surabayaupdate.com
HEADLINE HUKUM & KRIMINAL INDEKS

Menurut Pakar Hukum, Gugatan Baru Bahkan Pengajuan PK Tidak Bisa Menghambat Pelaksanaan Eksekusi

Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo saat menjadi saksi ahli di perkara perdata di PN Surabaya. (FOTO : parlin/surabayaupdate.com)

SURABAYA (surabayaupdate) – Untuk mengetahui apakah adanya gugatan baru yang telah ada putusan berkekuatan hukum tetap namun kembali diajukan penggugat yang sama masuk dalam ne bis in idem atau tidak, tim kuasa hukum Tergugat III dan Tergugat IV datangkan pakar hukum.

Pakar hukum yang didatangkan kuasa hukum Enny Widjaja sebagai Tergugat III dan Ratna Wijaya sebagai Tergugat IV itu adalah Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo, dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Nasional Jakarta.

Dalam Gugatan Perbuatan Melawan hukum yang diajukan Sie Prabowo Wahyudi sebagai Penggugat I dan Fenny Indrawati Sukimin sebagai Penggugat II mengajukan gugatan melawan Cicik Permata Dias Suciningrum sebagai Tergugat I, Mohammad Sutomo Hadi sebagai Tergugat II, Enny Widjaja sebagai Tergugat III, Ratna Wijaya sebagai Tergugat IV, Eni Wahjuni, SH sebagai Turut Tergugat I dan Kepala Kantor Pertanahan Kota Surabaya II sebagai Turut Tergugat II.

Pada persidangan yang terbuka untuk umum, yang digelar di ruang sidang Kartika I Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Senin (24/7/2023), Satria Ardyrespati Wicaksana mengajukan beberapa hal kepada ahli.

Kepada Pro. Dr. Basuki Rekso Wibowo, advokat yang tergabung dalam Kantor Hukum Johanes Dipa Widjaja ini awalnya meminta kepada ahli untuk menjelaskan tentang asas ne bis in idem dalam suatu perkara.

Menanggapi pertanyaan Satria Ardyrespati Wicaksana ini, Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo menjelaskan, bahwa ne bis in idem itu adalah asas yang bersifat universil dalam praktik peradilan dimanapun termasuk di Indonesia, tanpa terkecuali dalam perkara perdata.

Lebih lanjut Dekan Fakultas Hukum Universitas Nasional ini mengatakan, dalam perdata itu penormaannya ada di pasal 1917 KUH Perdata, ditindak lanjuti beberapa Surat Edaran dari Mahkamah Agung (MA) serta dipraktekkan secara konsisten dalam banyak putusan MA.

Kemudian, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga (Unair) tahun 2005-2018 ini diminta untuk menjelaskan tentang suatu perkara yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap.

Tentang adanya suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, Prof Dr. Basuki Rekso Wibowo namun dikemudian hari diajukan oleh pihak yang sama, dengan obyek yang sama, dengan alasan yang sama, serta uraian peristiwa hukum yang sama, maka gugatan yang telah diajukan itu sifatnya nebis in idem. Dan inilah makna yang terkandung didalam nebis in idem.

“Lalu, apakah ada syarat atau tertentu, jika gugatan perdata tersebut dikatakan nebis in idem?,” tanya Satria Ardyrespati Wicaksana kepada ahli.

Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Mahkamah Agung RI tahun 2009-2018 ini lalu menjelaskan, untuk memastikan apakah gugatan yang dimohonkan itu nebis in idem dengan putusan pengadilan terdahulu, tinggal di compare atau dibandingkan saja, apple to apple, membandingkan gugatan yang baru itu dengan gugatan sebelumnya yang telah diputus dan telah berkekuatan hukum tetap.

“Lalu sebagai parameternya, apakah pihaknya sama, apakah objeknya sama, apakah alasan hukumnya sama,” urai Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo.

Apabila hal itu terpenuhi, lanjut ahli, maka hal itu bisa dikatakan ne bis in idem. Hal ini ditegaskan berulang kali didalam Putusan MA yang telah menjadi yurisprudensi.

Kemudian, saksi ahli dalam perkara perdata di pengadilan atau lembaga arbitrase, baik di level nasional maupun internasional ini juga diminta untuk menjelaskan, apabila ada suatu perkara yang sudah memenuhi syarat ne bis in idem, apakah masih memungkinkan gugatan itu untuk diajukan kembali.

Menyikapi pertanyaan ini, ahli mengatakan bahwa pengajuan suatu gugatan adalah hak setiap orang dan pengadilan tidak boleh menolak, walaupun alasan hukumnya tidak jelas. Hal itu telah diatur dalam Undang-Undang nomor 48 tahun 2009 tentang Kehakiman.

Ahli kembali menjelaskan, bahwa pengadilan akan meregister perkara itu, menunjuk majelis hakim yang akan memeriksa dan memutus gugatan itu, memanggil pihak-pihak yang berperkara.

“Dalam proses pemeriksaan perkara itulah akan diketahui, baik melalui proses jawab menjawab, atau melalui proses pembuktian, apakah perkara yang diajukan tersebut sebelumnya sudah pernah diputus pengadilan dengan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap atau tidak,” kata ahli.

Untuk memastikannya, sambung ahli, pada proses persidangan dengan gugatan yang baru. Dan tentunya, dalam persidangan yang baru inilah menjadi kewenangan majelis hakim yang memeriksa perkara, untuk menilai, apakah gugatan baru yang dan kemudian disidangkan tersebut masuk dalam klasifikasi sebagai nebis in idem ataukah tidak, dengan meng-compare atau membandingkan dengan putusan hakim sebelumnya.

Dan apabila gugatan baru yang diajukan tersebut memenuhi prinsip nebis in idem, maka terhadap gugatan yang baru itu tidak dapat diterima atau haruslah ditolak.

Selain menerangkan tentang bagaimana prinsip nebis in idem, ahli juga diminta untuk menjelaskan tentang putusan bersifat positif

Dalam penjelasannya, ahli mengatakan bahwa hukuman bersifat positif itu, ahli kemudian mengutip penjelasan Yahya Harahap mantan Hakim Agung dalam bukunya yang menerangkan bahwa suatu putusan itu diklasifikasikan sebagai suatu putusan positif apabila putusan itu sudah masuk ke pokok perkara.

“Apakah dalam amar putusannya itu mengabulkan atau menolak, kualifikasinya tetap positif. Dan apabila putusan itu belum masuk pokok perkara, baru menyentuh aspek-aspek hukum acara, maka putusan itu disebut putusan negatif,” jelas ahli

Satria Ardyrespati Wicaksana, salah satu kuasa hukum tergugat, kemudian bertanya kepada ahli mengenai adanya Surat Putusan Ketua Mahkamah Agung nomor 44 tahun 2014 tentang Pemberlakuan Template Putusan Dan Standar Penomoran Perkara Peradilan Umum.

Yang menjadi pertanyaan kuasa hukum tergugat adalah sejauh mana Surat Putusan Ketua MA ini dapat mengikat para hakim dalam membuat suatu putusan.

Lebih lanjut ahli menjelaskan bahwa adanya surat putusan dari Ketua MA tersebut supaya ada keseragaman dan standarisasi putusan.

“Apa materi yang harus dimuat dalam putusan itu. Karena ketika itu masih bervariasi sehingga harus dibakukan,” papar ahli

Namun, secara substansial, putusan perdata, sambung ahli, acuannya di pasal 178, pasal 184 HIR dan pasal 50 UU nomor 48 tahun 2009.

Hal ini sudah dipraktekkan dalam putusan-putusan pengadilan mulai dari nomor perkara, identitas para pihak sampai dengan tanggal pemusyawaratan, tanggal pembacaan putusan, nama panitera serta biaya perkara. Semua ini sudah baku sifatnya sehingga jika ada sebuah putusan itu tidak sesuai template, hal itu bisa saja terjadi.

Namun, walaupun putusan itu tidak sesuai dengan template, menurut ahli, hal tersebut tidak serta merta menyebabkan putusan itu batal.

Mengenai sebuah putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap itu dinyatakan batal, ahli melanjutkan, maka pembatalan putusan itu dilakukan MA melalui upaya hukum luar biasa. Yang bisa membatalkan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap hanyalah MA.

Kemudian, putusan yang telah berkekuatan hukum tetap itu bersifat positif, haruslah ditinjau dari amarnya. Dan yang harus diingat, bahwa putusan itu positif apabila sudah memeriksa pokok perkara.

“Sehingga, amarnya itu bisa menerima bisa menolak. Jika putusan itu tidak selaras sengan template, tidak menjadikan bahwa putusan itu tidak bersifat positif,” kata ahli.

Lalu bagaiman dengan gugatan dimana sudah ada putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, kemudian ada gugatan baru yang sama persis subyek, obyek, materi tuntutan, dan diperkara sebelumnya yang telah ada putusan berkekuatan hukum tetap itu diajukan eksekusi, apakah gugatan baru yang dimohonkan ke pengadilan tersebut dapat menunda pelaksanaan eksekusi?

Dalam penjelasannya mengenai eksekusi, anggota tim penyusun RUU Hukum Acara Perdata BPHN Kemenkum HAM RI ini lalu mengutip prinsip-prinsip hukum yang dijabarkan Yahya Harahap mengenai pedoman eksekusi.

Ahli kemudian mengutip sebuah pasal dalam HIR yaitu pasal 196. Disini dijelaskan bahwa putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang amarnya mengabulkan gugatan penggugat dan bersifat condemnatoir maka terhadap putusan itu dapat dimohonkan eksekusinya oleh pihak yang gugatannya dimenangkan.

Terkait pemohonan eksekusi, ahli menjelaskan bahwa permohonan itu dimohonkan ke Ketua Pengadilan Negeri tempat perkara itu diputus terdahulu ditingkat pertama.

Proses eksekusi diawali dengan teguran atau aanmaning kepada termohon eksekusi agar bersedia untuk memenuhi amar putusan secara sukarela.

Kalau termohon eksekusi menolak atau tidak mau memenuhi amar putusan secara sukarela maka proses eksekusi akan dilakukan dengan adanya penetapan dari Ketua Pengadilan Negeri.

Masih berkaitan dengan pelaksanaan eksekusi, Prof. Dr. Basuki Rekso Wibowo secara tegas mengatakan bahwa adanya gugatan baru tidak bisa menangguhkan pelaksanaan eksekusi.

Dan eksekusi itu dapat dilakukan secara riil atau pengosongan atau membayar sejumlah ganti rugi melalui sita eksekusi yang kemudian dilakukan lelang.

Mengenai penangguhan pelaksanaan eksekusi, ahli secara tegas juga mengatakan, jangankan adanya gugatan baru, pengajuan Peninjauan Kembali (PK) tidak bisa menangguhkan pelakaanaan eksekusi. Hal ini diatur dalam pasal 66 ayat (2) UU nomor 14 tahun 2005.

Tinggal bagaimana Ketua Pengadilan Negeri menyikapi sebuah putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, amarnya bersifat condemnatoir. Ini adalah jaminan kepastian hukum, jaminan keadilan bagi pihak yang berperkara khususnya pihak yang menang perkara setelah sekian lama berproses dipengadilan dengan tahapan-tahapan yang sangat panjang.

Ahli juga berpendapat tentang adanya anomali, dimana penggugat mengajukan gugatan yang baru dengan materi yang sama persis dengan gugatan sebelumnya yang telah diputus dan berkekuatan hukum tetap, lalu pada saat yang sama penggugat itu juga mengajukan PK dengan alasan adanya kekhilafan hakim terdahulu dalam putusannya.

Menyinggung apa yang telah dijelaskan ahli sebelumnya, bahwa gugatan baru, pengajuan PK yang diajukan penggugat sebelumnya, tidak dapat menghambat pelaksanaan eksekusi. Dan menurut pendapat ahli, gugatan baru yang diajukan penggugat sebelumnya itu sudah termasuk ne bis in idem. (pay)

Related posts

Kejati Jatim Ikuti Seminar Nasional Tentang Optimalisasi Kewenangan Kejaksaan Dalam Penanganan Tindak Pidana Yang Merugikan Perekonomian Negara

redaksi

Kajari Gadungan Nginap 2 Bulan Di Hotel Harris, Nunggak Pembayaran Hingga Rp. 27 Juta

redaksi

WARGA NIGERIA DIADILI KARENA MENJADI PERANTARA JUAL BELI SABU SEBERAT 1840 GRAM

redaksi