SURABAYA (surabayaupdate) – Gugatan harta gono gini yang dimohonkan Roestiawati Wiryo Pranoto di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya memasuki agenda persidangan duplik.
Dalam dupliknya, pengusaha cantik asal Surabaya Roestiawati Wiryo Pranoto, melalui kuasa hukumnya Dr. B. Hartono, SH., SE., SE.Ak., MH., CA, mengungkap kejanggalan-kejanggalan yang terjadi saat dirinya bersepakat damai melalui sebuah perjanjian.
Bukan hanya itu, Dr. B. Hartono, SH., SE., SE.Ak., MH., CA juga mengungkapkan, adanya pemberian uang sebesar Rp. 3 miliar dari Wahyu Djajadi Kuari, dalam perkara ini sebagai tergugat, yang menyalahi aturan dan proses pemberiannya sangat tidak lazim.
Apa saja kejanggalan-kejanggalan yang diungkap Roestiawati Wiryo Pranoto melalui kuasa hukumnya tentang perjanjian kesepakatan yang menyalahi aturan tersebut?
Kejanggalan pertama yang menjadi sorotan Hartono, sebagaimana ia tuangkan dalam duplik, adalah terkait waktu pembuatan perjanjian hingga perjanjian itu ditanda tangani Roestiawati Wiryo Pranoto dan Wahyu Djajadi Kuari.
“Perjanjian kesepakatan yang dibuat dan dicatatkan dikantor Notaris Wahyudi Suyanto itu proses pencatatannya tidak lazim dan sangat janggal,” ujar Hartono, Rabu (29/9/2021).
Mengapa? lanjut Hartono. Karena proses pencatatan dihadapan Notaris Wahyudi Suyanto tersebut dilakukan tengah malam. Ironisnya, waktu kedua belah pihak yang sepakat membuat perjanjian itu menandatangani akte perjanjian, tidak ada saksi yang melihat proses penandatanganan tersebut.
“Adalah sesuatu hal yang aneh, misterius dan penuh kejanggalan, mengapa kesepakatan antara Roestiawati Wiryo Pranoto dan Wahyu Djajadi Kuari yang mereka tuangkan dalam sebuah perjanjian kemudian dicatatkan dikantor pengacara Wahyudi Suyanto tersebut tidak dilakukan pada jam kerja?,” kata Hartono penuh tanya.
Masih menurut Hartono, mengutip isi duplik yang dibuatnya, perjanjian kesepakatan yang sudah dibuat Roestiawati Wiryo Pranoto dan Wahyu Djajadi Kuari tersebut dibuat sebelum adanya perceraian.
“Yang umumnya terjadi adalah, ketika pasangan suami istri akan melakukan pembagian harta bersama atau gono gini, haruslah menunggu adanya perceraian terlebih dahulu,” ungkap Hartono.
Dengan ditemukannya kejanggalan yang kedua ini, Hartono pun berkeyakinan bahwa ada unsur paksaan, intimidasi dan tekanan yang diterima Roestiawati Wiryo Pranoto sehingga wanita pengusaha asal Surabaya ini tidak memiliki kemampuan apa-apa untuk menolak perjanjian yang dibuat serta dicatatkan di notaris Wahyudi Suyanto tersebut.
Kejanggalan ketiga yang ditemukan kuasa hukum Roestiawati ketika mengamati perjanjian kesepakatan, mulai dari pembuatan hingga perjanjian itu ditandatangani Roestiawati dan Wahyu Djajadi Kuari adalah hasil dari perjanjian itu yang dirasakan Roestiawati.
“Penggugat dalam perkara ini adalah Roestiawati, sudah sangat-sangat dipermainkan dan benar-benar dibodohi karena ketidak cakapannya atau ketidak mengertiannya tentang hukum,”tandas Hartono.
Jika memang Wahyu Djajadi Kuari, sambung Hartono, ingin melaksanakan kesepakatan yang tertuang dalam perjanjian itu, yaitu pemberian uang kepada Roestiawati, harusnya dilakukan secara tunai dan seketika itu juga.
Apabila kesepakatan itu tidak dilaksanakan seketika itu juga, atau dicicil, menurut Hartono, hal itu tidak memenuhi syarat sahnya kesepakatan atau perjanjian bersama.
Untuk pembagian harta gono gini, Hartono menjelaskan, apabila terjadi kesepakatan, harus ada surat pernyataan dari masing-masing pihak, tentang seluruh harta gono gini yang dimiliki baik istri maupun suami, selama perkawinan terjadi.
Jika tergugat menuding adanya perselingkuhan yang sudah penggugat lakukan, langsung dibantah Hartono. Menurut Hartono, tudingan perselingkuhan itu tidak ada dasarnya.
“Dalam putusan perceraian antara Roestiawati dengan Wahyu Djajadi Kuari, tidak didalilkan majelis hakim. Sehingga tudingan perselingkuhan yang dilakukan Roestiawati atau penggugat tersebut sangat memojokkan dan melecehkan hak hidup penggugat,” papar Hartono.
Oleh karena itu, Hartono meminta kepada pihak tergugat untuk membuktikan adanya perselingkuhan yang dilakukan penggugat.
Lebih lanjut Hartono menjelaskan, kebersamaan dengan lawan jenis, belum tentu dapat dikatakan telah terjadi perselingkuhan dan hal ini perlu dicatat.
Hartono tetap meyakini bahwa dalilnya dalam gugatan bahwa penggugat berhak untuk mendapatkan harta gono gini. Sebab berdasarkan hukum yang berlaku, masing masing pihak baik Roestiawati maupun Wahyu Djajadi Kuari, berhak mendapatkan separuh dari total harta bersama yang mereka peroleh selama 16 tahun perkawinan.
Adanya gugatan harta gono gini ini, menurut Hartono, bukan tanpa dasar hukum yang jelas. Permohonan gugatan harta gono gini ini dibuat berdasarkan UU Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan pendapat dari pakar-pakar hukum lain.
Sementara itu, Wahyu Djajadi Kuari melalui kuasa hukumnya Dr Yory Yusran menyataka, tetap menolak dalil-dalil penggugat.
Bukan hanya itu, kuasa hukum tergugat juga bersikukuh bahwa perjanjian kesepakatan yang dibuat penggugat dan tergugat di kantor notaris Wahyudi Suyanto tersebut sudah sah.
Terkait adanya ketidakadilan yang diklaim penggugat dalam pembagian harta gono gini, Yory menyebut bahwa hal itu adalah hak penggugat untuk menilainya.
“ Adil atau tidak itu adalah hal yang relatif, karena tergugat diberikan tugas untuk membesarkan anak,” ujarnya.
Sementara pihak notaris melalui kuasa hukumnya menolak berkomentar karena pihaknya hanya mencatat yang menjadi kesepakatan penggugat dan tergugat.
Perlu diketahui, dalam gugatan no perkara no 650/pdt G/2021/PN Sby ini disebutkan bahwa keduanya menjadi pihak yang harus bertanggungjawab atas dugaan adanya ketidak adilan dalam pembagian harta gono gini.
Wahyu Djajadi Kuari selaku Tergugat I adalah mantan suami dari penggugat Roestiawati Wiryo Pranoto, sementara Wahyu Suyanto selaku turut tergugat adalah notaris yang menyaksikan perjanjian kesepakatan yang mana isinya penggugat hanya menerima Rp 3 miliar dari total Rp 40 miliar harta hasil selama penggugat dan tergugat I menjalani pernikahan.
Kuasa hukum penggugat tetap akan berjuang untuk hak kliennya atas harta gono gini diperoleh dari hasil selama perkawinan penggugat dengan tergugat itu harus dibagi dua. (pay)