SIDOARJO (surabayaupdate) – Sidang dugaan korupsi Pelaksanaan Proyek Bantuan Keuangan Desa (BKD) di Kecamatan Padangan, Kabupaten Bojonegoro yang menjadikan Bambang Soedjatmiko, S.T sebagai terdakwa kembali digelar di Pengadilan Tipikor Surabaya.
Pada persidangan yang digelar Senin (7/8/2023) ini, terdakwa Bambang Soedjatmiko melalui tim penasehat hukumnya mengajukan nota keberatan atau eksepsi yang dibuat dan disusun tim jaksa Tindak Pidana Khusus (Pidsus) Kejaksaan Negeri (Kejari) Bojonegoro.
Berdasarkan nota keberatan atau eksepsi yang dibuat tim penasehat hukum terdakwa Bambang Soedjatmiko itu dinyatakan, bahwa di dalam dakwaannya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) mendalilkan terdakwa sebagai orang yang melakukan atau turut serta melakukan perbuatan (dugaan tindak pidana korupsi) bersama-sama dengan saksi Purno Sulastyo, SH., selaku Kepala Desa Cendono, saksi Abu Ali selaku Kepala Desa Kebonagung, saksi Pujiono selaku Kepala Desa Kendung, saksi Mohammad Syaifudin, S.Sos selaku Kepala Desa Kuncen, saksi Supriyanto selaku Kepala Desa Dengok, saksi Sahid selaku Kepala Desa Prangi (telah meninggal dunia), saksi Sakri selaku Kepala Desa Purworejo, dan saksi Wasito selaku Kepala Desa Tebon.
Namun anehnya, nama-nama kepala desa tersebut tidak ada satupun yang ditetapkan sebagai terdakwa dalam perkara ini.
Kejanggalan kedua yang disampaikan tim pembela terdakwa Bambang Soedjatmiko dalam nota keberatan atau eksepsinya, masih berdasarkan surat dakwaan, penuntut umum mendalilkan, dalam proses pengadaan barang dan jasa tahap pertama di delapan desa yaitu Desa Cendono, Desa Kebonagung, Desa Kuncen, Desa Kendung, Desa Dengok, Desa Prangi, Desa Purworejo, dan Desa Tebon, terdakwa ditunjuk langsung tanpa perjanjian atau kontrak kerja oleh delapan orang Kepala Desa yakni Purno Sulastyo, selaku Kepala Desa Cendono, Abu Ali selaku Kepala Desa Kebonagung, Pujiono selaku Kepala Desa Kendung, Mohammad Syaifudin selaku Kepala Desa Kuncen, Supriyanto selaku Kepala Desa Dengok, Sahid selaku Kepala Desa Prangi (telah meninggal dunia), Sakri selaku Kepala Desa Purworejo, dan Wasito selaku Kepala Desa Tebon, tanpa melalui proses lelang.
“Hal tersebut bertentangan dengan pasal 1 ayat (1) Perpres nomor 12 tahun 2021 tentang Perubahan Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah,” kata Pinto Utomo, salah satu pembela terdakwa Bambang Soedjatmiko saat membacakan nota keberatan atau eksepsinya.
Perbuatan itu, lanjut Pinto, juga bertentangan dengan Permendagri No. 20 tahun 2018 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, Peraturan LKPP No. 12 tahun 2019 tentang Pedoman Penyusunan Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa, Peraturan Bupati Bojonegoro No. 11 Tahun 2021 tentang Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa, Petunjuk Teknis Kegiatan Bantuan Keuangan Desa Khusus yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten Bojonegoro yang diterbitkan Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Tata Ruang Kabupaten Bojonegoro.
“Demikian juga dengan prosedur pengajuan pembayaran tidak dilakukan sesuai ketentuan, dimana Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dibuat tanpa prosedur pengajuan oleh Pelaksanaan Pengelolaan Keuangan Desa (PPKD) bidang terkait ketika barang/jasa diterima atau sebagai panjar kegiatan, namun dilakukan pada awal kegiatan dengan nilai keseluruhan sesuai dengan Rencana Anggaran Biaya (RAB) dan Pembayaran kepada terdakwa dilakukan sendiri oleh masing-masing Kepala Desa dengan cara tunai.
Tim pembela terdakwa Bambang Soedjatmiko yang terdiri dari Pinto Utomo, S.H., M.H., Johanes Dipa Widjaja, S.H., S.Psi., M.H. Agus Eko Priyo Darmono, S.H., M.H., Satria Ardyrespati Wicaksana, S.H., Aulia Yohana, S.H., M.Kn., Beryl Cholif Arrachman, S.H., Dody Eka Wijaya, S.H., M.H. Wachid Aditya Ansori, S.H., M.H., Shannon Spencer Mulianto, S.H., M.H., May Cendy Aninditya Wilis Putri, S.H., Inggrit Carolina Nafi, S.H., dalam nota keberatan atau eksepsinya juga menerangkan, dalam surat dakwaan penuntut umum, terdakwa Bambang Soedjatmiko, S.T. dianggap tidak pernah memasukkan penawaran selaku pelaksana pekerjaan.
“Padahal faktanya, justru terdakwa Bambang Soedjatmiko, S.T. tidak pernah diminta memasukkan penawaran ke delapan desa yaitu Desa Cendono.Desa Kebonagung. Desa Kucen, Desa Kendung. Desa Dengok, Desa Prangi, Desa Purworejo, dan Desa Tebon, sehingga terdakwa Bambang Soedjatmiko, S.T. tidak memasukkan penawaran barang dan jasa,” ungkap Pinto Utomo saat membacakan nota keberatan tim penasehat hukum.
Terdakwa Bambang Soedjatmiko, sambung Pinto, langsung melakukan pekerjaan pembangunan Jalan Desa sebagaimana arahan dan permintaan delapan Kepala Desa tersebut.
Oleh karena itu, tim pembela terdakwa Bambang Soedjatmikk menilai, adalah hal yang janggal dan tidak masuk akal jika hanya Bambang Soedjatmiko, S.T. yang dipersalahkan dalam perkara ini dan didudukan sebagai terdakwa satu-satunya, kalau memang penuntut umum menilai bahwa apa yang dilakukan Bambang Soedjatmiko tersebut melanggar tindak pidana korupsi.
“Bagaimana dengan delapan kepala desa yang hanya berstatus sebagai saksi dan tidak didudukkan sebagai terdakwa sebagaimana terdakwa Bambang Soedjatmiko, S.T ?,” tanya Pinto Utomo saat membacakan nota keberatan atau eksepsi tim penasehat hukum terdakwa.
Tim pembela terdakwa Bambang Soesjatmiko dalam nota keberatan atau eksepsinya ini juga menjabarkan, berdasarkan uraian dalam dakwaan yang dibuat dan disusun penuntut umum juga sangat terlihat jelas, delapan orang kepala desa tersebut memiliki peran aktif dalam proses pengadaan barang/jasa untuk pelaksanaan pembangunan jalan desa di delapan Desa seperti Desa Cendono, Desa Kebonagung, Desa Kucen, Desa Kendung, Desa Dengok, Desa Prangi, Desa Purworejo, dan Desa Tebon, mulai dari memberikan “lampu hijau” kepada terdakwa Bambang Soedjatmiko untuk menjadi pelaksana pembangunan jalan desa di delapan desa, dengan melakukan penunjukan langsung tanpa melalui proses lelang sebagaimana mestinya, sesuai dengan Peraturan Bupati Bojonegoro nomor 11 tahun 2021 tentang Tata Cara Pengadaan Barang/Jasa di Desa hingga pendistribusian dana kepada terdakwa.
“Namun lagi-lagi delapan orang kepala desa tersebut tidak diproses secara hukum bersama-sama dengan terdakwa,” kata Pinto Utomo membacakan nota keberatan tim penasehat hukum terdakwa.
Hal lain yang dinilai tim penasehat hukum terdakwa Bambang Soedjatmiko bahwa perkara ini sangat dipaksakan dan ada kesan hanya Bambang Soedjatmiko yang harus ditumbalkan adalah tebtang adanya anggaran yang telah dikembalikan terdakwa Bambang Soedjatmiko.
Lebih lanjut diterangkan dalam nota keberatan atau eksepsi tim pembela terdakwa Bambang Soedjatmiko ini, masih berdasarkan surat dakwaan JPU.
Penuntut umum dalam surat dakwaannya menyatakan, bahwa ada uang sisa anggaran yang telah dikembalikan ke kas desa.
Anggaran yang telah dikembalikan itu rinciannya sebagai berikut : uang sisa anggaran sebesar Rp. 130 juta dikembalikan ke kas Desa Dengok, Uang sisa anggaran sebesar Rp. 200.705.000 dikembalikan ke kas Desa Prangi, uang sisa anggaran sebesar Rp. 100.025.000,- dikembalikan ke kas Desa Purworejo, uang sisa anggaran sebesar Rp. 297.300.000,- dikembalikan ke kas Desa Tebon.
“Tapi mengapa penuntut umum tidak melihat dan memperhitungkan adanya uang sisa anggaran yang dikembalikan terdakwa Bambang Soedjatmiko ke delapan desa itu?,” kata Pinto Utomo penuh tanya, mengutip nota keberatan tim penasehat hukum terdakwa.
Penuntut Umum, lanjut Pinto, juga tidak tidak jelas menyebutkan nominal serta keberadaan sisa anggaran yang lainnya.
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, menurut pengamatan tim penasehat hukum terdakwa Bambang Soedjatmiko dan kemudian dituangkan dalam nota keberatan atau eksepsi, akhirnya disimpulkan terbukti bahwa surat dakwaan JPU tidak disusun dengan cermat dan tidak jelas, sehingga sudah sepatutnya dinyatakan batal demi hukum atau van rechtwege nietig.
Tim pembela terdakwa Bambang Soedjatmiko dalam nota keberatannya juga menilai, bahwa penuntut umum ketika menyatakan terdakwa Bambang Soedjatmiko telah melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 35 ayat (2) Undang-Undang No. 46 tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, tanpa didasari alasan-alasan hukum yang kuat karena penuntut umum tidak dapat menguraikan unsur-unsurnya.
Ironisnya lagi, surat dakwaan penuntut umum juga disusun asal-asalan dan tidak lengkap sehingga surat dakwaan ini sudah sepatutnya batal demi hukum rechgenietig.
“Yang dimaksud uraian secara lengkap berarti surat dakwaan itu memuat semua unsur atau elemen tindak pidana yang didakwakan,” tandas tim penasehat hukum terdakwa yang termuat dalam nota keberatan atau eksepsi.
Karena banyaknya kejanggalan prosedur penyusunan surat dakwaan yang dilanggar penuntut umum, hal ini membuktikan bahwa surat dakwaan JPU Obscuur Libel tidak konsisten dan saling bertentangan, disusun secara tidak cermat tidak jelas dan tidak lengkap, sehingga sudah sepatutnya Surat Dakwaan tersebut dibatalkan atau dinyatakan batal demi hukum atau setidak-tidaknya dinyatakan tidak dapat diterima.
Oleh karena itu, karena surat dakwaan penuntut umum disusun tidak sebagaimana mestinya, tim penasehat hukum terdakwa Bambang Soedjatmiko memohon kepada majelis hakim Pengadilan Tipikor Surabaya yang memeriksa dan memutus perkara ini supaya menerima keberatan atau eksepsi tim penasehat hukum Bambang Soedjatmiko, ST.
Para advokat yang menjadi pembela Bambang Soedjatmiko juga memohon kepada majelis hakim yang terdiri dari Hj. Halima Uma Ternate, SH, MH sebagai Ketua Majelis dan Emma Ellyani, SH, MH., serta Manambus Pasaribu, SH, MH., masing-masing sebagai hakim anggota, supaya menyatakan surat dakwan penuntut umum nomor register : Pk. PDS-03/M.5.16.4/F1.1/07/2023 tertanggal 24 Juli 2023 dinyatakan batai dan/atau batal demi hukum atau dinyatakan tidak dapat diterima.
Tim pembela Bambang Soedjatmiko dalam nota keberatannya juga memohon kepada majelis hakim supaya menyatakan perkara ini tidak dapat diperiksa lebih lanjut.
Hal terakhir yang dimohonkan tim pembela Bambang Soedjatmiko adalah meminta kepada majelis hakim untuk memerintahkan kepada Jaksa/Penuntut Umum untuk segera mengeluarkan terdakwa Bambang Soedjatmiko dari tahanan. (pay)