejanggik, Kota Mataram ini mendatangi Rumah Sakit Angkatan Darat (RSAD) Wira Bhakti Mataram, Selasa (18/8/2020). Waktu itu, Arianti merasa akan melahirkan.
Arianti memilih RSAD Wira Bhakti Mataram karena putri pertamanya juga lahir di sana. Sesampainya disana, Arianti memohon kepada petugas medis yang bertugas waktu itu supaya segera ditangani.
Bukannya segera mendapatkan tindakan medis, Arianti malah disuruh untuk melakukan Rapid Test terlebih dahulu. Arianti bahkan sudah menjelaskan, bahwa ketika itu air ketubannya sudah pecah dan ia sudah mengeluarkan banyak darah.
“Ketuban saya sudah pecah, darah sudah banyak keluar. Begitu sampai rumah sakit, saya tidak ditangani. Kata petugas, saya harus rapid test dulu,”ungkap Arianti kepada kompas.com di rumahnya, Rabu (19/8/2020).
RSAD Wira Bhakti, lanjut Arianti, tidak memiliki fasilitas Rapid Test. Petugas rumah sakit itu menyarankan supaya melakukan rapid test di puskesmas.
“Mereka bilang tidak ada fasilitas rapid test. Mereka tapi tidak menyarankan saya rapid test di laboraturium karena hasilnya akan lama keluar,” kata Arianti.
Rapid test, sambung Arianti, dilakukan di puskesmas terdekat dengan tempat tinggalnya. Arianti sebenarnya sudah memohon agar dilihat terlebih dahulu kondisi kandungannya.
“Sebenarnya, dilihat dulu kondisi saya, sudah bukaan berapa. Mereka tidak mau, katanya harus ada hasil rapid test dulu, ” ujar Arianti sedih.
Arianti menyesalkan sikap petugas rumah sakit yang sama sekali tak bersedia memeriksanya.
Masih menurut Arianti, petugas bisa mengenakan Alat Pelindung Diri (APD) lengkap jika khawatir dengan Covid-19. Arianti secara tegas menyatakan bahwa dirinya tak memiliki gejala sakit seperti pasien Covid-19.
Setelah itu, Arianti bersama suami dan ibunya pulang ke rumah mengganti pembalut yang penuh cairan. Mereka lalu menuju Puskesmas Pagesangan untuk melakukan rapid test Covid-19.
Di puskesmas, Arianti sempat masuk ke ruang bersalin puskesmas dan memohon agar kandungannya diperiksa. Ia juga menjelaskan ada cairan dan darah yang telah keluar.
Akan tetapi, petugas puskesmas memintanya sabar dan harus melakukan rapid test dulu. Dalam kondisi yang semakin lemah, Arianti diharuskan mengikuti antrean.
Suaminya pun protes kepada petugas puskesmas karena istrinya akan melahirkan. Petugas lalu mengizinkannya mendaftar dulu tanpa ikut antrean. Hasil rapid test akan keluar dalam waktu 30 menit.
Karena kesakitan, Arianti kembali berusaha meminta dokter di ruang bersalin puskesmas untuk mengecek kandungannya.
“Saya bilang waktu itu, dokter bisa tidak minta tolong? Bisa tidak saya diperiksa, kira-kira sudah bukaan berapa? Apakah saya akan segera melahirkan, soalnya sakit, saya bilang begitu,” ujar Arianti.
Meski dokter sudah diberitahu jika sudah keluar air dan darah, dokter itu bilang belum waktunya tanpa memeriksa Arianti. Dokter tersebut malah meminta Arianti menunggu hasil rapid test dulu.
Arianti juga menjelaskan, walau dirinya sudah memohon supaya diperiksa kondisinya saat itu, tim medis di puskesmas tak bersedia menangananinya, karena hasil rapid test Covid-19 belum keluar. Arianti hanya bisa pasrah jika harus melahirkan di puskesmas.
Karena tidak tahan, Arianti pulang mengganti pembalut dan meminta ibunya menunggu hasil rapid test di Puskesmas Pagesangan.
Perlakuan tidak adil kembali dirasakan Arianti ketika ia hendak mengurus surat rujukan puskesmas. Surat rujukan itu tidak ia terima hanya karena ia pulang untuk mengganti pembalut. Surat rujukan tersebut sebenarnya begitu berarti karena dengan adanya surat tersebut ia bisa ditangani di RSAD Wira Bhakti Mataram.
Setelah memiliki surat hasil rapid test Covid-19 dari puskesmas, keluarga memilih membawa Arianti ke Rumah Sakit Permata Hati.
Tiba di RS Permata Hati, surat keterangan rapid test Covid-19 tidak diakui karena tidak melampirkan alat rapid test Covid-19. Akhirnya, Arianti pun harus melakukan tes ulang.
Tim medis di RS Permata Hati memeriksa kandungan Arianti. Awalnya, dokter menyebutkan, detak jantung janinnya lemah. Tapi, perlahan mulai kembali normal.
Arianti lega setelah diperiksa. Ia mempersiapkan diri menjalani persalinan dengan operasi caesar. Namun nasib berkata lain, setelah perjuangan yang dilakukannya, bayi laki-laki yang hendak diberi nama I Made Arsya Prasetya Jaya itu dinyatakan meninggal sejak dalam kandungan.
Arianti awalnya tak bisa menerima informasi itu. Karena, ia sempat menanyakan kondisi bayinya setelah operasi kepada dokter. Dan dokter pun menjawab, bayi itu sedang dipanaskan dalam inkubator.
Ketika keluarga membawa jenazah bayi laki-laki itu ke rumah duka, Arianti menghubungi suaminya lewat sambungan video call. Ia menemukan kenyataan bayinya telah tiada. Tangisnya pun pecah. Kesedihan pun tak terbendung.
Arianti dan suaminya, masih dirundung duka yang mendalam. Mereka tak menyangka harus kehilangan buah hati mereka, akibat prosedur yang sangat memberatkan mereka berdua.
“Saya kecewa. Kenapa prosedur atau aturan ketika kami akan melahirkan tidak diberitahu, bahwa wajib membawa hasil rapid test,” tukas Arianti.
Menurutnya, tidak semua ibu hamil yang hendak melahirkan mengetahui aturan tersebut karena tidak pernah ada pemberitahuan. (kdc/pay)