surabayaupdate.com
HEADLINE HUKUM & KRIMINAL INDEKS

Menang Gugatan Hingga Mahkamah Agung, Allan Tjiptarahardja Belum Bisa Memiliki Lahan Di Gunung Anyar

Ninayanti SH S.Sos MSi menunjukkan bukti-bukti dan putusan pengadilan yang telah inkrach. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

SURABAYA (surabayaupdate) – Upaya Allan Tjiptarahardja untuk bisa menguasai kembali tanah warisan milik orangtuanya, masih terkendala.

Meski Allan Tjiptarahardja sudah memenangkan gugatan hingga tingkat Mahkamah Agung, namun tanah seluas 14.210 meter persegi yang saat ini telah berdiri rumah susun (rusun) tersebut hingga kini masih dalam penguasaan Pemerintah Propinsi (Pemprov) Jawa Timur.

Allan Tjiptarahardja melalui kuasa hukumnya berharap Pemprov Jatim segera menyerahkan tanah sengketa yang telah berkekuatan hukum tetap atau inkrach tersebut kepadanya sebagai pihak yang memenangkan gugatan.

Ninayanti SH S.Sos MSi, kuasa hukum Allan Tjiptaraharja mengatakan, sesuai putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap, Allan Tjiptarahardja adalah pemilik sah lahan seluas 14.210 meter persegi tersebut.

Lalu, bagaimana tanah seluas 14.210 meter persegi itu bisa menjadi obyek sengketa dan harus diperebutkan hingga ke pengadilan?

Didampingi Presiden Eksekutif LPKP2HI, Hasan SH dan dewan penggurus lainnya, Nina, panggilan akrab kuasa hukum Allan Tjiptarahardja ini menceritakan bagaimana awal mula konflik yang terjadi antara Allan Tjiptaraharja dengan Suleman bin Dulkayi hingga akhirnya melibatkan Pemprov Jawa Timur sebagai pihak yang menggunakan lahan objek sengketa.

“Saat itu, tanggal 6 Agustus 1984. Kamto Tjiptarahardja ayah kandung Allan Tjiptarahardja membeli sebidang tanah bekas Yasan petok letter C nomor 151 yang luasnya kurang lebih 14.210 meter,” ungkap Nina.

Tanah itu, lanjut Nina, milik Suleman Bin Dulkayi. Proses jual beli dilakukan di hadapan notaris Stefanus Sindunatha.

“Dalam perjanjian didepan Notaris Stefanus Sindhunatha tersebut, Suleman bin Dulyaki kedudukannya sebagai penjual dan Kamto Tjiptorahardja sebagai pembeli,” beber Nina, Rabu (7/9/2022).

Ketika itu, sambung Nina, tanah tersebut dibeli Kamto Tjiptorahardja dengan harga Rp 14.210.000 dan dibayar lunas.

Nina melanjutkan, usai terjadi jual beli, Kamto Tjiptorahardja belum segera menggunakan dan memanfaatkan tanah tersebut.

“Berdasarkan kesepakatan bersama, antara Kamto Tjiptarahardja dengan Suleman bin Dulyaki, maka untuk sementara tanah itu digarap Suleman bin Dulyaki,” kata Nina.

Untuk hasil dari penggarapan lahan tersebut, semuanya dinikmati Suleman bin Dulyaki. Namun, dalam perjanjian yang telah disepakati bersama, juga ada perjanjian bila sewaktu-waktu tanah tersebut sudah dibutuhkan Kamto Tjiptarahardja maka Suleman wajib mengembalikan tanah itu tanpa syarat apapun.

Melanjutkan ceritanya, Nina mengatakan, kemudian tahun 1999, Pemkot Surabaya mengadakan proyek pelebaran sungai Kebon Agung.

“Sebagian tanah milik Kamto Tjiptarahardja yang saat itu masih dikelola Suleman bin Dulyaki itu terkena imbasnya,” kata Nina.

Namun, lanjut Nina, Pemkot Surabaya sudah berusaha melakukan ganti rugi atas tanah yang terkena proyek pelebaran sungai Kebon Agung tersebut.

“Pemkot Surabaya bersedia membayar ganti rugi atas tanah yang terkena proyek pelebaran Sungai Kebon Agung. Ganti kerugian yang diberikan Pemkot Surabaya sebesar Rp. 191.091.300,” ungkap Nina.

Ironisnya, uang ganti kerugian yang telah dibayar Pemkot Surabaya waktu itu, tidak segera diberikan kepada Kamto Tjiptarahardja.

“Suleman bin Dulyaki bahkan berusaha untuk menguasai uang ganti kerugian atas tanah itu. Suleman bahkan berani memalsukan dokumen hak kepemilikan atas tanah tersebut,” papar Nina.

Masih menurut penjelasan Nina, panitia pengadaan tanah Kota Surabaya waktu itu juga mengakui bahwa mereka salah sasaran dengan memberikan uang ganti kerugian pada Suleman pada tanggal 26 September 1998 yang mana menurut kepolisian Suleman telah membuat dokumen palsu.

Atas peristiwa tersebut, Allan Tjiptarahardja selaku ahli waris Kamto Tjiptarahardja meminta agar Suleman segera mengembalikan tanah yang menjadi objek sengketa tersebut.

Namun, Suleman tak pernah mengindahkan. Suleman bahkan berusaha menguasai dan memiliki tanah tersebut dengan membuat surat laporan kehilangan palsu atas letter C nomor 151.

Tidak hanya membuat surat laporan kehilangan palsu atas surat Letter C nomor 151, Suleman juga meminta Lurah Gununganyar Tambak untuk menerbitkan kembali petok Letter C nomor 151 atas tanah tersebut menjadi atas nama Suleman.

Kemudian, tahun 1998 Pemprov Jawa Timur melakukan pengadaan pembangunan Rusun Gununganyar. Pembangunan rusun ini dilakukan di lahan yang menjadi objek sengketa.

Didalam perkembangannya, tahun 2014, Allan Tjiptarahardja menggugat Suleman ke Pengadilan Negeri (PN) Surabaya namun gugatannya ditolak.

Upaya Allan Tjiptarahardja untuk memperjuangkan haknya tidak berhenti sampai disitu. Allan kemudian melakukan upaya hukum banding.

“Banding yang diajukan Allan Tjiptarahardja ini membuahkan hasil. Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Timur yang memeriks dan memutus perkara ini ternyata menerima upaya hukum banding Allan Tjiptarahardja,” kata Nina.

Suleman yang tidak puas dengan putusan majelis hakim ditingkat banding kemudian mengambil langkah hukum kasasi ke Mahkamah Agung.

Namun sayang, hakim agung yang memeriksa berkas perkara ini tidak mengabulkan upaya kasasi yang dimohonkan Suleman.

“Ternyata, pihak Suleman tidak puas juga dengan putusan hakim ditingkat Kasasi. Mereka untuk terakhir kalinya mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK),” ujar Nina.

Namun, lanjut Nina, PK yang diajukan Suleman tersebut juga ditolak. Allan Tjiptarahardja tetap dinyatakan sebagai pemilik lahan yang sah, sebagaimana putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap.

Dalam putusan hakim disebutkan bahwa Suleman atau siapapun yang mendapat hak dari padanya, untuk menyerahkan objek sengketa secara baik dan kosong kepada Allan Tjiptarahardja tanpa syarat apapun.

Karena objek sengketa tersebut saat ini sudah dibangun rusun yang notabenenya milik Pemprov Jawa Timur, Nina selaku kuasa hukum ahli waris meminta audensi pada Pemprov pada Rabu (7/9/2022) yang dihadiri stakeholder.

Dan dari audensi itu, Pemprov Jatim mengatakan, pada tahun 2018 telah membeli tanah tersebut dari Haji Nasrullah, sehingga kemudian dibangunlah Rusun Gununganyar tersebut. Sedangkan pihak Nina mengatakan telah membeli tanah tersebut dari Suleman sejak tahun 1984.

“ Audensi akan dilanjutkan dengan menghadirkan Nasrullah dan juga BPN,” imbuh Nina.

Nina yang juga sebagai ketua tim penyelesaian perkara ini menambahkan, mestinya Pemerintah Propinsi Jatim sebagai instansi pemerintah, tempat berlindung warga Jawa Timur yang meminta keadilan karena tanahnya ditempati rusunawa milik Pemprop Jatim bisa berlaku adil dan bijak.

“Kita percaya dan yakin bahwa Pemprop Jatim akan mengedepankan kepentingan masyarakat sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dan mekanisme yang ada. LPKP2 HI mengapresiasi langkah pemprop mengundang audiensi sebagaimana permintaan dalam surat kita,” ujar Nina.

Nina berharap ini akan ditindaklanjuti seterusnya. Karena sebenarnya ini baru langkah awal, klien Nina yang sudah memegang putusan lengkap dan inkract tentu saja wajib dilindungi haknya, dan berhak mendapat keadilan. (pay)

Related posts

Notaris Rini Lagonda Pertanyakan Dasar Laporan Kartika Di Polresta Banyuwangi

redaksi

Jelang Sidang Putusan Gus Nur, Ratusan Massa Pendukung Gus Nur Datangi PN Surabaya

redaksi

MAJELIS HAKIM “AMANKAN” PERSIDANGAN KASUS DUGAAN PENIPUAN DI PN SURABAYA

redaksi