
SURABAYA (surabayaupdate) – Sidang permohonan Praperadilan yang diajukan tim kuasa hukum Fitri Setiyawati melawan Polsek Simokerto atas penetapan status tersangka, kembali digelar di Pengadilan Negeri (PN) Surabaya.
Pada persidangan yang digelar di ruang sidang Tirta 2 PN Surabaya, Senin (5/5/2025) ini, tim kuasa hukum Fitri Setiyawati menghadirkan seorang ahli pidana.
Ahli hukum pidana yang dihadirkan dipersidangan itu adalah Dr.Sugiharto,SH,M.Hum, Ahli Pidana dari Universitas Bhayangkara (Ubhara) Surabaya.
Sebagai seorang ahli hukum pidana, Dr. Sugiharto, SH., MHum jelaskan tentang bagaimana sahnya status tersangka kepada seseorang.
Dan sebagai ahli hukum pidana, Dr. Sugiharto juga menjelaskan tentang syarat-syarat yang harus dilakukan penyidik untuk menjadikan seseorang sebagai tersangka atas tindak pidana yang telah ia lakukan.
Banyak hal yang diterangkan Dr. Sugiharto pada persidangan praperadilan yang dipimpin hakim Antyo Harri Susetyo sebagai hakim tunggal yang memeriksa dan memutus praperadilan ini.
Sebelum bertanya ke ahli, Utcok Jimmy Lamhot menerangkan tentang penyidik Polsek Simokerto tidak pernah melakukan pemanggilan kepada Fitri Setiyawati yang dalam perkara ini sebagai pemohon praperadilan.
Lebih lanjut Utcok Jimmi Lamhot menerangkan, berdasarkan Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP) tertanggal 25 Februari 2025, Fitri Setiyawati dipanggil penyidik Polsek Simokerto sebagai tersangka.
“Berdasarkan laporan polisi yang menjadikan pemohon praperadilan ini sebagai terlapor di Polsek Simokerto, penyidik tidak pernah sama sekali memanggil pemohon praperadilan ini sebagai saksi,” papar Utcok Jimmi Lamhot.
Fitri Setiyawati, sambung Utcok Jimmi Lamhot, hanya pernah dimintai keterangan atas laporan polisi nomor : LP-B/36/V/2024/Jatim/Restabes Sby/Sek Smkt, tanggal 08 Mei 2024 tentang dugaan Tindak Pidana Penganiayaan Ringan sebagaimana dimaksud pasal 352 KUHP.
“Yang menjadi pertanyaan kami, apakah diperbolehkan, tidak pernah dipanggil sebagai saksi, tapi seseorang itu langsung dijadikan status tersangka,” tanya Utcok Jimmi Lamhot kepada ahli.
Atas pertanyaan salah satu tim kuasa hukum Fitri Setiyawati ini,
Dr.Sugiharto,SH,M.Hum ahli Pidana Ubhara menjawab, berdasarkan norma, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 21 tahun tahun 2014 tentang penetapan tersangka dijelaskan, sebelum menetapkan seseorang menjadi tersangka, harus didahului dengan pemeriksaan-pemeriksaan dengan status sebagai saksi.
“Pemeriksaan terlapor dengan status saksi ini dasarnya adalah laporan polisi. Kemudian SPDP itu merupakan suatu rangkaian pemberitahuan atas proses penyidikan yang dilakukan penyidik,” jelas Sugiharto.
Apa yang telah dilakukan penyidik ini, lanjut Sugiharto, haruslah berdasarkan proses yang benar. Laporan polisi dengan dokumen penyidikan lain sebagai administrasi penyidikan atas dugaan tindak pidana yang dilaporkan dikepolisian, tidak boleh berbeda satu dengan yang lain.
“Hal ini menunjukkan bahwa proses penyidikan yang dilakukan penyidik benar-benar memenuhi asas profesional dan akuntabel,” kata Sugiharto.
Masih berdasarkan pemanggilan seseorang sebagai saksi dikepolisian, Utcok Jimmi Lamhot kembali bertanya, apakah dibenarkan seseorang yang tidak pernah, belum pernah menerima surat panggilan sebagai saksi atau memberikan keterangan sebagai saksi, langsung ditetapkan sebagai tersangka?
Untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka, ahli menjelaskan, bukan dari saksi. Dasar hukumnya harus benar dulu yaitu adanya laporan polisi dan adanya surat perintah penyidikan.
“Antara laporan polisi dengan surat perintah penyidikan harus benar sebelum melakukan pemanggilan-pemanggilan,” ujar Sugiharto.
Jika tidak benar, kata Sugiharto, ada konsekuensi yang harus ditanggung penyidik, yaitu cacat walaupun secara formalitas ada.
Selain itu, sambung Sugiharto, jika laporan polisi dan surat perintah penyidikan itu tidak benar, maka syarat formil dan materiil menjadi cacat dan tidak sah.
Dan jika nantinya ada penetapan tersangka, lanjut Sugiharto, maka penetapan tersangka yang syarat formil dan materiilnya cacat atau tidak sah, juga akan menjadi tidak sah.
Untuk menjadikan seseorang sebagai tersangka, menurut ahli, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu.
Mulai laporan polisi yang dibuat masyarakat sebagai penanda adanya suatu tindak pidana sampai dengan pemberkasan sebelum perkara itu dilimpahkan ke jaksa supaya dilakukan penuntutan, semua ini disebut administrasi penyidikan.
Syarat pertama menurut ahli adalah syarat subyektif. Laporan polisi yang menjadi dasar
Syarat obyektif berdasarkan pasal 184 KUHAP yang menerangkan tentang minimal dua alat bukti didalam penetapan status tersangka.
Adanya dugaan tindak pidana yang dilaporkan, harus bisa dibuktikan. Dan untuk membuktikannya, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi termasuk syarat subyektifitas dan syarat obyektivitas.
Usman Effendi, SE.,SH.,MH., kuasa hukum Fitri Setiyawati yang lain kemudian menanyakan tentang Visum Et Repertum (VER).
“Dalam sebuah tindak pidana, contohnya tentang dugaan penganiayaan. Apa yang harus dilakukan? Melaporkan dugaan penganiayaan itu terlebih dahulu ke pihak kepolisian ataukah membuat VER terlebih dahulu,” tanya Usman Effendi.
Lebih lanjut ahli menjawab, terhadap adanya dugaan tindak pidana, haruslah diawali dengan adanya laporan polisi terlebih dahulu.
Ketika masyarakat melapor adanya dugaan tindak pidana dikepolisian, di SPKT ada petugas yang didampingi penyidik atau penyidik pembantu.

Dari laporan yang dibuat itulah akan dinilai apakah ada dugaan tindak pidananya? Jika hasil penilaian memang ada dugaan tindak pidana.
Pada persidangan ini, salah satu kuasa hukum Fitri Setiyawati juga menanyakan tentang visum mandiri. Apakah visum mandiri itu bisa dipakai sebagai alat bukti sebagaimana dimaksud dalam pasal 184 KUHAP?
Berkaitan dengan visum mandiri ini, secara tegas ahli menjawab tidak dibenarkan. Visum mandiri tidak sesuai hukum yang berlaku.
“Visum itu kapasitasnya hanya sebagai surat keterangan yang mendukung adanya laporan kepada pihak kepolisian,” jelas ahli.
Terhadap tindak pidana, seperti dugaan penganiayaan, VER, sambung ahli, permintaan VER, yang berhak melakukan adalah pejabat kepolisian.
“VER itu adalah surat yang nantinya bisa dipakai sebagai bukti surat sebagaimana tertuang dalam pasal 184 KUHAP,” jelasnya.
Lalu bagaimana jika perolehan VER itu dilakukan tidak benar? VER yang sudah dilakukan itu menjadi cacat karena perolehannya melalui cara yang tidak benar.
Dalam persidangan ini, ahli kemudian menjelaskan syarat-syarat yang harus dipenuhi penyidik untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka.
Lebih lanjut ahli menerangkan bahwa penetapan tersangka seseorang itu sekurang-kurangnya harus didukung adanya dua alat bukti. Hal ini sesuai dengan Peraturan Kapolri (Perkap) nomer 6 tahun 2019.
Jika mengacu pada Putusan MA nomor 21 tahun 2014, penetapan tersangka itu haruslah memenuhi beberapa persyaratan.
Syarat pertama adalah syarat obyektif. Syarat ini berkaitan dengan alat bukti, apakah alat bukti yang digunakan sudah benar untuk menjadikan seseorang menjadi tersangka.
“Berdasarkan ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP, pemenuhan status tersangka harus ada minimal dua alat bukti,” ungkap ahli.
Jika mengacu pada alat bukti surat, lanjut ahli, harus dilihat pula, apakah bukti surat itu diperoleh dengan cara yang sah dan benar.
Apabila bukti surat itu dalam perolehannya dilakukan dengan cara tidak sah dan tidak benar maka konsekuensinya penetapan tersangka itu tidak sah atau cacat hukum.
Syarat yang kedua adalah syarat subyektif. Penetapan tersangka, masih menurut keterangan ahli, berdasarkan pasal 17 KUHAP, tersangka adalah seseorang yang perbuatan kepadanya betdasarkan adanya bukti permulaan yang cukup, patut diduga melakukan perbuatan tindak pidana.
“Dugaan tindak pidana berdasarkan adanya bukti permulaan ini juga harus dibuktikan penyidik secara proporsional, profesional dan berdasarkan alat bukti yang ada,” jelas ahli.
Syarat ketiga adalah administratif. Menurut ahli, syarat administratif ini juga penting. Untuk syarat administratif ini mengacu pada adanya laporan polisi.
Ahli kembali menegaskan, selain adanya laporan polisi, dalam syarat administratif ini juga ada pemeriksaan saksi-saksi, pemeriksaan terdakwa dan beberapa dokumen lain yang menjadi satu kesatuan hingga nantinya dokumen-dokumen itu akan diserahkan ke kejaksaan untuk dilakukan proses penuntutan.
Laporan polisi, lanjut ahli, surat perintah penyidikan, berita acara penyidikan, berita acara saksi, berita acara tersangka, harus diperoleh dengan benar.
Jika dilakukan dengan tidak benar, maka ada konsekuensinya. Dan berdasarkan Perkap nomor 6 tahun 2019 ini secara jelas juga diatur bahwa seorang penyidik harus melapor kepada atasannya supaya pimpinannya itu mengetahui apakah penetapan tersangka hingga terbitnya surat penetapan tersangka itu sudah benar.
Begitu pula dengan perolehan barang bukti lainnya, harus ada keseimbangan mengingat penetapan tersangka itu sudah merampas kebebasan Hak Asasi Manusia (HAM) seseorang dan keluarganya.
Esensi yang terpenting dalam penetapan tersangka ini menurut ahli adalah supaya ada kesiapan dari seseorang secara psikis, yang ditetapkan sebagai tersangka tersebut, supaya siap menghadapi proses hukum yang akan ia jalani.
Masih berkaitan dengan visum mandiri berkaitan dengan adanya dugaan tindak pidana penganiayaan sebagaimana diatur dalam pasal 351 KUHP juncto pasal 352 KUHP.
Apakah alat bukti surat berupa visum yang diperoleh dari pelapor dimana visum itu dilakukan mandiri, jika mengacu pada ketentuan pasal 184 KUHAP, bisa dinyatakan sebagai alat bukti yang sah? Apakah visum mandiri ini layak sebagai alat bukti untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka?
Lebih lanjut ahli menerangkan, apapun yang dibuat masyarakat sebagai pihak yang akan melapor karena dirugikan atas tindakan seseorang, bukti surat itu adalah surat keterangan yang mendukung bahan pelaporan kepada polisi sehingga terbitlah laporan polisi.
Bukti surat berupa visum yang dilakukan secara mandiri tersebut, menurut penjelasan ahli, tidak termasuk kategori sebagai alat bukti.
“Yang harus dipahami, bukti bisa dikategorikan sebagai alat bukti ketika keterangan tersebut diatur dalam ketentuan pasal 184 ayat (1) KUHAP,” papar ahli.
Bukti, sambung ahli, juga dapat diklasifikasikan sebagai pendukung terhadap adanya suatu tindak pidana. Sebagai contoh, adanya cctv, merupakan bukti yang mendukung adanya suatu tindak pidana.
Ahli kembali menerangkan, visum itu bisa dikatakan sebagai bukti surat sebagaimana diatur dalam pasal 184 KUHAP jika permintaan itu diawali dari kepolisian setelah adanya laporan polisi.
Dalam persidangan ini, ahli juga ditanya tentang tidak diberikannya Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) kepada terlapor.
Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah dengan tidak diberikannya SPDP kepada terlapor ini bisa dibenarkan dan sah menurut hukum?
Lebih lanjut ahli menjawab, terkait SPDP ini acuannya adalah Putusan MK nomor 130 tahun 2014. Menurut ahli SPDP ini tidak hanya kepada penuntut umum. Pelapor dan terlapor juga harus diberi SPDP.
Jika hal ini tidak dilakukan maka asas profesional seorang penyidik jelas dilanggar, begitu juga dengan asas transparansi juga dilanggar.
Masih menurut ahli, hal ini juga merupakan bentuk kebenaran formil yang harus dipenuhi sebagai hak seorang tersangka dan keluarganya supaya ada keseimbangan. (pay)