surabayaupdate.com
HEADLINE HUKUM & KRIMINAL INDEKS

Dihukum Tujuh Tahun Penjara, Bupati Novi Rahman Hidhayat Merasa Jadi Korban Politik Dan Rekayasa Hukum

Novi Rahman Hidhayat Bupati Nganjuk non aktif yang terjerat kasus korupsi. (FOTO : dokumen pribadi untuk surabayaupdate.com)

SURABAYA (surabayaupdate) – Meski diganjar dengan pidana penjara selama tujuh tahun, Bupati Nganjuk non aktif Novi Rahman Hidhayat merasa tidak kaget.

Pengusaha muda asal Nganjuk ini mengaku sudah bisa memprediksi, bahwa ia akan mendapat hukuman yang cukup tinggi dari majelis hakim Pengadilan Tipikor Surabaya yang memeriksa dan memutus perkaranya.

Apa yang membuat pengusaha sukses ini tidak kaget dengan pidana tujuh tahun penjara yang ia terima? Dan bagaimana penilaiannya dengan perkara dugaam korupsi jual beli jabatan sebagaimana tercantum dalam surat dakwaan dan surat tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang dituduhkan kepadanya?

Sebagai orang yang ingin membangun Kabupaten Nganjuk pasca terpilih sebagai Bupati, Novi Rahman Hidhayat sangat kecewa dengan sikap para penegak hukum di Indonesia.

Menanggapi hukuman tujuh tahun penjara yang dibacakan hakim I Ketut Suarta, Kamis (6/1/2022) disalah satu ruang sidang Pengadilan Tipikor Surabaya, secara tegas Novi mengaku sebagai korban rekayasa hukum dan memang sengaja (harus) dimasukkan ke penjara.

Novi pun menjabarkan, dari awal penangkapan, penyidikan hingga ia disidangkan, banyak kejanggalan-kejanggalan yang semakin memperkuat dugaan bahwa ia sengaja dikorbankan dan harus dipenjara.

“Putusan hakim Pengadilan Tipikor Surabaya belum mencerminkan rasa keadilan. Banyak sekali fakta yang terungkap dipersidangan diabaikan,’ ujar Novi.

Novi yang saat ini mendekam disel tahanan Rumah Tahanan Negara Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Timur ini bahkan menilai bahwa ia adalah korban politik dan kriminalisasi pihak-pihak tertentu yang tidak suka ia memimpin Kabupaten Nganjuk.

Menurut analisa Novi, dugaan korupsi jual beli jabatan dilingkungan Kabupaten Nganjuk ini ada kaitannya dengan pengamanan untuk pemilihan Bupati dan juga legislatif tahun 2024 mendatang.

Dari situlah, menurut Novi, mulai disusun rencana untuk menggulingkannya dengan merekayasa hukum, sebagai proses mendepak Novi Rahman Hidhayat sebagai Bupati Nganjuk.

“Ada rekayasa dibalik penangkapan saya. Pertama, keberadaan Jumali yang menjadi akar permasalahan karena dikatakan sudah menyuap saya, hingga saat ini tak kunjung ditangkap. Padahal, dalam perkara suap, antara orang yang disuap dengan siapa yang disuap, harus sama-sama mendapatkan sanksi hukum,” ungkap Novi.

Yang kedua, lanjut Novi, uang sebesar Rp. 10 juta yang dipakai sebagai alat penyuapan dan kemudian dijadikan barang bukti suap, malah dikembalikan ke Jumali.

Kasus ini, menurut Novi, semakin terasa sekali rekayasa hukumnya, juga terlihat dari peran Sugeng Purnomo sebagai orang yang dikatakan sebagai koordinator.

“Sugeng Purnomo itu kan dikatakan telah mengkoordinir para kepala desa untuk melakukan suap berkaitan dengan jual beli jabatan. Namun, hingga saat ini, Sugeng Purnomo juga tidak ditangkap dan menerima sanksi hukum,”tandasnya.

Keterlibatan Sugeng Purnomo, sambung Novi, untuk ikut menggulingkan dirinya dari jabatan Bupati Nganjuk, terlihat dari keberadaan Sugeng Purnomo yang hingga saat ini tidak diketahui dimana.

“Beberapa orang yang berusaha mencari keberadaan Sugeng Purnomo tidak berhasil menemukannya. Ada dugaan bahwa Sugeng Purnomo sengaja disembunyikan dan diamankan,” kata Novi.

Jika mencermati proses pembacaan putusan, Novi juga menangkap ada kesan kejar target dan sangat tergesa-gesa yang dilakukan majelis hakim pemeriksa perkara.

“Keputusan majelis hakim untuk membacakan vonis untuk saya juga sangat terkesan buru-buru. Mengapa? Setelah pembacaan duplik dari kuasa hukum saya, tiga jam kemudian vonis dibacakan, tentunya majelis hakim men-skors terlebih dahulu jalannya persidangan,”ujar Novi.

Masih menurut pengakuan Novi, perilaku majelis hakim yang tidak adil juga terlihat dari amar putusan yang dibacakan.

Lebih lanjut Novi mengatakan, meski Izza Muhtadin yang saat itu menjabat sebagai ajudannya sudah mengakui bahwa suap jual beli jabatan itu adalah inisiatif Izza dan yang menerima uan-uang untuk suap itu adalah Izza, namun uang tersebut malah dipergunakan Izza untuk kebutuhan pribadinya, diantaranya untuk membeli mobil.

“Uang yang sudah dikumpulkan Izza hingga saat ini juga tidak disita penuntut umum, begitu juga dengan mobil dan barang-barang lainnya yang dibeli dari uang tersebut, juga tidak disita,”papar Novi.

Semua kejanggalan itu, lanjut Novi, tidak dipertimbangkan hak dan tidak masul dalam putusan. Dari sini, Novi pun melihat, bahwa ada by order dalam putusan atau vonis majelis hakim. Terkait by order tersebut, Novi menjelaskan, pertimbangan hakim dalam putusannya, sama persis dengan pertimbangan hukum penuntut umum, tidak ada yang dirubah maupun ditambahi.

Novi makin kecewa akan keputusan majelis hakim dengan vonis tujuh tahun penjara, karena Novi menganggap bahwa majelis hakim sebagai penegak hukum yang diharapkan menegakkan hukum tegak lurus, malah ikut-ikutan mengabaikan rasa keadilan.

Hal ini dibuktikan Novi dengan gagalnya majelis hakim Pengadilan Tipikor Surabaya membuktikan keberadaan uang Rp. 245 juta sebagaimana yang tercantum dalam surat dakwaan penuntut umum.

Terkait uang Rp. 245 juta itu, Novi menjelaskan bahwa uang itu diperoleh dari uang yang akan dipergunakan Novi untuk keperluan zakat menjelang lebaran sebesar Rp. 647,9 juta.

“Uang Rp. 245 juta ini hasil pemotongan keperluan zakat saya sebesar Rp. 647,9 juta. Dan uang sebanyak Rp. 647,9 juta tersebut saya peroleh dari deviden perusahaan milik saya. Ini murni uang keuntungan untuk saya,” tegas Novi.

Melihat fenomena itu, Novi pun terheran-heran dengan sikap penegak hukum yang sudah mempersiapkan semuanya, termasuk menempatkan sejumlah uang yang nantinya akan dijadikan barang bukti uang hasil penyuapan jual beli jabatan, padahal uang tersebut dipotongkan dari deviden perusahaan miliknya.

Dengan banyaknya kejanggalan yang terungkap mulai dari penangkapannya yang tidak dilengkapi surat penangkapan hingga masalah uang yang jumlahnya ratusan juta dan tidak bisa dibuktikan perolehannya makin memperkuat dugaan Novi bahwa ia sengaja didepak dari jabatannya kemudian dipenjarakan.

Atas ketidak adilan dan adanya dugaan rekayasa hukum yang ia dapatkan ini, Novi Rahman Hidhayat akan melaporkan orang-orang yang terlibat didalamnya.

Selain itu, dengan vonis tujuh tahun penjara dan tidak adanya fakta hukum yang memang membuktikan bahwa ia telah melakukan jual beli jabatan, Bupati Nganjuk non aktif ini akan mengambil langkah hukum banding. (pay)

Related posts

Sistem IT PN Surabaya Error, Sidang Narkoba Digelar Dengan Video Call

redaksi

Program CSR Indosat Ooredoo Hutchison Raih Penghargaan Dari Marketing Interactive 

redaksi

Dua Puluh Poket Sabu Disembunyikan Di Tempat Penyimpanan Beras

redaksi