surabayaupdate.com
HEADLINE HUKUM & KRIMINAL INDEKS

Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya, LBH Adhikara Dan Kantor Hukum Johanes Dipa Widjaja & Partners Gelar Seminar Nasional Bertajuk Kepailitan Solusi Atau Bencana

Dr. Dwi Tatak Subagyo, SH., M.H., saat menyampaikan materi seminar. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com) dress

SURABAYA (surabayaupdate) – Fakultas Hukum Universitas Wijaya Kusuma Surabaya (UWKS) menggelar seminar nasional Kepailitan.

Seminar ini digelar di ruang Candi Penataran UWKS, Kamis (21/3/2024) dan mengambil tema Kepailitan : Solusi Atau Bencana?

Diikuti lebih kurang 150 mahasiswa yang berasal dari berbagai universitas di Surabaya, seminar nasional yang juga mendapat dukungan Kantor Hukum Johanes Dipa Widjaja & Partners serta LBH Adhikara ini juga diikuti para praktisi hukum dan pengusaha yang ingin mengetahui lebih dalam tentang Kepailitan.

Bertindak sebagai pembicara dalam seminar ini, dosen Fakultas Hukum UWKS Dr Dwi Tatak Subagyo SH., MH yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan Bidang Administrasi dan Kerjasama UWKS dan Wachid Aditya Ansory. Seminar nasional Kepailitan ini dimoderatori Andian Larasati, mahasiswa UWKS.

Selain membahas seputar Kepailitan dan permasalahan-permasalahan yang sering terjadi dalam permohonan Kepailitan, dua pembicara yang menjadi narasumber dalam seminar nasional ini juga mengupas tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), bagaimana syarat mengajukan PKPU dan dasar hukum permohonan PKPU dipengadilan.

Acara ini berjalan sangat menarik, karena ditengah-tengah kegiatan juga diisi dengan tanya jawab antara para peserta seminal nasional dengan dua orang narasumber dan diakhiri dengan pemberian plakat sebagai kenang-kenangan dari Fakultas Hukum UWKS kepada Kantor Hukum Johanes Dipa Widjaja & Partners, juga pemberian plakat dari LBH Adhikara kepada Fakultas Hukum UWKS.

Dr. Dwi Tatak Subagyo, SH., M.H dalam materi hukum kepailitan yang disampaikan didepan seminar menjelaskan, tindakan pailit adalah suatu sitaan umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan Kurator, dibawah pengawasan Hakim Pengawas.

“Harta pailit akan dibagikan sesuai dengan porsi besarnya tuntutan kreditor. Prinsip kepailitan yang demikian ini merupakan realisasi dari ketentuan pasal 1131 KUH Perdata,” ulas Dwi Tatak Subagyo.

Berdasarkan pasal 1131 KUH Perdata itu, lanjut Dwi Tatak Subagyo, disebutkan bahwa segala kebendaan debitor atau yang mempunyai utang, baik yang bergerak maupun yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru, terhadap Undang-Undang UU No. 4 tahun 1998 menjadi jaminan bersama-sama bagi semua kreditor yang dibagi menurut prinsip keseimbangan atau “Pari Pasu Prorata Parte”.

“Apabila debitor lalai dalam memenuhi kewajibannya atau prestasinya, kreditor diberikan hak untuk melakukan pelelangan atas harta benda debitor,” papar Dwi Tatak Subagyo.

Wachid Aditya Ansory saat menjadi pembicara di seminar nasional kepailitan yang diselenggarakan UWKS. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

Masih menurut penjelasan Dwi Tatak Subagyo, hasil penjualan pelelangan itu harus dibagi secara jujur dan seimbang diantara para kreditor, sesuai dengan perimbangan jumlah piutangnya masing-masing.

“Pada umumnya, kepailitan berkaitan dengan utang debitor atau piutang kreditor. Seorang kreditor mungkin saja memiliki lebih dari satu piutang atau tagihan, dan piutang atau tagihan yang berbeda-beda itu diperlukan dalam proses kepailitan,” ujar Dwi Tatak Subagyo.

Sementara itu, Wachid Aditya Ansory, SH., M.H., dalam penjelasannya dimuka para peserta seminar nasional “Kepaiitan : Solusi atau Bencana?” menjelaskan, Kepailitan kerap diidentikkan dengan Bangkrut atau Bankrupt.

“Bankrupt berasal dari bahasa Italia yaitu Banca yang artinya bangku & Rupta yang artinya Rusak atau Patah,” kata Wachid Aditya Ansory.

Pada abad pertengahan, lanjut Wachid Aditya Ansory, di Venesia, ada praktik untuk melakukan penghancuran atau pengerusakan bangku dari pedagang atau para bankir atau pemberi pinjaman yang mengalami gagal bayar, atau permasalahan ekonomi.

“Sehingga bangku-bangku yang patah atau hancur tersebut merupakan simbol dari kebangkrutan seseorang,” cerita Wachid Aditya Ansory.

Advokat yang juga berprofesi sebagai Kurator ini kembali menjelaskan, di Indonesia hukum Kepailitan dimulai dari Faillissement Verordening yang berlaku pada tahun 1906.

Tahun 1997 hingga 1998, lanjut Adit, saat terjadinya krisis moneter di Indonesia, diberlakukanlah Perpu nomor 1 tahun 1998, kemudian dikuatkan menjadi UU No. 4 Tahun 1998.

Kurator yang biasa disapa Adit ini kembali melanjutkan, lalu disempurnakan lagi dengan disahkannya UU No. 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, yang mulai berlaku 18 Oktober 2004.

Adit juga menjelaskan, siapa saja pihak-pihak yang terlibat dalam kepailitan ini. Lebih lanjut Adit menjelaskan, yang pertama ada hakim pengawas, kurator, debitor dan kreditor.

pemberian plakat krnang-kenangan dari UWKS kepada kantor hukum Johanes Dipa Widjaja & Partners. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

“Hakim Pengawas adalah hakim yang ditunjuk Pengadilan Niaga untuk mengawasi jalannya proses kepailitan,” ungkap Adit.

Yang kedua, lanjut Adit, ada Kurator. Dan Kurator adalah BHP atau perseorangan yang diangkat pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta pailit.

Masih menurut Adit, debitor adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian dan kreditor adalah orang yang mempunyai piutang atau hak tagih karena adanya perjanjian.

Dalam seminar ini, Wachid Aditya Ansory juga menjelaskan tentang perbedaan antara hukum acara kepailitan dengan hukum acara perdata biasa.

Ditinjau dari pihak yang mengajukan, Adit menjelaskan, perbedaan antara hukum acara perdata biasa dengan hukum acara kepailitan, jika di hukum acara perdata biasa, pihak yang berkepentingan dapat mengajukannya secara langsung sedangkan dalam hukum acara kepailitan, permohonan kepailitan yang mengajukan adalah advokat.

“Berdasarkan jangka waktu penyelesaian, dalam hukum acara perdata biasa, paling lambat lima bulan ditingkat pertama,” ujar Adit.

Hal ini, sambung Adit, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) nomor : 2 tahun 2014 tentang penyelesaian perkara dipengadilan tingkat pertama dan tingkat banding.

Adit kembali mengatakan, kalau di hukum acara kepailitan, permohonan harus diputus dalam jangka waktu paling lambat 60 hari.

Ditinjau dari hakim pemutus, diperkara perdata biasa, yang memutus perkara adalah hakim pada pengadilan negeri sedangkan diperkara kepailitan, yang memutus adalah hakim khusus yang mempunyai sertifikasi Hakim Niaga dan ditunjuk dengan adanya SK KMA.

Kemudian ditinjau dari sifatnya, Adit kembali menjelaskan, di hukum acara perdata biasa ada sengketa didalamnya sedangkan di hukum acara kepailitan, tidak ada sengketa dan menganut pembuktian sederhana.

Perbedaan lainnya yang dijelaskan Adit dalam seminar nasional kepailitan ini adalah ditinjau dari upaya hukum di perdata biasa, upaya hukum bisa dilakukan dengan cara banding, kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) sedangkan di Kepailitan hanya kasasi dan PK.

Berdasarkan jangka waktu pengajuan upaya hukum, di perdata biasa jangka waktu pengajuan kasasi adalah 14 hari sedangkan di Kepailitan dan PKPU hanya delapan hari. (pay)

 

Related posts

Kodim 0808/Blitar Dinobatkan Sebagai Kodim Terbaik Dalam Latihan Posko I Tahun 2014

redaksi

Ketua Departemen Bidang Hukum Perguruan PMK Kyokushinkai Karate-Do Indonesia Diadili Atas Dugaan Pencemaran Nama Baik

redaksi

Akhirnya Polsek Genteng Kalahkan Praperadilan Nuri Subagyo

redaksi