surabayaupdate.com
HEADLINE HUKUM & KRIMINAL INDEKS

Majelis Dewan Kehormatan Peradi Menilai Ada Pelanggaran Kode Etik Yang Dilakukan Advokat Masbuhin

Advokat Pieter Talaway, Ketua Dewan Kehormatan DPD Peradi Jawa Timur. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

SURABAYA (surabayaupdate) – Sempat mendapat protes karena dinilai tidak adil dalam menjatuhkan hukuman kepada advokat Masbuhin, Majelis Dewan Kehormatan (DK) Peradi Propinsi Jawa Timur mulai angkat bicara.

Melalui advokat Pieter Talaway, majelis DK Peradi Jawa Timur menilai, ada pelanggaran kode etik yang dilakukan Masbuhin, ketika ia sedang menjalankan profesinya sebagai seorang advokat.
Pelanggaran seperti apa yang sudah dilakukan Masbuhin, sehingga DK Peradi Jawa Timur menghukum Masbuhin dengan pembekuan keanggotaan Peradi selama 12 bulan serta larangan untuk Masbuhin menjalankan profesinya sebagai advokat, dan melakukan pendampingan hukum juga selama 12 bulan?
Selain itu, majelis DK Peradi Jawa Timur, langsung menanggapi keberatan yang dimohonkan Masbuhin dan Purwanto, SH selaku pengacaranya. Keberatab itu adalah berkaitan dengan kuasa hukum para pengadu yang tak lain adalah istri Yusron Marzuki, anggota Dewan Kehormatan Daerah Peradi Jatim.
Ditemui dikantor hukumnya, Selasa (17/11/2020), Pieter Talaway mengatakan, keberatan yang diajukan Masbuhin selaku teradu dan Purwanto selaku pengacara Masbuhin terkait netralitas DK Peradi Jatim serta dugaan sarat kepentingan yang dapat mengganggu kemurnian putusan yang diambil majelis DK Peradi Jatim, Pieter menjelaskan bahwa keberatan yang diajukan itu sangat berlebihan.
Lebih lanjut Pieter mengatakan, walaupun kuasa hukum pengadu adalah istri dari Yusron Marzuki salah satu anggota majelis DK Peradi Jatim, secara kode etik hal itu tidak bertentangan dan tidak bisa dilarang.
“Kuasa hukum para pengadu adalah seorang advokat yang suaminya adalah anggota DK Peradi Jatim. Kehadiran istri anggota majelis DK ini tidak akan mengganggu netralitas dan profesionalisme majelis DK Peradi Jatim yang mengadili masalah Masbuhin,” kata Pieter.
Saya tegaskan, sambung Pieter, tidak ada pelanggaran yang dilakukan majelis DK saat mengadili Masbuhin karena Yusron Marzuki sendiri tidak ikut bertugas sebagai majelis DK yang memeriksa dan memutus perkara Masbuhin.
Pieter Talaway kemudian memberikan sebuah contoh. Jika ada seorang advokat menjalankan profesinya di sebuah pengadilan, sedangkan di pengadilan itu ayah dari advokat tersebut bertugas sebagai hakim. Apakah sang anak tidak boleh beracara atau menjalankan profesi advokatnya di pengadilan tempat sang ayah bertugas? Menurut Pieter, sepanjang sang ayah tidak pegang perkara yang ditangani anaknya tersebut, hal itu boleh saja.
“Ini kan sama dengan Yusron. Dia memang anggota DK Peradi Jatim. Dalam perkara Masbuhin ini, Yusron tidak ikut terlibat. Jadi, putusan yang diambil majelis DK Peradi Jatim benar-benar berdasarkan pertimbangan yang matang, berdasarkan banyak faktor,” ujar Pieter.
Yusron, lanjut Pieter, tidak bisa mempengaruhi para anggota majelis DK Peradi Jatim, apalagi sampai melakukan intervensi. Hukuman yang dijatuhkan ke Masbuhin ini sudah tepat dan sesuai dengan pelanggran yang sudah dilakukan Masbuhin.
“Keberatan Masbuhin dan pengacaranya, akan diterima apabila Yusron ikut sebagai majelis DK dan ikut mengadili Masbuhin. Tapi yang terjadi kan tidak seperti itu,” kata Pieter.
Bagaimanapun, dalam menangani perkara Masbuhin ini, Pieter Talaway selaku Ketua Majelis DK Peradi Jatim, menjamin, majelis DK yang bertugas terhadap perkara Masbuhin ini, tetap menjaga netralitas dan obyektifitas.
Masbuhin menunjukkan surat kuasa khusus dari Sipoa dan akta perdamaian. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

Dari sisi pengadu sendiri, hukuman pembekuan keanggotaan Masbuhin di Peradi selama 12 bulan dan tidak diijinkan menjalankan profesinya sebagai advokat selama 12 bulan dirasa sangat ringan dan belum memenuhi rasa keadilan.

“Kalau mengacu pada Undang-Undang advokat, tindakan yang sudah dilakukan Masbuhin itu selain hukuman satu tahun, advokat yang terbukti bersalah melakukan pelanggaran berat, langsung dipecat dari keanggotaan Peradi,” papar Pieter.
Namun, sambung Pieter, dalam perkara yang menimpa Masbuhin ini, ada pertimbangan sendiri dari majelis DK sehingga Masbuhin cukup dihukum dibekukan keanggotaannya saja dan larangan menjalankan profesinya sebagai seorang advokat.
Masih menurut Pieter, yang dilakukan Masbuhin ini, sebenarnya sudah merugikan banyak orang dan tidak seharusnya dihukum 1 tahun.
“Dalam menjatuhkan hukuman, DK Peradi tidak langsung menghukum seseorang dengan pecat. Ada beberapa pertimbangan, diantaranya faktor mencari nafkah untuk keluarganya, faktor pendidikan yang sudah ditempuh advokat tersebut,” tukas Pieter.
Kalau pelanggaran tersebut baru dilakukan sekali hingga dua kali, masih bisa ditoleransi. Namun, jika sudah dilakukan berkali-kali, maka pantaslah advokat tersebut dihukum berat, dengan dipecat keanggotaannya. Hukuman yang dijatuhkan ke Masbuhin ini sudah cukup obyektif dan sudah tepat.
Jika Masbuhin dan pengacaranya menganggap bahwa putusan 12 bulan ini terlalu berat, Masbuhin dan pengacaranya bisa mengajukan banding ke DK Peradi Pusat,” jelas Pieter.
Masih menurut Pieter, selama dirinya menjabat sebagai Dewan Kehormatan di organisasi Peradi, banyak sekali putusan-putusan, ketika di tingkat daerah diputus ringan, namun ketika banding ditingkat pusat, putusan atau hukuman yang dijatuhkan malah lebih berat yaitu dipecat.
Pada perkara Masbuhin ini, Pieter menjelaskan, bahwa ada pelanggaran kode etik yang dilakukan Masbuhin dan hal ini seharusnya juga dipahami pengacara Masbuhin yang mendampinginya di tingkat dewan kehormatan.
Lebih lanjut Pieter juga menjelaskan, ketika majelis DK memeriksa perkara ini, bukti-bukti yang dipakai majelis dewan Kehormatan ketika memeriksa Masbuhin adalah bukti-bukti yang diajukan Masbuhin dan pengacaranya sendiri.
“Kalau bukti dari pengadu, adanya surat kuasa yang dibuat Masbuhin dengan pihak Sipoa. Isi kuasanya, membela, mendampingi kepentingan. Jika disebutkan kepentingan, berarti ada dua kepentingan yang,” ungkap Pieter.
Yang pertama kepentingan pelapor dalam hal ini adalah victim atau korban. Dari sisi korban, pastinya menginginkan terdakwanya dihukum berat. Selain itu, sebagai victim, juga menginginkan barangnya disita dan dapat dilelang sehingga uang para korban itu dapat kembali.
“Tetapi jika advokat itu membela terdakwa, ia menginginkan hukuman bagi terdakwa itu rendah, barang bukti kembali ke terdakwa,” jelas Pieter.
Di perkara ini, Pieter mengatakan, faktanya jika kita melihat surat kuasanya, Masbuhin yang aktif meminta kepada Kejaksaan Agung supaya tidak banding, padahal putusan enam bulan itu sangat rendah, mengingat korbannya sangat banyak, kerugiannya pun sampai miliaran rupiah. Permintaan Masbuhin kepada Kejagung itu tertulis dan tertuang dalam sebuah surat.
Pieter juga mengkritik surat kuasa yang dibuat dimana dalam surat itu menjelaskan bahwa Masbuhin diberi kuasa untuk mengambil barang bukti.
Jika memang surat kuasa itu untuk mengambil barang bukti, mengapa isinya berbunyi membela kepentingan. Kalau memang untuk mengambil barang bukti, menurut Pieter, tinggal membuat surat yang isinya penyerahan barang bukti dan diberikan kepada siapa yang ditunjuk.
“Tidak bisa dipungkiri, bahwa surat kuasa khusus yang diberikan kepada Masbuhin walaupun konteksnya untuk mengambil barang bukti, bisa dimaknai adanya kepentingan membela yang dilakukan Masbuhin baik secara pidana maupun perdata. Sebagai seorang lawyer, Masbuhin sebenarnya sudah paham sekali terkait masalah itu,” kata Pieter.
Jika Masbuhin itu adalah seorang lawyer, Pieter menambahkan, mengapa ketika membuat surat kuasa itu begitu luas artinya? Mengapa dalam surat khuasa itu tidak ditulis saja untuk pengambilan barang bukti?
Pieter sebenarnya mengaku, walaupun penilaian itu berdasarkan surat kuasa saja masih belum begitu kuat untuk menjatuhkan hukuman. Namun, yang membuat majelis dewan kehormaran semakin yakin ada pelanggaran kode etik hingga akhirnya menjatuhkan hukuman adalah dari tingkah laku Masbuhin.
Tingkah laku menurut Pieter ini seperti, ketika awal menghadapi para pengadu dan hendak melaporkan para terdakwa, Masbuhin mengatakan punya jurus hebat untuk menjerat para direksi Sipoa itu.
Jurus yang dimaksud Masbuhin itu adalah masalah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Namun tiba-tiba Masbuhin mengubah strategi bahkan meminta kepada jaksa supaya tidak melakukan banding.
“Dengan tidak melakukan upaya hukum banding berarti ada kepentingan yang sudah dilakukan Masbuhin untuk memperjuangkan para direksi Sipoa yang menjadi tersangka hingga akhirnya menjadi terdakwa dan disidangkan,” tandasnya.
Hal lain yang mengindikasikan Masbuhin dinilai bersalah dan layak untuk dihukum adalah bunyi putusan hakim yang menyatakan semua barang bukti yang nilainya Rp. 1,5 trilun itu dikembalikan kepada para terdakwa, sedangkan Masbuhin tidak berupaya melakukan perlawanan atas putusan tersebut. Dimana letak tanggungjawabnya sebagai lawyer yang mempunyai kepentingan membela para victim atau korban?
Persoalan yang dibela Masbuhin ini sebenarnya belum tuntas, jika untuk kepentingan para konsumen Sipoa. Jika Masbuhin berargumen bahwa barang bukti yang dikembalikan ke para terdakwa itu nantinya dapat segera dipergunakan untuk membayar refund para konsumen Sipoa, juga kurang tepat. Kenapa Masbuhin tidak meminta uang saja dan membayarkannya sebagai refund lagi? Atau menggantikannya dengan sebidang tanah? Jika hal itu dilakukan, Pieter mengatakan, para pengadu akan sangat bangga akan kinerja Masbuhin dan bisa dibilang sukses.
Ditambahkan Pieter, Masbuhin seharusnya bisa memperjuangkan kepentingan klien yang hakiki. Perjuangan yang hakiki itu ya termasuk menuntaskan permasalahan kliennya. Untuk perkara Sipoa itu sendiri, menurut Pieter, perjuangan yang hakiki itu adalah sampai seluruh konsumen yang notabene adalah victim, mendapatkan ganti rugi atau refund.
Pieter Talaway juga berpendapat mengenai sertifikat-sertifikat yang diserahkan kepada para korban Sipoa. Menurut Pieter, penyerahan sertifikat-sertifikat tersebut hanya sebatas jaminan, belum penyelesaian.
Bukan hanya itu, ketika sertifikat-sertifikat itu diserahkan kepada seluruh konsumen, mereka ini tidak diberikan kuasa menjual. Hal inilah yang membuat sebagian besar para korban Sipoa ini marah.
“Dari sisi konsumen yang menjadi korban, sertifikat-sertifikat itu hanya sebatas jaminan yang tenggang waktu 10 tahun baru bisa selesai sedangkan dari sisi Sipoa, tentu sangat diuntungkan sekali,” imbuh Pieter.
Sipoa tentu sangat diuntungkan, selain hukuman yang diterima tiga direksi Sipoa tersebut begitu ringan, jaminan berupa tiga sertifikat tersebut nilainya Rp. 1,5 triliun. Aset Sipoa yang bernilai triliun ini bisa diselamatkan.
Secara pribadi, Pieter Talaway mengakui bahwa Masbuhin sudah bekerja, menjalankan profesinya sebagai advokat. Namun, pekerjaan Masbuhin itu belum tuntas. (pay)

Related posts

IKA ITS MENGUNDANG 1109 ANAK YATIM UNTUK BUKA PUASA BERSAMA

redaksi

MAYOR LAUT (P) ANSORI JABAT DANSEKASEL KOBANGDIKAL

redaksi

Ditjen Pajak Kembalikan Rp. 26,7 Triliun Ke Wajib Pajak Karena Kalah Kasus Sengketa Di Pengadilan

redaksi