SURABAYA (surabayaupdate) – Sidang dugaan tindak pidana korupsi yang menjadikan Bupati Nganjuk, Novi Rahman Hidayat sebagai terdakwa, terkuak adanya kejanggalan dalam proses penangkapannya.
Pada perkara dugaan korupsi dengan modus jual beli jabatan ini, seorang saksi penangkap dari Direktorat Tindak Pidana Korupsi (Dit Tipikor) Mabes Polri yang dihadirkan sebagai saksi di persidangan, mengakui bahwa uang yang dijadikan barang bukti sebanyak Rp. 11 juta, bukan diamankan dari Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat.
Terungkapnya pernyataan ini diawali dengan mendengarkan para saksi yang didatangkan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Pada persidangan yang digelar secara virtual tersebut, Senin (27/9/2021) di Pengadilan Tipikor Surabaya, JPU menghadirkan tiga orang saksi dari lingkungan pemerintah Kabupaten Nganjuk dan dua penyidik dari Dit Tipikor Bareskrim Mabes Polri.
Tiga saksi dari lingkungan Pemda Nganjuk itu, Adam Muharto selaku Kepala BKD, Drs. Mokhamad Yasin, M.Si menjabat sebagai Sekda Kabupaten Nganjuk dan Ir Fadjar Judiono, M.si yang menjabat sebagai Kepala Inspektorat Kabupaten Nganjuk.
Untuk dua penyidik dari Bareskrim Mabes Polri, mereka adalah yang melakukan penangkapan Bupati Nganjuk tanggal 09 Mei 2021. Dua orang itu Iptu Baharudin, SH dan Ipda Ray Virdona.
Iptu Baharudin dimuka persidangan menyatakan, dia mendapat perintah untuk melakukan penyelidikan terkait adanya dugaan jual beli jabatan yang ada di wilayah Kabupaten Nganjuk.
“Berdasarkan rangkaian penyelidikan yang kami lakukan beserta tim, didapati adanya upaya pengumpulan uang dari sejumlah kepala desa yang diduga akan diserahkan ke Bupati Ngajuk,” ungkap Iptu Baharudin, Senin (27/9/2021).
Tercatat ada lima Kepala Desa (Kades), lanjut Baharudin, yang sudah mengumpulkan uang masing-masing Rp 2 juta. Kemudian, uang yang sudah terkumpul itu diserahkan ke Camat Pace, Dupriono.
“Kelima kepala desa tersebut bernama Jumali Kades Doho, Sadiko Kades Sanan, Darmadi Kades Bodor, Ali Mukarom Kades Banaran dan Sugeng Purnomo Kades Kapenjen,” ujar Baharudin.
Para Kades ini, sambung Baharudin, lalu menyerahkan uang yang sudah terkumpul, diberikan ke Kades Doho yang bernama Jumali. Selanjutnya, oleh Jumali uang itu diberikan ke Camat Pace yang bernama Dupriono. Namun, sebelum uang diberikan ke Camat Pace Dupriono, Jumali tertangkap.
Masih menurut pengakuan Baharudin, berdasarkan keterangan Jumali saat diperiksa, uang Rp.10 juta yang akan ia serahkan ke Camat Pace Dupriono, rencananya akan diberikan ke Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat.
Dalam persidangan ini juga terungkap, selain uang Rp. 10 juta yang berasal dari setoran para Kades, juga ada uang Rp. 1 juta yang disita polisi. Uang Rp. 1 juta itu dipergunakan sebagai transportasi sehingga jumlah total uang yang disita kala itu sebesar Rp. 11 juta.
Baharudin dalam persidangan ini juga mengaku, begitu Jumali ditangkap, tim kemudian bergerak melakukan penangkapan terhadap Novi Rahman Hidayat. Saat ditangkap, Bupati Nganjuk tersebut sedang berada diluar rumah dinasnya.
Dihadapan majelis hakim, JPU dan tim penasehat hukum Bupati Nganjuk dan para terdakwa lainnya, saksi Baharudin juga mengakui bahwa uang yang ia sita waktu itu berjumlah Rp. 11 juta tersebut, tidak disita dari tangan Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat.
Pada persidangan ini, saksi Baharudin juga menceritakan penggeledahan yang dilakukan di rumah Bupati Novi Rahman Hidayat. Dalam penggeledahan dirumah terdakwa tersebut didapati sebuah brankas dan didalamnya terdapat uang Rp. 647 juta.
Namun sayangnya, saksi tidak bisa menjelaskan, uang sebesar Rp. 647 juta tersebut diperoleh terdakwa Novi Rahman Hidayat dari mana dan uang apa. Saksi Baharudin hanya mengatakan, yang bisa menjelaskan terkait uang Rp. 647 juta tersebut hanya terdakwa Novi Rahman Hidayat.
Sementara itu, saksi lain yang dimintai keterangan adalah Adam Muharto yang menjabat sebagai Kepala BKD, Drs. Mokhamad Yasin, M.Si sebagai Sekda dan Ir Fadjar Judiono, M.Si sebagai Inspektorat.
Ketiga saksi ini dalam pengakuannya mengatakan tidak mengetahui terkait adanya suap jual beli jabatan, termasuk orang nomor satu di Kabupaten Nganjuk Novi Rahman Hidayat yang tertangkap tim dari Mabes Polri dan KPK.
“Kalau ada pemberian uang atau tidak, kami tidak tau. Kami taunya Pak Bupati kena OTT dari pemberitaan media,” sebut para saksi meskipun diperiksa secara terpisah dalam sidang.
Sekda Nganjuk Mokhamad Yasin dalam persidangan ini juga menyatakan, tim Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) Kabupaten Nganjuk mengaku tidak dilibatkan dalam proses mutasi promosi pejabat eselon 3 dan eselon 4.
“Kami tidak dilibatkan,” ucap Sekda Nganjuk Mokhamad Yasin ketika bersaksi untuk terdakwa Bupati Nganjuk nonaktif Novi Rahman Hidayat dan terdakwa lainnya.
Pengakuan bahwa tidak dilibatkan Bupati Novi Rahman Hidayat dalam proses mutasi di lingkungan Kabupaten Nganjuk juga dijelaskan Adam Muhato, Kepala BKD Kepala Nganjuk dan Fajar Judiono, Kepala Inspektorat Kabupaten Ngajuk.
Adam mengaku baru mengetahui adanya mutasi karena diberitahu bawahannya yaitu Kabid Pengadaan dan Mutasi BKD Kabupaten Nganjuk yang juga menjabat Sekretaris Tim Penilai Mutasi Promosi. Bukan hanya itu, setelah pelantikan, Adam juga disodori BAP mutasi promosi untuk ditandatangani.
“Saya diberitahu kalau mau ada pelantikan. Saya tidak tahu nama-namanya,” ungkapnya.
Karena disodori BAP mutasi untuk ditanda tangani, Adam mengatakan akhirnya menandatangani berita acara mutasi tersebut.
Kesaksian yang sama juga disampaikan Fajar Judiono. Bahkan, sejak dia menjabat Plt Kepala Inspektorat Kabupaten Nganjuk pada Desember 2020 hingga Maret 2021, tidak pernah dilibatkan.
Begitupun saat ia sudah ditetapkan sebagai pejabat definitif Inspektorat sejak 1 April 2021 hingga terjadi kasus operasi tangkap tangan terhadap Bupati dan pejabat lainnya.
“BAP mutasi promosi disodorkan setelah pelantikan untuk ditandatangani,” ujar Fajar Judiono.
Terpisah, penasehat hukum terdakwa, Ari Hans Simaela SH berharap dalam keterangan saksi selanjutnya semakin menguak tabir dari kegiatan operasi tangkap tangan yang dianggap janggal.
Lebih lanjut Ari mengatakan, dalam OTT Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat ini, tim gabungan KPK dan Mabes Polri hanya menyita Rp 11 juta, itupun tidak disita dari tangan Novi secara langsung.
“ Jadi terkuak dalam fakta persidangan bahwa memang barang bukti Rp 11 juta itu tidak disita dari terdakwa Novi Rahman Hidayat,” kata Ari.
Jadi, lanjut Ari, keterlibatan Bupati Novi ini hanya pengakuan saja dari Jumali, dan faktanya uang itu akan diberikan ke camat Dupriono bukan Bupati Novi.
“Maka jadi tanda tanya besar, apa benar Bupati Nganjuk Novi Rahman Hidayat menerima suap dari jual beli jabatan?,” tandasnya.
Terkait adanya uang Rp 647 juta, Ari menyebut memang tidak ada yang bisa menjelaskan uang itu dari mana kecuali terdakwa Novi, karena memang faktanya uang itu adalah uang pribadi terdakwa Novi yang notabene seorang pengusaha sukses di Nganjuk.
Ari bertambah heran, jika dalam brankas ada uang ratusan juta dan uang itu milik pribadi terdakwa Novi.
Yang membuat perkara ini menjadi janggal, apakah benar, seorang Bupati menerima uang jual beli jabatan seperti yang didakwakan, nilainya hanya Rp.10 juta. (pay)
Post Views:
538