
SURABAYA (surabayaupdate) – Sidang gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) diajukan 44 warga Pulosari yang rumahnya dirobohkan secara brutal, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Pada persidangan yang digelar Selasa (29/4/2025) ini, PT. Patra Jasa sebagai tergugat, melalui tim penasehat hukumnya, menghadirkan seorang pensiunan tentara yang pernah bertugas sebagai Babinsa di Kelurahan Gunungsari pada tahun 2017.
Saksi yang dihadirkan ini bernama Sutrisno. Purnawirawan TNI ini pernah ditugaskan sebagai Babinsa di Kelurahan Gunungsari mulai 2007 sampai 2024.
Sama halnya dengan Krisno Hadi Wibowo yang pernah menjabat sebagai Lurah Gunungsari periode 2017 sampai 2021. Sebagai seorang saksi, Sutrisno seringkali menjawab tidak tahu, menandakan banyak hal yang tidak ia ketahui sendiri.
Didalam persidangan, meski sempat beradu argumen dengan tim kuasa hukum 44 warga Pulosari, Sutrisno akhirnya mengakui jika banyak informasi yang ada padanya berdasarkan pengakuan, cerita dari orang lain, termasuk Lurah Gunungsari ditahun 2017.
Bukan hanya itu. Dari banyaknya informasi yang ia dapatkan, bukan dari temuannya sendiri, hasil pengecekannya sendiri, Sutrisno didalam persidangan juga mengakui bahwa informasi-informasi yang ia dapat itu tidak dilakukan pengecekan kembali untuk validasi atau akurasi informasi.
Sebagai seorang saksi fakta yang didatangkan dimuka persidangan, Sutrisno acapkali mendapat penilaian buruk dari warga Pulosari yang hadir dipersidangan ini.
Bentuknya tertawaan, cemoohan. Kegaduhan seperti ini tidak terjadi satu dua kali. Terhitung ada tiga kali warga Pulosari yang hadir dalam persidangan, memberikan penilaian buruk terhadap kesaksian yang disampaikan Sutrisno dimuka persidangan.
Mengamati jalannya persidangan, banyak juga kejanggalan-kejanggalan yang terungkap dipersidangan. Bahkan, ada juga kesaksian Sutrisno yang awalnya berbelit-belit, akhirnya ia ralat dan ia benarkan. Apakah Sutrisno sudah berbohong dipersidangan?
Kejanggalan dan tidak konsistennya Sutrisno sebagai saksi fakta terjadi saat Ananta Rangkugo, SH., salah satu kuasa hukum warga Pulosari bertanya kepadanya tentang kemampuan seorang tentara berkaitan dengan intelijen teritorial.
Waktu bertugas sebagai Babinsa Kelurahan Gunungsari, Sutrisno masih tercatat sebagai tentara aktif, bertugas di Kodim 0832.
Dalam penjelasannya kepada Sutrisno, Ananta Rangkugo menyatakan, sebagai seorang tentara, apalagi Sutrisno juga ditugaskan sebagai Babinsa, seharusnya juga menguasai dan memiliki kemampuan intelijen teritorial.
“Kemampuan intelijen teritorial ini merupakan tugas pokok dan fungsi (tupoksi) saksi yang ketika itu juga ditugaskan sebagai Babinsa diwilayah Kelurahan Gunungsari,” ujar Ananta Rangkugo.
Dan ketika bertugas sebagai Babinsa di Kelurahan Gunungsari, sambung Ananta Rangkugo, apakah saksi pernah melihat bagaimana situasi didalam lahan seluas 6,5 hektar yang menjadi obyek sengketa?
Mendapat pertanyaan ini, Sutrisno pun menjawab tidak mengetahui bagaimana kondisi dan situasi dilahan tersebut.
Sutrisno kembali menjawab, ketika bertugas sebagai Babinsa, lebih banyak berhubungan dengan beberapa orang warga yang tinggal di area lahan sengketa.
“Saya tidak melihat kedalam. Saya konteksnya hanya bersinggungan dengan orang-orang pengurus saja,” jawab Sutrisno.
Jawaban ini semakin menarik untuk didalami Ananta Rangkugo. Kepada Sutrisno, Ananta kemudian bertanya, sebagai Babinsa untuk Kelurahan Gunungsari, apakah hanya mengandalkan informasi yang diberikan dari kelurahan saja, termasuk tidak ada IMB untuk rumah-rumah yang berdiri di atas lahan sengketa?
Sutrisno didalam persidangan juga mengakui bahwa informasi yang disampaikan pihak kelurahan termasuk dari Lurah Gunungsari waktu itu, sudah cukup dipakai sebagai pegangan. Sutrisno tidak perlu melakukan pengecekan.
“Babinsa itu tugasnya siapa, dimana dan bagaimana. Untuk pengumpulan data-data menjadi tugas intelijen tersendiri,” tukas Sutrisno.
Kemampuan intelijen teritorial yang seharusnya dikuasai Sutrisno kembali dipertanyakan tim kuasa hukum warga Pulosari, sebagai pihak penggugat.
Masalah situasi didalam lahan yang ditempati warga menjadi pertanyaan serius tim kuasa hukum warga Pulosari.

Tim kuasa hukum kemudian menanyakan apakah didalam perkampungan itu sudah dialiri listrik dari PLN?
Secara tegas Sutrisno menjawab tidak tahu. Tapi Sutrisno tahu jika dikawasan itu dialiri listrik, ada banyak lampu-lampu menyala.
“Selama bertugas sebagai Babinsa, saya paling banyak berada di balai RW jadi tidak sampai masuk ke belakang,” jawab Sutrisno.
Dan sebagai Babinsa, lanjut Sutrisno, tugasnya hanya sebagai pengamanan, melaksanakan piket dan memantau kegiatan di balai RW.
Saksi juga disinggung tentang tupoksi seorang Babinsa yaitu melaksanakan tugas pengawasan fasilitas hankam di pedesaan dan kelurahan.
“Lalu bagaimana saksi bisa melaksanakan tugas seorang Babinsa yang harusnya melakukan pengawasan fasilitas prasarana hankam di pedesaan dan Kelurahan Gunungsari, padahal saksi hanya berada di kantor kelurahan saja ?,” tanya Ananta.
Mengetahui penjelasan yang telah disampaikan Sutrisno dipersidangan ini, tim kuasa hukum warga Gunungsari ini menilai bahwa Sutrisno bukanlah saksi yang melihat dan mengetahui secara langsung semua kejadian yang ada di lahan sengketa. Apa yang disampaikan Sutrisno dimuka persidangan hanyalah prasangka.
Warga Pulosari yang menyaksikan persidangan langsung meneriaki Sutrisno karena Sutrisno akhirnya mengaku bahwa lahan yang menjadi obyek sengketa itu adalah milik PT. Patra Jasa berdasarkan informasi saja yang ia terima dari perusahaan, tidak melakukan pengecekan atas kebenaran informasi tersebut.
Sutrisno kembali mendapat tertawaan dari warga yang berada didalam ruang sidang tatkala ia menerangkan bahwa masalah listrik yang menjadi penerangan kampung, ia tidak melihatnya.
Hal ini bertentangan dengan yang sudah ia sampaikan diawal bahwa ia melihat adanya lampu-lampu yang menyala di perkampungan tersebut.
“Perkampungan itu terang, iya saya tahu. Tapi saya tidak tahu listrik darimana, apakah nyalur dari polsek, tempat lain, saya tidak tahu,” elak Sutrisno.
Jawaban Sutrisno ini terasa janggal. Ia mengetahui adanya aliran listrik di perkampungan itu namun Sutrisno tidak bisa mengetahui secara pasti apakah aliran listrik itu dari PLN atau menyalurkan listrik dari tempat lain.
Jika menyalurkan listrik dari tempat lain, berarti ada dugaan pencurian listrik yang telah dilakukan warga. Sebagai Babinsa yang bertugas, jika mengetahui adanya dugaan pencurian listrik, mengapa tidak melaporkan hal tersebut kepada pihak yang berwajib?
Hal inilah yang semakin membuat kesaksian Sutrisno dan dihadirkannya Sutrisno sebagai saksi fakta terasa janggal dan mengindikasikan adanya kebohongan.
Sebagai saksi, Sutrisno didalam persidangan juga mengakui hanya mengetahui adanya putusan pengadilan PN Surabaya nomor 434.
Untuk pihak-pihak yang jadi tergugat dan yang menjadi obyek eksekusi, Sutrisno mengaku tidak tahu karena tidak membacanya, begitu juga dengan pihak-pihak diluar putusan pengadilan nomor 434 tersebut, yang menjadi pihak tergugat dan termohon eksekusi.
Persidangan semakin memanas ketika Sutrisno tidak bisa menjawab berapa uang kompensasi yang diberikan PT. Patra Jasa termasuk kepadanya, saat pelaksanaan eksekusi.
Dihadapan majelis hakim, kuasa hukum PT. Patra Jasa dan Sutrisno, tim kuasa hukum warga kemudian menunjukkan sebuah dokumen yang berisikan rincian biaya yang telah dikeluarkan PT. Patra Jasa kepada pihak-pihak terkait dalam pelaksanaan kegiatan eksekusi lahan seluas 6,55 hektar ini.
Berdasarkan dokumen yang ditunjukkan itu tertulis untuk operasional transpor sebesar Rp. 20.882.500., konsumsi sebesar Rp. 25.890.500., tenda posko sebesar Rp. 8 juta., biaya pengamanan penandaan bangunan (rumah) Polrestabes sebesar Rp. 106.600.000., biaya pengamanan penandaan bangunan (rumah) Polda Jawa Timur sebesar Rp. 5.300.000., biaya pengamanan penandaan bangunan (rumah) Polsek Dukuh Pakis sebesar Rp. 11 juta., biaya pengamanan penandaan bangunan (rumah) Kodim 0832/SS sebesar Rp. 6.800.000., biaya pengamanan penandaan bangunan sebesar Rp. 6.900.000.
Setelah ditunjukkan dokumen tersebut, Sutrisno bersikukuh tidak tahu sebab ia hanya seorang bawahan.
Dugaan saksi setingan atau saksi yang telah di breefing sebelum persidangan semakin menguat dan nampak dari kesaksian Sutrisno didalam persidangan, berbeda dengan yang disampaikan Krisno Hadi Wibowo, Lurah Gunungsari waktu itu yang sudah dihadirkan dalam persidangan sebelumnya.
Masalah undangan baik kepada aparat terkait dan warga yang menempati lahan sengketa, terlihat berbeda jawabannya, antara yang diungkapkan Sutrisno maupun Krisno Hadi Wibowo.

Untuk masalah undangan sosialisasi berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi dan legalitas PT. Patra Jasa sebagai pihak yang sah memiliki lahan sengketa berdasarkan adanya putusan pengadilan juga terungkap dipersidangan. Sutrisno menjelaskan bahwa semua yang mengundang PT. Patra Jasa.
Masalah undangan ini makin menarik karena ada perbedaan pengakuan, yang disampaikan Sutrisno pada persidangan kali ini dengan yang disampaikan Krisno Hadi Wibowo pada persidangan sebelumnya.
Fakta yang terungkap dipersidangan berkaitan dengan masalah undangan sosialisasi dan pemberitahuan kepada warga mengenai legalitas pemilik lahan yang sah berdasarkan putusan pengadilan nomor 434, langsung mendapat respon dari warga yang berada didalam ruang sidang. Hal itu berkaitan dengan peran Lurah Gunungsari yang ikut mengundang perwakilan warga Pulosari.
Pada persidangan sebelumnya, Krisno Hadi Wibowo menyebutkan tidak ikut campur termasuk urusan mengundang warga untuk dilakukan sosialisasi. Namun, dalam persidangan ini, Sutrisno menerangkan bahwa Lurah Krisno Hadi Wibowo ikut terlibat dalam proses sosialisasi yang dilakukan hingga tiga kali.
Fakta menarik lainnya yang terungkap dalam persidangan ini adalah disebutnya sosok Jarwo yang mengaku sebagai perwakilan warga yang tinggal dibukit juga menjadi perhatian tim kuasa hukum warga Pulosari.
Ketika tim kuasa hukum warga Pulosari menanyakan lebih lanjut tentang siapa sosok yang bernama Jarwo itu, apakah ia memang tinggal di bukit, apakah sosok Jarwo ini memegang surat kuasa untuk mewakili warga saat pelaksanaan sosialisasi, secara tegas Sutrisno menjawab tidak tahu.
Legalitas warga yang mendirikan rumah dan menempati lahan seluas 65.533 meter persegi yang merupakan bagian dari tanah yang tercatat dalam Hak Guna Bangunan (HGB) nomor 434 Kelurahan Gunungsari dengan luas 142.443 meter persegi, dengan gambar situasi nomor : 14755/1996 tanggal 17 Oktober 1996, juga menjadi salah satu hal yang dijelaskan Sutrisno dimuka persidangan.
Dalam keterangannya, Sutrisno menjelaskan bahwa warga-warga itu tidak memiliki KTP dan Kartu Keluarga dengan alamat dilahan yang mereka tempati.
Apakah data ini diperoleh Sutrisno sendiri dari hasil pencariannya atau pengecekan langsung? Lagi-lagi Sutrisno mengatakan bahwa informasi itu ia dapat dari pihak Kelurahan Gunungsari.
Sebagai saksi yang dihadirkan dimuka persidangan, apa yang diterangkan Sutrisno? Pada awal persidangan, Sutrisno menjelaskan, terkait adanya pagar yang berupa kawat berduri yang dipasang diatas lahan tersebut.
Lebih lanjut Sutrisno menjelaskan, masalah pagar berduri ini sudah ia lihat sejak tahun 1990 saat dirinya masih tinggal di barak prajurit Batalyon Raider 500 Gajahmada 1. Untuk melihat adanya pagar berduri ini, jaraknya hanya 300 meter dari barak.
Dan ditahun 2017 ketika ia ditugaskan sebagai Babinsa barulah mengetahui jika sudah ada tembok beton berdiri diatas lahan tersebut.
Masalah sosialiasi juga dijelaskan Sutrisno dalam persidangan ini. Lebih lanjut Sutrisno menjelaskan bahwa pertemuan itu adalah sosialisasi dimana PT. Patra Jasa sebagai pihak yang mengundang. Ada tiga kegiatan sosialisasi yang dilakukan PT. Patra Jasa.
“Pertemuan pertama terjadi di dalam, dua pertemuan selanjutnya diluar. Untuk pertemuan di Bukit 2, PT. Patra Jasa menyampaikan akan melakukan pendataan terhadap aset milik Patra maupun Pertamina,” jelas Sutrisno.
Yang kedua, sambung Sutrisno, bahwa perkara Patra sudah inkracht atau mempunyai kekuatan hukum tetap. Ada putusan pengadilan. Hal ini juga disosialisasikan kepada warga yang mendiami lahan obyek sengketa.
Patra, lanjut Sutrisno, juga menginformasikan kepada para pihak terkait seperti Muspida mengenai adanya kepemilikan sertifikat atas lahan yang menjadi obyek sengketa.
Sebagai saksi, Sutrisno kemudian ditanya tentang panitia perjuangan tanah garapan Gunungsari. Adanya panitia perjuangan tanah garapan Gunungsari ini menurut Sutrisno baru ia ketahui ketika ia menjadi Babinsa Kelurahan Gunungsari.
“Orang-orang yang saya kenal terlibat dalam panitia perjuangan tanah garapan Gunungsari bernama Ali Hasibuan dan Supo,” terang Sutrisno.
Panitia perjuangan tanah garapan Gunungsari itu, lanjut Sutrisno, memperjuangkan untuk mendapatkan hak mengelola tanah dari dalam.
Warga yang menempati lahan, kata Sutrisno, setiap membangun rumah dilokasi tanah itu, selalu didatangi Supo. Dan warga setiap ingin membangun rumah selalu meminta ijin Supo.
Saksi Sutrisno kembali menerangkan, Ali Hasibuan dan Supo saat ini sudah meninggal.
Untuk pemberian taliasih ke warga, Sutrisno menerangkan bahwa pemberian dilakukan dengan cara transfer. (pay)