# Yang Benar Malah Dipenjara Yang Salah Akan Tertawa
Hingga saat ini, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) belum menjatuhkan hukuman kepada Shodikin atas dugaan tindak pidana korupsi pemberian dana Bantuan Operasional Pendidikan (BOP) Covid-19 di Kabupaten Bojonegoro.
Namun, tim penasehat hukum Ketua TPQ/TPA se-Kabupaten Bojonegoro tersebut was-was atau khawatir, jika nantinya majelis hakim yang dipimpin I Ketut Suarta akan menjatuhkan putusan yang salah, sehingga merugikan Shodikin.
Apa yang membuat Pinto Utomo, Johanes Dipa Widjaja, SH.,S.Psi., M.H., C.L.A, Dody Eka Wijaya, S.H., M.H., Satria Ardyrespati Wicaksana, S.H, dan Aulia Yohana, S.H, perlu mengingatkan majelis hakim supaya tidak salah melangkah, tidak salah dalam menjatuhkan vonis kepada seseorang yang menjadi terdakwa di pengadilan?
Berikut laporan wartawan surabayaupdate.com yang mendengarkan pembacaan nota pembelaan atau pledoi dari ruang sidang Candra Pengadilan Tipikor Surabaya yang berlokasi di Sidoarjo, Selasa (19/4/2022).
Oleh : Parlin
“Jangan Sampai Yang Benar Dipenjara, Yang Salah Tertawa”. Kalimat ini tertulis dalam nota pembelaan atau pledoi yang dibuat dan ditanda tangani tim penasehat hukum Shodikin.
Mengapa para advokat yang menjadi pembela Shodikin ini sampai menyerukan kalimat “Jangan Sampai Yang Benar Dipenjara, Yang Salah Tertawa” ?
Ternyata, dalam pokok-pokok pembelaan atau pledoi dugaan tindak pidana korupsi penyaluran dana BOP Covid-19 di Kabupaten Bojonegoro yang menjadikan Shodikin sebagai terdakwa itu, banyak hal yang diungkap tim penasehat hukum.
Dalil-dalil yang dijabarkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kemudian dituangkan dalam surat dakwaan, jika dibandingkan dengan kesaksian para saksi yang telah didengarkan di persidangan, baik saksi a charge maupun saksi a de charge, banyak yang tidak sama atau tidak sinkron.
Fakta hukum apa saja yang tidak sama, antara yang ditulis penuntut umum dalam surat dakwaannya dengan kesaksian beberapa saksi yang sudah didatangkan ke persidangan, yang ditulis tim penasehat hukum terdakwa Shodikin dalam nota pembelaan atau pledoinya ini?
Pinto Utomo, salah satu penasehat hukum terdakwa Shodikin, kemudian memaparkan keanehan, kejanggalan, dugaan pelanggaran hukum yang telah dilakukan penyidik Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri (Kejari) Bojonegoro ketika menangani perkara ini ditingkat penyidikan.
Mengutip isi nota pembelaan atau pledoi yang telah disusun tim pembela terdakwa Shodikin, Pinto menyatakan, sehubungan dengan telah selesainya pemeriksaan perkara pidana nomor : 121/Pid. Sus-TPK/2021/PN.Sby, dengan ini tim penasehat hukum terdakwa Shodikin menyampaikan pokok-pokok pembelaan.
Lebih lanjut Pinto menerangkan, keterangan para saksi a charge yang diajukan JPU, pada intinya menerangkan adanya penyerahan uang sebesar Rp. 600 ribu kepada saksi Andik Fajar Nenggolan, selanjutnya saksi Andik Fajar Nenggolan menyerahkan uang tersebut kepada terdakwa Shodikin adalah tidak benar¸ mengingat keterangan saksi-saksi tersebut tidak didukung alat bukti lainnya.
“Bahkan, beberapa saksi a charge, justru mencabut keterangannya dalam BAP, berkaitan dengan penyerahan uang Rp. 600 ribu kepada saksi Andik Fajar Nenggolan, yang kemudian uang Rp. 600 ribu tersebut diserahkan ke terdakwa Shodikin,”ujar Pinto saat membacakan nota pembelaan atau pledoi untuk terdakwa Shodikin.
Para saksi tersebut, lanjut Pinto saat membacakan nota pembelaan terdakwa Shodikin, malah memberikan keterangan tidak mengenal terdakwa Shodikin dan tidak pernah memberikan uang itu kepada terdakwa Shodikin, termasuk kepada saksi Andik Fajar Nenggolan.
“Bahkan, dalam persidangan, saksi Andik Fajar Nenggolan juga ikut mencabut keterangannya dimuka persidangan,” kata Pinto saat membacakan nota pembelaan atau pledoi.
Dalam BAP, sambung Pinto, saksi Andik Fajar Nenggolan menyatakan menerima uang sejumlah Rp. 600 ribu dari seluruh koordinator Kecamatan (Kortan), selanjutnya diserahkan kepada terdakwa.
“Ketika dimuka persidangan, saksi Andik Fajar Nenggolan terpaksa memberikan keterangan seperti itu, karena mendapatkan intimidasi dan ancaman dari jaksa penyidik Pidsus Kejari Bojonegoro,”ungkap Pinto, mengutip isi nota pembelaan terdakwa Shodikin.
Berkaitan dengan keterangan saksi-saksi yang dihadirkan penuntut umum maupun tim penasehat hukum terdakwa Shodikin, beberapa saksi yang didatangkan Tarjono dan Marindra Prahandif, SH., MH, jaksa Kejari Bojonegoro yang ditunjuk untuk menyidangkan perkara Shodikin ini banyak yang memberikan keterangan mendapat tekanan serta intimidasi.
“Bahkan saksi-saksi tersebut, diarahkan untuk memberikan keterangan, sesuai dengan permintaan atau arahan jaksa penyidik dengan cara menyodorkan surat pernyataan yang formatnya dibuat jaksa penyidik,”kata Pinto saat membacakan nota pembelaan.
Selanjutnya, Pinto melanjutkan, saksi-saksi tersebut dipaksa untuk menyalin dan menandatangani surat pernyataan itu serta diancam tidak boleh pulang apabila tidak bersedia menuruti perintah
jaksa penyidik.
Pada nota pembelaan atau pledoinya ini, tim penasehat hukum terdakwa Shodikin juga mengungkap adanya pemeriksaan saksi-saksi yang tidak wajar dan tidak manusiawi.
Berkaitan dengan hal itu, masih dalam nota pembelaan atau pledoi tim penasehat hukum terdakwa Shodikin disebutkan, bahwa para saksi yang diminta datang jaksa penyidik Kejari Bojonegoro, mengaku didalam persidangan, diperiksa mulai pukul 09.00 Wib sampai dengan pukul 01.00 Wib dini hari.
Ketika tim penasehat hukum terdakwa minta kepada majelis hakim supaya menghadirkan oknum jaksa Kejari Bojonegoro yang disebut-sebut telah melakukan intimidasi kepada para saksi, yang terjadi adalah bukan oknum jaksa yang disebut-sebut telah melakukan intimidasi yang datang ke persidangan, melainkan jaksa lain.
Hal lain yang diminta tim penasehat hukum terdakwa untuk ditindak lanjuti adalah berkaitan dengan dibukanya Closed Circuit Television (CCTV).
Berkaitan dengan dibukanya CCTV tersebut, tim penasehat hukum terdakwa, dalam nota pembelaan atau pledoinya menjelaskan, dibukanya CCTV diruang pemeriksaan itu supaya terang benderang kebenarannya, apakah benar bahwa selama proses penyidikan atau pemeriksaan saksi-saksi yang dilakukan para penyidik Pidsus Kejari Bojonegoro tersebut tidak ada intimidasi.
“Namun, penuntut umum tidak berani mengungkap kebenaran hal tersebut, sehingga perolehan alat-alat bukti yang diduga dilakukan dengan cara-cara melawan hukum,” jelas Pinto saat membacakan nota pembelaannya.
Karena perolehan alat-alat bukti tersebut tidak patut, dilakukan dengan cara-cara melawan hukum, sambung Pinto, sudah selayaknya jika alat bukti yang perolehannya tidak patut, dengan cara-cara melawan hukum tersebut, tidaklah mempunyai kekuatan pembuktian sebagai alat bukti yang sah serta tidak layak untuk dipertimbangkan.
Tim penasehat hukum terdakwa Shodikin kemudian mengutip penjelasan dan teori hukum dua saksi ahli yang didatangkan ke persidangan.
Ahli pertama yang didatangkan adalah Dr. M. Sholehuddin, SH., M.H. Berdasarkan teori hukum yang dipaparkan pakar hukum pidana ini, apabila penyidik melakukan pemeriksaan di luar jam kerja, bahkan sampai dengan dini hari, maka tindakan yang demikian telah melanggar norma etis yang ada di dalam hukum acara pidana dan tidak mencerminkan penegakan hukum yang bermartabat.
“Pemeriksaan terhadap saksi-saksi yang telah melanggar norma etis, dapat disimpulkan bahwa, perolehan alat bukti dengan cara-cara yang melawan hukum tersebut, bertentangan dengan prinsip hukum Non Self Incrimination dan juga norma hukum sebagaimana dimaksud di dalam pasal 117 ayat (l) KUHAP jo pasal 5 ayat (1) huruf a dan c UU No. 31 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban jo pasal 5 huruf (g) jo pasal 7 ayat (I) huruf (f) dan huruf (g) Peraturan Jaksa Agung Republik Indonesia No. Per-014/A/Ja/11/2012 tentang Kode Perilaku Jaksa,” papar Pinto saat membacakan nota pembelaan atau pledoi.
Ahli kedua yang didatangkan ke persidangan adalah Dr. Hufron, S.H., M.H. Di dalam persidangan, ahli Hukum Administrasi Negara ini menerangkan, sebelum adanya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PU/XIV/ 2016, makna kerugian keuangan negara adalah potensial lost, karena ada kata “dapat”.
“Namun, setelah adanya Putusan MK tersebut, frasa “dapat” dinyatakan bertentangan dengan pasal 28 huruf (D) UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
“Jadi, dengan demikian, bentuk kerugian keuangan negara bukan lagi potensial lost melainkan Actual Lost atau nilai kerugian yang senyata-nyatanya, sehingga pemeriksaan atau audit terkait kerugian keuangan negara, harus dilakukan satu persatu dan menyeluruh,”papar Pinto lagi, mengutip isi nota pembelaan atau pledoi yang ia bacakan.
Berkaitan dengan penghitungan kerugian keuangan negara dalam tindak pidana korupsi tersebut, Pinto Utomo melanjutkan, pendapat ahli Dr. Hufron, S.H., M.H. tersebut diperkuat pula dengan keterangan ahli Dr. M. Sholehudin, S.H., yang menerangkan bahwa kerugian keuangan negara haruslah dihitung secara actual, yang artinya harus benar-benar nyata nominal kerugian keuangan negara yang timbul.
Teori hukum dan ilmu hukum yang dijabarkan panjang lebar kedua ahli tersebut bertentangan dan tidak sesuai dengan dalil-dalil yang diungkapkan penuntut umum Kejari Bojonegoro.
Penghitungan kerugian keuangan negara yang diungkapkan JPU dalam surat dakwaannya, menurut tim penasehat hukum terdakwa dalam nota pembelaannya, hanya berdasarkan secuil data yang dimiliki JPU.
“Dalam dakwaan JPU menyebutkan, ada 957 lembaga yang menerima Dana BOP COVID-19, namun di dalam persidangan hanya tujuh lembaga TPA atau TPQ yang diperiksa dari total 957 lembaga yang dianggap melakukan pemotongan dana bantuan,” jelas Pinto saat membacakan nota pembelaannya.
Masih menurut penjelasan Pinto, hal tersebut berarti bahwa data yang dimiliki JPU terkait kerugian negara adalah tidak realible, mengingat sample yang digunakan JPU kurang dari 1 %, yakni hanya 0,7 % dari total populasi 957 lembaga, sehingga data tersebut memiliki Margin Of Error yang sangat besar.
Karena adanya Margin Of Error yang sangat besar itu, tim penasehat hukum terdakwa berpendapat, bahwa penghitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan penyidik Pidsus Kejari Bojonegoro kemudian dituangkan dalam surat dakwaannya, tidak dapat dipakai sebagai acuan dan tidak dapat dipercaya untuk menyatakan bahwa ada kerugian keuangan negara dalam pemberian dana bantuan dari Kementerian Agama (Kemenag) RI se-Kabupaten Bojonegoro.
Ahli pidana, Dr. M. Sholehuddin, SH dalam keterangannya dimuka persidangan juga menjelaskan, berdasarkan ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP tentang alat bukti yang sah, salah satunya itu harus reliable, artinya alat bukti tersebut patut serta dapat dipercaya.
Dengan perolehan alat bukti yang dijabarkan penuntut umum dalam surat dakwaannya, tim penasehat hukum terdakwa Shodikin pun menilai, jika data-data yang ditulis dan dijabarkan JPU tersebut tidak reliable, tidak dapat dipercaya kebenarannya.
” Sehingga, apabila data-data yang dipaparkan penuntut umum semacam itu tetap dipertimbangkan majelis hakim, maka tentu saja sangat merugikan terdakwa,” jelas Pinto.
Hal lain yang menjadi keberatan tim penasehat hukum terdakwa Shodikin yang ditulis dalam nota pembelaan adalah tentang laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara atas perkara dugaan tindak pidana penyaluran BOP Covid-19.
Tim penasehat hukum terdakwa Shodikin dalam nota pembelaannya menyebutkan, bahwa laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara tidak pernah diperlihatkan atau diajukan dalam persidangan, sekalipun tim penasihat hukum terdakwa telah meminta di dalam persidangan, namun tetap tidak diperlihatkan JPU dan tidak dilampirkan pula di dalam tuntutannya.
“Dengan demikian, Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara atas Perkara dugaan tindak pidana penyaluran BOP Covid-19 yang tidak pernah diajukan, diperlihatkan, diperiksa, dan diuji di persidangan, bukan merupakan alat bukti sah,” kata Pinto.
Sudah selayaknya, sambung Pinto, laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara yang dibacakan penuntut umum didalam persidangan beberapa waktu yang lalu itu tidak dapat dan tidak layak dipertimbangkan majelis hakim, mengingat hanya alat bukti yang diajukan dipersidangan saja yang dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah.
Kejanggalan selanjutnya yang dijelaskan penuntut umum dalam surat dakwaannya dan kemudian dijabarkan tim penasehat hukum terdakwa Shodikin dalam nota pembelaannya adalah berkaitan dengan unsur memperkaya diri sendiri yang telah dilakukan terdakwa Shodikin.
Berkaitan dengan unsur memperkaya diri sendiri ini, tim penasehat hukum terdakwa menuliskan dalam nota pembelaannya, bahwa dalam dakwaan JPU yang menyebutkan terdakwa Shodikin memperkaya diri sendiri atau orang lain bersama-sama dengan Khotimatus Sa’adah, Nur Kholis, Suyuti, Zainal Ma’arif, dan Imam Muhksin tidak terbukti kebenarannya, mengingat berdasarkan fakta di persidangan terungkap, bahwa terdakwa Shodikin tidak kenal dengan Khotimatus Sa’adah, Nur Kholis, Suyuti, Zainal Ma’arif, dan Imam Muhksin.
Lebih lanjut tim penasehat hukum terdakwa dalam nota pembelaannya ini mrnjabarkan, selama persidangan, hanya satu orang saja dari kelima orang tersebut yang dihadirkan sebagai saksi, yakni Nur Kholis.
“Nur Kholis menerangkan, tidak kenal dengan terdakwa Shodikin, sehingga sangat tidak masuk akal apabila di dalam dakwaan mengatakan bahwa terdakwa secara bersama-sama memperkaya diri sendiri atau orang lain in casu Khotimatus Sa’adah, Nur Kholis, Suyuti, Zainal Ma’arif, dan Imam Muhksin,” jelas Pinto saat membacakan nota pembelaannya.
Andaikata benar, sambung Pinto, bahwa terdakwa Shodikin secara bersama-sama memperkaya diri sendiri dan orang lain yaitu Khotimatus Sa’adah, Nur Kholis, Suyuti, Zainal Ma’arif, dan Imam Muhksin. — quod non — maka setidaknya orang-orang yang namanya disebutkan di atas, juga menjadi terdakwa dalam perkara ini atau setidaknya dihadirkan sebagai saksi. Namun hal tersebut tidak pernah dilakukan.
Tim penasehat hukum terdakwa Shodikin pun berkesimpulan, dari banyaknya kejanggalan-kejanggalan, tindakan melawan hukum yang sudah dilakukan penyidik Kejari Bojonegoro dalam perolehan alat bukti, sebagaimana diungkapkan tim penasehat hukum terdakwa dalam nota pembelaannya ini membuktikan bahwa dalil-dalil JPU dalam surat dakwaannya sudah selayaknya diragukan kebenarannya sehingga sudah sepatutnya apabila surat dakwaan JPU dinyatakan tidak terbukti dan terdakwa Shodikin dinyatakan tidak bersalah melakukan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan uraian dan pemaparan bukti-bukti yang terungkap selama persidangan, tim penasehat hukum terdakwa kemudian meminta kepada majelis hakim yang memeriksa serta memutus perkara ini dapat bertindak arif, bijaksana dan memperhatikan bukti-bukti yang ditemukan tim penasehat hukum terdakwa dari persidangan-persidangan sebelumnya, termasuk adanya pelanggaran hukum, tindakan tidak patut yang dilakukan penyidik ketika memperoleh alat bukti keterangan saksi-saksi selama proses penyidikan.
Karena banyaknya kejanggalan, ketidak adilan serta perolehan alat bukti yang tidak dilakukan dengan benar serta melanggar aturan itulah, tim penasehat hukum terdakwa Shodikin menyerukan supaya majelis hakim tidak salah dalam mengambil keputusan. Majelis hakim haruslah membebaskan terdakwa Shodikin dari dakwaan dan tuntutan penuntut umum.
Jika majelis hakim salah dalam mengambil keputusan, salah dalam menjatuhkan vonis bagi terdakwa, menurut tim penasehat hukum terdakwa, yang terjadi adalah yang benar (malah) dipenjara sedangkan yang bersalah atau pelaku sebenarnya akan tertawa terbahak-bahak melihatnya. (*)