SURABAYA (surabayaupdate) – Meski sudah menerima pembagian hasil dari bisnis yang ditawarkan kepadanya, Canggih Solimin mengaku masih mengalami kerugian sebesar Rp. 4,825 miliar.
Canggih Solimin adalah pengusaha yang ikut berinvestasi dalam project yang ditawarkan Greddy Harnando, terdakwa lain yang terjerat dugaan tindak pidana penipuan dan penggelapan bersama dengan Indah Catur Agustin.
Pada persidangan yang digelar Senin (1/7/2024) untuk perkara dengan terdakwa Indah Catur Agustin, Canggih Solimin dihadirkan tim Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebagai saksi.
Dihadapan majelis hakim yang diketuai Mochammad Djoenaidie inilah Canggih Solimin yang didengar keterangannya pertama, menyebutkan bahwa ia masih mengalami kerugian sebesar Rp. 4,825 miliar.
Canggih Solimin dalam persidangan ini mengatakan, bahwa ia telah melakukan investasi dengan nilai keseluruhan Rp. 18,9 miliar.
“Uang yang saya investasikan sebesar Rp. 18,9 miliar itu ditransfer beberapa kali. Ada 19 kontrak perjanjian untuk total investasi sebesar Rp. 18,9 miliar tersebut,” ungkap Canggih Solimin, Senin (1/7/2024).
Ketertarikan Canggih Solimin untuk ikut berinvestasi dalam project yang ditawarkan Greddy Harnando ini karena melihat brand King Koil.
“Lalu, untuk investasi yang saya berikan, saya mendapat keuntungan sebesar empat persen setiap bulannya,” ujar Canggih.
Saat bertemu dengan Greddy Harnando, lanjut Canggih, juga ditunjukkan PO dari King Koil untuk PT. Garda Tamatex Indonesia.
“Kemudian, ada jaminan cek yang diserahkan Greddy Harnando atas nama PT. Garda Tamatex Indonesia. Saya juga masih mendapatkan sertifikat sebuah rumah di Jalan Ketintang Surabaya dan ada kuasa untuk menjual,” papar Canggih.
Usah menceritakan bagaimana akhirnya ia tertarik berinvestasi diproject yang ditawarkan kepadanya ini, didalam persidangan ini, Canggih juga mengaku sudah menerima keuntungan dari bagi hasil yang jumlah keseluruhannya Rp. 21,6 miliar.
Terkait dengan kerugian yang masih ia derita sebesar Rp. 4,825 miliar, Canggih Solimin mengatakan bahwa kerugian ini karena masih ada tujuh kontrak kerjasama yang masih bermasalah.
“Dari tujuh kontrak perjanjian itu, saya belum menikmati pembagian keuntungan sebesar empat persen sebagaimana yang ditawarkan dimuka, sebelum perjanjian dilakukan,” beber Canggih Solimin.
Menurut pengakuan Canggih Solimin, keuntungan sebesar Rp. 4,825 miliar yang belum ia terima itu sangatlah besar, mengingat ketika pekerjaan itu dilakukan, kondisi negeri ini sedang mengalami pandemi Covid-19.
Pada persidangan ini, Canggih Solimin juga mengaku bahwa ia tertarik untuk berinvestasi karena sudah melakukan pengecekan ke teman-temannya yang ikut dalam project ini.
“Banyak pihak yang ikut dalam investasi ini menyebutkan, bahwa project ini sangat aman. Pihak perusahaan masih terus memberikan keuntungan sebesar empat persen setiap bulannya sehingga project ini baik-baik saja,” jelas Canggih Solimin.
Saat saya bertemu dengan terdakwa Indah Catur Agustin, sambung Canggih Solimin, Indah Catur Agustin bilang bahwa yang mengurusi segala urusan dengan King Koil adalah dirinya.
Canggih Solimin dalam persidangan ini juga menjelaskan, begitu ia mengirimkan uang sebagai bentuk investasi, kemudian Canggih Solimin disodorkan kontrak kerjasama.
Canggih Solimin kembali menceritakan, setelah menginvestasikan uangnya dan ia mendapat kontrak perjanjian kerjasama, sertifikat rumah di Jalan Ketintang Surabaya sebagai jaminan dan adanya selembar cek atas nama PT. Garda Tamatex Indonesia, setiap bulannya Canggih Solimin selalu menikmati keuntungan empat persen sebagaimana yang dijanjikan kepadanya.
“Akhir 2022, kegiatan ini mulai macet dan saya tidak lagi menerima keuntungan empat persen tersebut,” sebut Canggih Solimin.
Canggih Solimin melanjutkan, saat situasi mulai memburuk, ia kemudian melakukan pengecekan ke King Koil.
Dari pihak King Koil akhirnya diketahui jika tidak ada sama sekali perjanjian antara PT. Garda Tamatex Indonesia. Dan King Koil tidak mengenal PT. Garda Tamatex Indonesia, terdakwa Indah Catur Agustin dan Greddy Harnando.
Kepastian ini semakin terbukti ketika Canggih Solimin memperlihatkan kontrak perjanjian yang ia terima dari Greddy Harnando.
“Melihat perjanjian-perjanjian itu, King Koil ternyata tidak mengakui adanya kontrak-kontrak itu,” ujar Canggih Solimin.
Terkait adanya cek yang diberikan kepadanya diawal kesepakatan dan akhirnya cek yang tadinya atas nama PT. Garda Tamatex Indonesia menjadi Greddy Harnando, Canggih Solimin menjelaskan, karena cek itu sudah lama, Canggih Solimin minta cek itu diperbaharui.
Perubahan nama di cek itu, menurut Canggih Solimin karena adanya masalah dalam tujuh kontrak perjanjian mengenai investasi tersebut sehingga Canggih Solimin minta kepada Greddy Harnando supaya cek diperbaharui.
Canggih Solimin dihadapan majelis hakim yang memeriksa dan memutus perkara ini tetap bersikukuh bahwa ia mengalami kerugian akibat belum dibayarnya keuntungan dari tujuh kontrak itu yang nilainya Rp. 4,825 miliar.
Hakim Mochammad Djoenaidie yang mendengar jumlah kerugian yang diderita Canggih Solimin, sebagaimana yang ia jelaskan dimuka persidangan, kemudian menanyakan dasar penghitungan kerugian yang diderita Canggih Solimin sebesar Rp. 4,825 miliar.
“Total investasi yang anda masukkan Rp. 18,9 miliar. Sedangkan keuntungan total yang sudah anda terima adalah Rp. 21,6 miliar. Kalau ini dikurangkan, maka anda masih mendapatkan uang Rp. 2,7 miliar. Jumlah ini kan cukup besar,” tanya hakim Mochammad Djoenaidie.
Canggih Solimin pun menjawab, bahwa keuntungan total yang sudah ia terima sebesar Rp. 21,6 miliar itu adalah modal ditambah bunga.
“Kerugian sebesar Rp. 4,825 miliar itu berasal dari tujuh kontrak perjanjian yang jumlah keseluruhan 19 perjanjian. Namun, dari tujuh perjanjian ini, saya belum menerima keuntungan sama sekali,” tandasnya.
Masih menurut penjelasan Canggih Solimin kepada hakim Mochammad Djoenaidie, karena tujuh kontrak itu bermasalah, maka terhadap tujuh kontrak tersebut akhirnya dibuatkan addendum atau diperbaharui. (pay)